PROFIL DAN SINOPSIS BUKU PENDAKIAN GUNUNG TERBAIK; DUNIA BATAS LANGIT
Salah satu buku pendakian gunung terbaik di Indonesia yang membahas sejarah dunia mountaineering secara lengkap adalah Dunia Batas Langit. Ini adalah satu-satunya buku yang ditulis oleh penulis tanah air dengan cakupan bahasan komplit tentang pendakian gunung.
Lantas apa saja isi
buku mendaki gunung Dunia Batas Langit?
Berikut profil, isi
dan sinopsisnya.
Sinopsis
Buku Pendakian Gunung Terbaik: Dunia Batas Langit
Orang-orang
dengan jaket tebal, kacamata berwarna, menggenggam kapak es, harness dan
carabiner menghiasi pinggang, berjibaku meniti punggungan gunung dalam sebuah
perjuangan menuju puncak. Ada yang mencapai puncak dengan mudah, ada yang
mengambil jalan sulit, bahkan ada pula yang kemudian harus kehilangan nyawa
dalam upaya itu.
Buku ini
membahas dengan sangat lengkap profil dan sejarah aktivitas mountaineering atau
pendakian gunung. Mulai dari cikal bakal aktivitas ini bermula,
perkembangannya, persebarannya ke seluruh dunia, profil teknisnya,
legenda-legenda yang melingkupinya, hingga kepada nama-nama besar yang telah
mengguratkan kisah abadi mereka dalam mountaineering dunia.
Selain itu
buku ini juga menguraikan secara sederhana dan komplit berbagai peristiwa
aktual dalam dunia mountaineering saat ini. Berbagai award dan
penghargaan dalam aktivitas mountaineering, komersialisasi gunung
Everest, munculnya istilah the next
Everest, sampai kepada profil 100 merek-merek paling populer di seluruh dunia yang secara konsisten mendukung aktivitas mountaineering.
Jika kata mountaineering diumpamakan sebagai ruangan
gelap, maka buku ini menjadi pelita untuk meneranginya. Jika kata mountaineering adalah sebuah misteri dalam
kotak tertutup, maka buku ini adalah kunci untuk membukanya. Pendek kata, ide
buku ini berangkat dari sebuah pertanyaaan; Apa itu mountaineering?
Lalu uraiannya menjadi jawaban
semua yang ingin kita ketahui tentang pertanyaan tersebut.
Profil Buku Pendakian Gunung Terbaik: Dunia Batas
Langit
- Judul: DUNIA BATAS LANGIT - Jejak Pencapaian Berbagai Puncak Gunung Dunia Dalam Pengembaraan Mountaineering Yang Luar Biasa
- Penulis: Anton Sujarwo
- Tebal: 555 halaman
- Genre: Mountaineering
- Penerbit: Phoenix Publishers
- Ukuran: 14 x 21 cm
- Cover: Standard
- Kertas: Bookpaper
Ringkasan
Isi Buku Pendakian Gunung Terbaik: Dunia Batas Langit
![]() |
Source: Arcopodo Journal |
Lebih dari sekedar sebuah bidang olahraga dan
aktivitas fisik semata, mountaineering atau pendakian gunung adalah
sebuah gaya hidup, perjalanan spiritual, refleksi perjuangan, langkah penempa
diri, jurnal semangat dan mental, serta sebuah disiplin ilmu yang mengajarkan
kesederhanaan dalam sebuah pencapaian yang sejati.
Menjadi sesuatu yang sangat disayangkan ketika
kemudian kita menemui masa-masa dimana ada sebuah gelombang besar generasi muda
yang demikian menggandrungi aktivitas pendakian gunung dan mountaineering
ini, namun di sisi lain kita juga mendapatkan bahwa nilai-nilai
yang semestinya dapat diperoleh melalui aktivitas ini, menguap hampa karena
ketidaktahuan mereka.
Mountaineering atau pendakian gunung adalah sebuah aktivitas
yang multi manfaat, tidak hanya untuk kesehatan fisik semata, namun juga
kesehatan mental dan spiritual. Mountaineering menjadi sebuah pilihan
yang anggun untuk memberi pengajaran kepada para pelakunya guna mengambil
teladan dari nilai-nilai yang terkandung dalam aktvitas ini. Karena itu,
nampaknya menjadi sebuah tugas bagi kita, yang mungkin sedikit memahami hakikat
aktivitas mountaineering dan pengajaran didalamnya, untuk menyampaikan
pesan ini kepada generasi muda yang mulai jatuh cinta dan menyukai kegiatan
pendakian gunung.
