MALAPETAKA GUNUNG K2 DAN KISAH TEWASNYA ROMEO JULIET PUNCAK HIMALAYA
Gunung selalu memiliki cerita menarik untuk dikisahkan, termasuk juga Gunung K2. Di gunung yang terkenal dengan keganasannya ini, ada banyak legenda yang terjadi. Salah satu legenda itu adalah ketika sepasang kekasih yang tewas dalam dekapan badai setelah turun dari mencapai puncaknya di tahun 1986.
Nah, siapakah
sepasang kekasih tersebut dan bagaimana kisah mereka?
Berikut
cerita lengkapnya.
Black Summer Gunung K2
dan Sejarah Kematian Terburuk
Source: Unsplash |
Black Summer pada musim pendakian gunung K2
tahun 1986 tidak hanya membunuh legenda Inggris seperti Julie Tullis dan Alan
Rouse, atau Renato Casarotto dari Italia, atau Tadeusz Piotrowski dan Wojciech
Wróż dari Polandia.
Namun musim pendakian yang paling mengerikan dalam pendakian gunung K2 itu juga
mengakhiri sebuah kisah asmara pasangan pendaki gunung asal Perancis yang
paling populer saat itu, Liliane Barrard dan Maurice Barrard.
Setidaknya ada 13 pendaki gunung dari
berbagai negara yang tewas di K2 pada tahun 1986. Penyebab kematian ini
bervariasi, mulai dari terjatuh ke dalam crevasse, diseret longsoran, dihantam
batuan rontok, hilang saat turun, atau pun terpapar badai yang kemudian
berakibat pada efek edema.
Pada tanggal 21 Juni 1986, John Smolich dan
Alan Penninggton dari Amerika Serikat membuka lembaran Black Summer K2 dengan terbunuh oleh avalanche.
Tanggal 24 Juni atau 3 hari kemudian,
Maurice dan isterinya Liliane dari Perancis, menghilang saat perjalanan turun
dari puncak.
Tanggal 10 Juli, giliran pendaki gunung
berbakat Tadeusz Piotrowski dari Polandia terjatuh dan tewas, padahal saat itu
Piotrowski baru saja menyelesaikan pembuatan rute Polish Line di sisi selatan K2 bersama dengan sang legenda Jerzy
Kukuczka.
Source: Unsplash |
Enam hari setelah kematian Piotrowski,
giliran publik Italia yang menangis ketika salah satu pendaki gunung terbaik
mereka bernama Renato Casarotto jatuh dalam ceruk es sekitar satu kilometer
dari base camp pendakian. Casarotto saat itu baru saja turun dari upaya
ketiganya yang gagal di Southwest Pillar K2.
Musim itu ternyata ditakdirkan bahwa
Polandia tidak hanya kehilangan satu pendaki terbaiknya di K2, Wojciech Wróż
menyusul Piotrowski menuju nirwana pada tanggal 4 Agustus, saat ia terjatuh ke
gletser Goldwin Austen.
Padahal dua pendaki Polandia ini, baik
Piotrowski mau pun Wróż, sama-sama baru saja menciptakan pendakian spektakuler
dalam karier mereka. Piotrowski tewas setelah membuat Polish Line yang fenomenal bersama Kukuczka, sementara Wróż tewas
setelah baru saja berhasil menaklukkan Southwest
Pillar bersama ekspedisi Polandia-Slowakia.
Di hari yang sama dengan kematian Wróż,
Pakistan juga kehilangan pendaki mereka, Mohammad Ali, sirdar untuk ekspedisi
Korea yang tewas setelah sebuah batuan rontok menghantam dirinya di dinding K2.
Masih belum selesai sampai di sana, sekitar
tanggal 6 sampai 7 Agustus 1986, Julie Tullis dan Alan Rouse dari Inggris,
Hannes Wieser dan Alfred Imitzer dari Australia, juga Dobroslawa Miodowicz Wolf
dari Polandia (Polandia lagi) tewas karena edema, kelelahan, dan dehidrasi
setelah berhari-hari dikepung badai yang tiada jeda.
Karena demikian banyaknya kematian pada
musim pendakian tahun itu, maka musim pendakian K2 pada tahun 1986 populer
dengan istilah K2 Black Summer, atau Musim Pendakian Suram gunung K2.
Kematian Dramatis
Romeo dan Juliet Puncak Himalaya di Gunung K2
![]() |
Source: Pinterest |
Maurice Barrard dan Liliane Barrard, dua
orang korban yang ikut tewas dalam K2 Black Summer memiliki sebuah daya
tariknya sendiri untuk kita ceritakan.
Pada beberapa sudut pandang, Maurice dan
Liliane Barrard dapat dianalogikan sebagai Romeo Juliet-nya puncak delapan ribu
meter pada masa itu. Mereka adalah pasangan suami isteri pertama di dunia yang
melakukan pendakian ke puncak-puncak tertinggi dunia secara bersama-sama.