Gelombang massif ‘back to nature’ (khususnya
aktivitas mendaki gunung) adalah gelombang yang memiliki skala global. Artinya
gelombang ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun terjadi hampir di seluruh bagian dunia. Ada sebuah kecendrungan
dari generasi milenial saat ini untuk lebih banyak beraktivitas di alam bebas. Dan di Indonesia kita melihat salah satu yang
paling diminati adalah pendakian gunung atau mountaineering.
Meningkatnya minat terhadap aktivitas
pendakian gunung atau mountaineering di Indonesia dengan cukup pesat
telah menimbulkan cukup banyak konsekuensi. Dan salah satu dari sekian banyak
konsekuensi tersebut adalah membludaknya pengunjung gunung-gunung yang
terkadang bahkan tidak mengerti untuk apa sebenarnya mereka ada di sana.
![]() |
Source: Millet Mountain |
Ada sebuah ‘demam’ ikut-ikutan trend yang
terjadi, yang pada hakikatnya bukanlah alasan yang bagus untuk masuk dalam
sebuah aktivitas mountaineering atau pendakian gunung. Kemudian jika
ditelusuri lebih jauh, demam trend ini terkadang berakar pada kurangnya
informasi yang akurat, lengkap dan komprehensif tentang dunia pendakian gunung
itu sendiri. Kurangnya informasi ini menjadi salah satu sisi yang setidaknya
perlu menjadi perhatian kita bersama. Dan atas dasar tersebutlah salah satunya,
buku ini kemudian ditulis dan Allhamdulillah sekarang ditebitkan.
Pada pembahasan pertama buku Dunia Batas
Langit ini akan diuraikan cikal bakal dan asal muasal olahraga mountaineering
dan pendakian gunung. pengertian mountaineering, sejarah berawalnya,
motivasi yang mendasari seseorang melakukan pendakian gunung akan diuraikan
secara lengkap.
Lalu proses perkembangan aktivitas mountaineering
yang kemudian berkembang menjadi semacam gaya hidup kaum bangsawan Eropa pada
masa awal. Dilanjutkan pula dengan pembahasan masa-masa yang disebut dengan Golden Age of Alpinism, dimana
puncak-puncak utama Pegunungan Alpen Eropa berhasil dicapai puncaknya.
Puncak gunung populer Eropa seperti Eiger,
Grandes Jorasses, Jungfrau, Mont Blanc dan lain sebagainya dijejalahi pada masa
ini. Masa-masa ini juga diisi dengan begitu banyak nama pendaki gunung terkenal
era pioneering seperti Mathias Zurbriggen, Edward Whymper, Michel Croz,
Charless Hudson, John Tyndall dan lain sebagainya. Para pelopor pendakian
gunung Alpen ini menginspirasi banyak orang dengan pendakian mereka yang
monumental dan mengagumkan.
Golden age of alpinism ditutup dengan pencapaian puncak Matterhorn
serta kematian yang menyertainya. Edward Whymper dan Jean Antoine Carrell yang
menjadi tokoh utama drama first ascent Matterhorn diulas cukup banyak dalam
pembahasan ini.
![]() |
Source: Amazon.com |
Pada saat yang sama, aktivitas mountaineering
kian populer dan masyhur. Pendakian gunung mulai menyebar ke hampir seluruh
penjuru dunia pada kisaran tahun 1890, menyentuh hampir semua benua yang ada di
dunia. Pegunungan Pyrenees, Pegunungan Saint Elias, Pegunungan Andes, Kaukasus,
Kilimanjaro, hingga gunung Aoraki di Selandia Baru dijejalahi pada masa ini.
Pembahasan pada bagian ini akan menyebutkan secara lengkap proses pencapaian
puncak-puncak utama berbagai pegunungan tersebut serta siapa saja nama yang
kemudian tampil menjadi legenda dalam sejarah pendakiannnya.
Bab kedua kemudian akan secara khusus membahas
sejarah masuknya aktivitas mountaineering di Himalaya, wilayah yang
kemudian menjadi poros utama aktivitas mountaineering yang sebenarnya.