Puncak K2 adalah puncak keempat yang
berupaya disambangi oleh dua sejoli ini. Sebelumnya pasangan Barrard telah
mengunjungi puncak Gasherbrum II dan Nanga Parbat, sayangnya pendakian kedua
mereka di Makalu berakhir dengan kegagalan.
Seperti halnya banyak bintang pendaki
gunung pada masa itu, Liliane dan Maurice Barrard juga melakukan berbagai
pendakian mereka dengan prinsip alpine style. Dengan sebuah tim kecil,
tanpa sherpa, tanpa pemandu, dua sejoli dari Perancis itu berupaya menggapai
berbagai puncak tertinggi di Himalaya.
Tim kecil yang efisien memang menguntungkan
bagi banyak pendaki gunung yang memang menyukai mountaineering sebagai
sebuah perjalanan petualangan yang sebenarnya. Tim kecil dengan prinsip alpine
style tentu lebih hemat dari sisi biaya, lebih fleksibel dalam pergerakan,
lebih independen dalam pengambilan keputusan, dan juga tentu saja lebih
‘berkelas’ (dilihat dari pencapaian mountaineering) yang mereka lakukan.
Badai dan Dehidrasi
Parah
Source: Unsplash |
Sebelum proses summit push puncak K2
tanggal 23 Juni 1986, Maurice Barrard dan Liliane Barrard juga pendaki Perancis
yang lain (Michel Parmentier) ditemani pula oleh pendaki perempuan dari
Polandia (Wanda Rutkiewicz), menghabiskan malam dalam bivak pada ketinggian
8.300 meter.
Pada saat turun dari puncak, keempat
pendaki ini memutuskan untuk kembali menggunakan bivak mereka guna menghabiskan
malam yang diamuk badai besar. Tidak mungkin bagi mereka untuk melanjutkan
perjalanan turun saat itu, terlalu berbahaya dan sangat berisiko.
Keesokan harinya, cuaca di gunung K2 masih
belum bersahabat. Meskipun amukan badai tidak sedahsyat malam sebelumnya, namun
perjalanan turun dalam kondisi seperti saat itu tetap memiliki risiko tinggi.
Bagaimana pun juga, Maurice Barrard dan
kawan-kawan tetap memutuskan untuk turun, karena bertahan pada ketinggian 8.300
meter di tengah badai yang mengamuk sama saja artinya dengan mempercepat
kematian yang memang mungkin sudah di depan mata.
Proses perjalanan turun ini sangat tidak
mudah bagi keempat pendaki itu, namun bagaimana pun juga, Maurice Barrard dan
isterinya adalah yang nampaknya paling kehabisan tenaga untuk bergerak.
Source: Unsplash |
Pada ketinggian 7.900 meter di bawah Bottleneck,
Wanda Rutkiewicz dan Michel Parmentier mulai tidak dapat melihat lagi suami
isteri itu di belakang mereka. Merasa mungkin bahwa dua sejoli Perancis itu
hanya tertinggal, Wanda dan Parmentier meneruskan perjalanan turun mereka
hingga mencapai Camp 3 yang berada pada ketinggian sekitar 7.800 meter.
Mulanya Parmentier turun lebih dulu
daripada Wanda Rutkiewicz dan pasangan Barrard untuk meminjam bahan bakar pada
dua pendaki Spanyol (Mari Abrego dan Josema Casimiro) yang berada di bawah
mereka.
Menghabiskan satu malam di bivak 8.300
meter tanpa air benar-benar membuat kelompok itu (Barrards, Rutkiewicz dan
Parmentier) mengalami dehidrasi parah. Bahan bakar mereka habis, makanan pun
sudah tidak ada. Meskipun mereka berdiri di atas salju dan es yang dingin beku
penuh air, itu sama sekali tidak dapat diminum jika tidak dicairkan terlebih
dahulu degan kompor. Dan karena bahan bakar untuk kompor habis, maka mencairkan
salju menjadi sesuatu yang mustahil dapat dilakukan.
Namun ternyata Abrego dan Casimiro juga tidak
jauh berbeda, keduanya pun sudah kehabisan bahan bakar dan menghabiskan malam
tanpa air, seperti Parmentier dan kawan-kawannya.
Tak lama setelah Parmentier menemui tim
Spanyol itu, Wanda Rutkiewicz kemudian berhasil menyusulnya, sementara pasangan
Barrard masih tertinggal di belakang. Bersama kemudian empat pendaki itu
bergerak perlahan turun menuju Camp 3.