Beberapa halaman awal pada bab ini akan menjelaskan landskap Pegunungan
Himalaya secara ringkas, baik dari sisi teritorialnya, iklimnya, sosial
budayanya, hingga kepada nilai spiritual yang ada didalamnya.
Gunung-gunung yang dianggap suci di Himalaya
seperti Machapuchare atau The Tail Fish
Mountain, Kailash, Gangkar Puenzum, Nanda Devi dan yang lain akan mendapat
sorotan secara khusus dalam pembahasan bab dua. Selain berkorelasi dengan
keyakinan penduduk native Nepal dan Tibet, kesucian gunung-gunung ini juga
memiliki kaitan yang erat dengan empat kepercayaan paling populer di kawasan
tersebut.
Pembahasan bab kedua ini tidak ketinggalan
juga mengangkat profil puncak-puncak utama di Pegunungan Karakoram, Pakistan,
yang pada beberapa kesempatan kadang disebut juga sebagai bagian dari raksasa
Himalaya. Nanga Parbat, K2, Gasherbrum 1 dan 2, Chogolisa, Baltoro yang
perkasa, akan diulas secara panjang lebar dalam pembahasan ini.
Selanjutnya secara khusus bab 2 akan menyoroti
kompetisi para perintis untuk mencapai first ascent puncak-puncak Himalaya.
Secara umum bahasan pada bagian ini akan menitikberatkan pada sejarah pendakian
gunung-gunung delapan ribu meter Himalaya. Siapa saja yang menjadi pelakunya? Bagaimana
kronologi pendakiannya?
Apa saja tantangannya? dan lain sebagainya.
![]() |
Source: Rock and Ice Magazines |
Pada kisaran awal tahun 1920-an perhatian
mungkin akan lebih banyak kepada ekspedisi-ekspedisi Inggris yang berupaya
untuk mencapai Puncak Everest. Nama seperti George Leigh Mallory, Irvine
Andrew, Granville Bruce, Oscar Eickenstein, Martin Conway, Albert Mummery akan
banyak disebut terkait dengan kiprah mereka yang demikian signifikan dalam
upaya mencapai puncak delapan ribu meter sebagai yang pertama.
Kematian-kematian legendaris yang menimpa nama
Hermann Buhl di Chogolisa, Mallory-Irvine di Everest, Mummery di Nanga Parbat
akan dibahas pula pada bab dua ini. Kemudian peran signifikan yang dimainkan
oleh Tenzing Norgay pada fisrt ascent Everest, Walter Bonatti dan Amir
Mehdi di K2 akan mendapat perhatian khusus di bagian ini. Selain menyimak
kontroversi yang terjadi di sana, kita juga akan melihat sisi lain
dari sebuah perlombaan mountaineering yang nampaknya telah menabrak
batasan-batasan sportivitas nilai mountaineering sejati.
Masuk ke bahasan selanjutnya, pembahasan akan
secara khusus difokuskan pada pengenalan aktivitas mountaineering
dipandang dari sisi teknis. Dimulai dengan uraian mengenai gaya alpine style
dan expedition style. Berbagai macam teknis dan medan dalam
pendakian, apa saja perlengkapan yang digunakan untuk mengarungi medan-medan
tersebut, akan dirinci pada bagian ini.
Tempat berlindung atau shelter yang terdiri
dari berbagai macam jenis, baik yang alami maupun artificial juga akan diuraikan pada pembahasan
tersebut. Tenda sebagai satu-satunya tempat berlindung yang dipahami mayoritas
peminat pemula aktivitas pendakian gunung di Indonesia, ternyata bukan
satu-satunya shelter yang umumnya digunakan dalam mountaineering. Apa
saja jenis tempat berlindung tersebut, bagaimana penjelasannya, semuanya akan
dibahas dalam bab tiga buku ini.
Kemudian bab ini akan menguraikan pula
berbagai risiko yang mengintai dalam aktivitas mountaineering secara
umum. Sumber bahaya yang bersifat objektif maupun subjektif akan diuraikan
secara komplit. Apa itu High Altitude
Cerebral Edema (HACE), apa itu High
Altitude Pulmonary Edema (HAPE), kemudian apa itu hipothermia, hipoxia, dan
berbagai penyakit ketinggian lainnya. Potensi longsoran atau avalanche, badai, rockfall,
sampai kepada aktivitas vulkanisme pada pendakian gunung berapi juga
disampaikan secara lengkap dalam uraian bab ketiga ini.
![]() |
Source: Alaska Mountaineering School |
Pembahasan tentang berbagai pegunungan dunia
yang menjadi medan mountaineering akan mengakhiri uraian pada bab tiga.
Pada wilayah Amerika Selatan kita akan melihat bahwa selain Andes yang
mempesona, ada juga sekumpulan pilar-pilar langit di Patagonia. Lalu di Amerika
ada Saint Elias, selain tentu saja Denali dan alam Alaska-nya yang luar biasa.
Berpindah ke Eropa ada Alpen yang tetap menjadi daya tarik tak terkalahkan,
selain juga ada Pegunungan Kaukasus, Siberia, Dataran Tinggi Balkan, Pyrenees
dan yang lainnya.
Pegunungan Himalaya, Karakoram, Hindu Kush,
Tien Shan, Pamir, Ural menjadi magnet terkuat dari Asia yang menjadi poros
utama aktivitas pendakian gunung dunia. Kemudian saat landskap mountaineering
melebar ke arah benua Australia dan Selandia Baru maka tampillah Pegunungan
Alpen Australia dan Pegunungan Aoraki. Sementara jika merujuk pada cakupan
wilayah yang lebih lokal, kita akan menemukan bahwa Pegunungan Jaya Wijaya,
Sudirman, Bukit Barisan, gunung-gunung api di pulau Jawa, serta melebar ke
Pegunungan Hkakabo Razi di Myanmar, adalah daftar medan mountaineering
yang eksis di Asia Tenggara.
Masuk ke bab empat pembahasan akan lebih
menarik dengan dibahasnya lima legenda yang dianggap paling familiar dan layak
untuk diketahui publik mountaineering Indonesia. Kisah-kisah yang
diangkat ini merupakan kisah yang memuat banyak pelajaran dan hikmah, khususnya
dalam ranah dunia pendakian gunung.
Kisah pertama adalah sebuah kisah yang populer
dengan nama Touching The Void yang
mengangkat nama Joe Simpson dan Simon Yates
terkait dengan petualangan mereka di Siula Grande, Amerika Selatan.
Beberapa orang yang mungkin telah membaca atau menonton film tentang kisah ini,
bisa saja berkata kisah tersebut tak lagi menarik jika dibahas dalam buku ini.
Namun tunggu dulu, pada kisah yang kedua kita akan melakukan sedikit studi
komparatif antara kisah Joe Simpson dan kisah yang dialami oleh dua legenda mountaineering
Inggris di Baintha Brakk, Doug Scout dan Chris Bonington.
Kisah tentang survival yang harus dijalani
oleh Doug Scout dan Chris Bonington di Baintha Brakk atau The Ogre akan kita
lihat perbandingannya dengan kisah Joe Simpson di Siula Grande. Perbandingan
ini mencakup sikap dan motivasi yang ditunjukkan keduanya dalam menghadapi
saat-saat paling genting dalam hidup mereka.
![]() |
Source: Himalayan Glaciers |
Lanjut kisah legenda yang ketiga bercerita
tentang kemampuan bertahan hidup paling legendaris di gunung Himalaya yang
dilakukan oleh Jean Christophe Lafaille ketika harus turun dari dinding selatan
Annapurna menggunakan perlengkapan yang sangat terbatas.
Determinasi, motivasi, daya tahan, dan skill
bertahan hidup legenda pendaki gunung Perancis ini akan ditekan sampai pada
titik terendahnya. Kemampuan Lafaille untuk bangkit dan tetap hidup adalah
sebuah pelajaran sangat penting bagi kita bersama bahwa semangat dan
ketangguhan untuk tetap bertahan adalah harta paling berharga di tengah situasi dan kondisi yang paling buruk
sekalipun.
Pada legenda yang keempat tidak ada lagi
uraian mengenai survival dan penderitaan. Dalam uraian kali ini kita akan
membahas mengenai kontroversi yang terjadi pada salah satu medan rock climbing
paling menantang di Amerika Selatan, yaitu Patagonia, dimana Cerro Torre yang
menjadi objek utamanya.
Dari pendakian fisrt ascent yang penuh
keraguan oleh Cesare Maestri, kontroversi ‘pembunuhan’ semangat alpinisme
dengan pembuatan Compressor Route juga oleh Maestri, pendakian David Lama
dengan tim Red Bull-nya yang mendapat kritik keras dari American Alpine Club, sampai kepada silang pendapat mengenai
penetapan apakah standar estetika sebenarnya dari
sebuah semangat alpinisme atau mountaineering. Semuanya ada dalam uraian
kisah yang keempat ini.
Dibanding empat kisah sebelumnya, kisah
terakhir ini mungkin yang paling populer dikenal di Indonesia. Kisah tentang
Rob Hall dan Scott Fischer yang tewas pada bulan Mei tahun 1996 di Everest
sangat familiar untuk diketahui secara luas, bukan saja karena epiknya, namun
juga karena kontroversi yang menyelimuti kisah ini sebenarnya.
![]() |
Source: Summit Climb |
Bagi sahabat pembaca yang sudah menonton film Into Thin Air atau Everest, maka kisah yang ini tentu bercerita tentang pristiwa yang
sama. Akan tetapi uraian dalam buku ini akan sangat menarik untuk disimak.
Karena sumber utama kisah terakhir bab empat dalam buku ini bukan dari buku
John Krakauer, bukan dari buku Anatoli Boukreev, bukan dari tulisan Lane
Gammelgaard, dan bukan pula dari kisah yang dituturkan Beck Weathers.
Namun sumber utama dan tungal kisah yang
diuraikan dalam buku ini disarikan dari tulian Ed Viesturs dalam bukunya No Shortcut to the Top. Sahabat pembaca
nanti bisa melihat dan membandingkan ternyata ada cukup banyak hal yang kita
lewatkan jika mengetahui kisah legendaris ini hanya dari filmnya saja.
Masuk ke bab yang kelima uraian akan difokuskan
pada sekitar 70 nama besar paling signifikan sepanjang sejarah pendakian gunung
dunia. Dalam uraian ini penulis membagi nama-nama populer dalam empat kategori
untuk memudahkan kita mengenal dan mengetahui kontribusi dan sumbangsih mereka
dalam dunia mountaineering secara global.
Pembagian kategori ini didasarkan pada masa
kemunculannya dan juga periode eksistensi mereka. Periode para pionir, periode
para legenda, periode masa kini dan prediksi untuk masa depan. Sahabat yang
familiar dengan nama seperti Reinhold Messner, Walter Bonatti, Maurice
Herzog, George Mallory, Edmund Hillary
sampai kepada nama seperti Ueli Steck, Alex Honnold dan Kilian Jornet pun
mendapat tempat dalam daftar ini.
Lantas apa saja yang mereka lakukan dan apa
alasan utama nama mereka dimasukkan dalam list tersebut, jawabannya ada dalam
pembahasan panjang lebar di bab lima.
![]() |
Source: Via Dinarica |
Dalam buku Wajah
Maut Mountaineering Indonesia, penulis
mengemukakan sebuah ide tentang award atau penghargaan yang dapat diberikan
kepada para petualang atau pendaki gunung Indonesia yang diangap memiliki
prestasi dan layak untuk diapresiasi. Pada pembahasan bab enam buku ini, akan
ditampilkan lima profil award serupa dalam tatanan internasional. Pada
prosesnya, lima award seperti inilah kemudian yang menjadi inspirasi bagi saya
untuk menuliskan ide tentang award untuk para insan petualang Indonesia dalam
buku Wajah Maut Mountaineering Indonesia.
Apa saja penghargaan dan award dalam tingkat
internasional yang dimaksud, apa saja
yang menjadi objek penilaian, siapa saja yang berhak menjadi nominasinya, dan
apa jenis award yang kemudian diberikan kepada sang penerima? semua jawabannya
diuraikan secara lengkap dalam bab enam.
Isu tentang komersialisasi mountaineering
yang demikian massif, terutama di Everest, memunculkan sebuah ide bernama Syndrome Anti Everest yang pertamakali
disampaikan oleh John Krakauer saat menjadi salah satu pembicara dalam film Meru. Pada perkembangannya keresahan
akan komersialisasi yang demikian deras ini mengorbitkan pula sebuah pemikiran
untuk mencari gunung lain yang dapat menggantikan posisi Everest.
Keinginan untuk mencari The Next Everest ini merupakan upaya ‘pelarian’ (dapat kita
istilahkan demikian) bagi para pendaki tradisional yang tetap memegang teguh
nilai estetika mountaineering yang sejati. Para pendaki tradisional yang
malang ini terpaksa meninggalkan Everest karena gempuran pendaki komersial yang
kian membludak dari hari ke hari.
Apa saja yang kemudian menjadi dampak
komersialisasi Everest?
![]() |
Source: Pinterest |
Ada banyak jawaban yang kemudian muncul.
Kemudian ada pula silang pendapat dan tanggapan dari para pendaki gunung
populer tentang laju komersialisasi ini. Nama Edmund Hillary, Reinhold Messner,
Conrad Anker akan ikut diangkat dalam bab ini terkait dengan tanggapan mereka
tentang tema ini. Dan ternyata tidak semua pendaki tradisional menganggap
komersialisasi pendakian gunung sebagai sesuatu yang buruk. Apa maksudnya?
temukan jawabannya dalam pembahasan bab tujuh ini nanti.
Selain itu, bab tujuh akan juga mengemukakan
tujuh destinasi yang dianggap memiliki kapabilitas dan kelayakan untuk
dijadikan the next Everest, dan salah
satunya ada di Asia Tenggara yang fisrt ascent-nya sendiri masih merupakan pertanyaan besar.
Apa saja kemudian yang dianggap layak menggantikan Everest itu? Apa pertimbangannya? Bab tujuh adalah uraian jawabannya.
Bab delapan atau yang terakhir dalam buku ini
akan membahas 100 merek atau brand paling populer yang konsisten mendukung
aktivitas mountaineering di seluruh dunia. Bahasan yang merupakan
pelengkap ini saya anggap cukup penting untuk ditampilkan pada bagian terakhir
buku untuk menambah wawasan kita bersama mengenai berbagai produk dan merek
alat pendakian gunung yang mulai menjamur di tanah air.
Ada sedikit segmentasi yang saya kira kurang
bijaksana hadir di tengah-tengah maraknya ketertarikan
pada dunia pendakian gunung Indonesia. Segmentasi ini adalah segmentasi pendaki
yang didasarkan pada merek-merek produk yang mereka gunakan, yang pada
perkembanganya melahirkan sebuah istilah berlebihan yang disebut pendaki dewa.
Tidak ada pendaki dewa jika itu didasarkan
hanya karena merek yang mereka gunakan. Dalam bahasan terakhir yang menampilkan
seratus brand mountaineering populer ini, kita akan melihat bahwa yang
terbaik bahkan kadang juga memiliki ‘cacat’.
Source: iStock |
Tampilan brand-brand ini juga merupakan
sebuah tambahan pengetahuan saja bagi kita untuk lebih bijaksana. Karena kadang
ada sesuatu yang dilupakan oleh generasi pendaki milenial zaman sekarang, bahwa
mendaki gunung sama sekali bukan bagaimana berbusana ala pendaki gunung. Produk
dan merek adalah sarana dan alat pendukung aktivitas mendaki gunung, namun sama
sekali bukan intisari dari sebuah makna pendakian gunung itu sendiri.
Saya berharap uraian-uraian dalam buku ini dapat membantu kita untuk memahami aktivitas mountaineering secara utuh. Dapat membantu generasi muda Indonesia yang memiliki ketertarikan dan minat kepada dunia pendakian gunung untuk mengetahui lebih banyak tentang mountaineering dan apa saja yang ada didalamnya.
Saya Anton, saya suka mendaki gunung dan hiking. Saya juga adalah
penulis buku mountaineering di Indonesia. Beberapa buku karya saya tentang
dunia pendakian gunung yang sudah diterbitkan adalah;
- Wajah Maut Mountaineering Indonesia
- Dunia Batas Langit
- Mahkota Himalaya
- Merapi Barat Daya
- Maut Di Gunung Terakhir
- MMA Trail
- Sejarah Pendakian Tebing Utara
- 9 Puncak Seven Summit
- Dewi Gunung
- Gunung Kuburan Para Pemberani
- Hari Terakhir Di Atas Gunung
- Mimpi Di Mahameru
Semua buku-buku tersebut dapat diperoleh dengan mudah di beberapa marketplace atau langsung melalui tautan aplikasi whatsapp disini.
Tulisan saya yang lainnya juga bisa ditemukan di:
Terimakasih telah mengunjungi Arcopodo Journal.com
Thank you for sharing this valuable information.Keep on doing it, waiting for the next one!!!
BalasHapusAnnapurna
Very informative post. Keep it up!
BalasHapus