Beberapa saat menunggu di Camp 3, pasangan
Barrard tetap tak terlihat. Kondisi Wanda Rutkiewicz yang sudah terpapar di
ketinggian beberapa hari membuatnya memutuskan untuk kembali melanjutkan
perjalanan turun bersama dengan Mari Abrego dan Josema Casimiro. Namun Michel Parmentier
memutuskan untuk tetap menunggu Liliane Barrard dan Maurice Barrard di Camp 3.
Penantian Hampa
Parmentier
![]() |
Source: Montagnes Magazines |
Keputusan Parmentier yang bersikeras
menunggu pasangan Barrard sebenarnya menghadapi risiko yang juga tidak kalah
serius. Ia kelelahan, dehidrasi, tanpa makanan, dan juga secara psikologis
sangat ingin untuk segera mencapai basecamp seperti Wanda Rutkiewicz dan dua
pendaki Spanyol yang melanjutkan perjalanan turun mereka.
Namun sebagai bagian dari sebuah ekspedisi,
apalagi Parmentier dan Pasangan Barrard adalah satu negara yang secara tidak
langsung meningkatkan kedekatan di antara mereka, maka berat hati Parmentier
untuk meninggalkan dua sejoli itu begitu saja tanpa tahu pasti apa yang telah
terjadi dengan mereka.
Saat Parmentier sedang menunggu Maurice
Barrard dan Liliane Barrard di Camp 3, Benoît Chamoux (pendaki besar Perancis
yang lain) yang juga sedang mendaki K2 bersama ekspedisi Italia meyakinkannya
untuk segera turun ke base camp. Bagaimana pun juga, rasa nasionalisme tetap
ada dalam pendakian gunung. Chamoux yang melihat kondisi Michel Parmentier
demikian lemah dan lelah, tentu saja merasa sangat khawatir dengan pendaki satu
negara dengan dirinya itu.
“Kau harus turun,
Michel! Terlalu berbahaya untukmu bertahan di sini”
Suara Benoît Chamoux yang menggunakan
bahasa Perancis itu menghilang dengan cepat dari telinga Parmentier. Gemuruh
angin yang mengepak-ngepak kain dinding tenda membuat semua suara lain seolah
tak berarti.
Source: Unsplash |
“No, no, no. Aku
tak bisa meninggalkan Maurice dan Liliane begitu saja”
Parmentier menjawab dengan cepat, bibirnya
pucat dan bergetar.
“Kita tidak tahu
apa yang terjadi dengan mereka. Tapi kau pasti akan mati jika terlalu lama di tempat
ini..”
Pupil mata Parmentier melebar mendengar kalimat
Chamoux, terdengar kasar baginya, tapi ia tahu Chamoux jujur dan berniat baik.
Semua orang tahu apa yang akan terjadi jika terlalu lama bertahan pada
ketinggian seperti ini di atas gunung paling sulit di dunia yang terkenal
karena kekejamannya.
“Aku
tidak bisa meninggalkan Maurice dan Liliane, saya akan menunggu mereka sebentar
lagi di tempat ini. Kau turunlah duluan”
Chamoux menghela nafas agak berat, selaput
kabut mengepul dari mulutnya yang kedinginan. Sesaat kemudian ia telah mengambil sebuah radio dari
dalam ransel di punggungnya.
“Baiklah jika itu
pilihanmu. Bawa radioku ini sebagai alat komunikasimu pada base camp”
“Merci, merci, Ben” ucap Parmentier sambil
menyambut radio dari tangan Chamoux.
“Aku akan turun
sekarang, Michel. Aku harap kau juga segera turun jika merasa itu sudah
saatnya. Kau harus tetap berpikir jernih kawan, semoga beruntung”
Chamoux bangkit berdiri sembari menepuk
bahu Parmentier. Parmentier mengucapkan sekali lagi rasa terimakasihnya sebelum
sosok tubuh Chamoux dan beberapa pendaki Italia menghilang dari pandangan
matanya.
Bersambung….
‖
Artikel ini dikutip dari buku HARI TERAKHIRDI ATAS GUNUNG karya Anton Sujarwo
‖
- Wajah Maut Mountaineering Indonesia
- Dunia Batas Langit
- Mahkota Himalaya
- Merapi Barat Daya
- Maut Di Gunung Terakhir
- MMA Trail
- Sejarah Pendakian Tebing Utara
- 9 Puncak Seven Summit
- Dewi Gunung
- Gunung Kuburan Para Pemberani
- Hari Terakhir Di Atas Gunung
- Mimpi Di Mahameru
Semua buku-buku tersebut dapat diperoleh dengan mudah di beberapa marketplace atau langsung melalui tautan aplikasi whatsapp disini.
Tulisan saya yang lainnya juga bisa ditemukan
di:
Terimakasih telah mengunjungi Arcopodo
Journal.com
Posting Komentar untuk "MALAPETAKA GUNUNG K2 DAN KISAH TEWASNYA ROMEO JULIET PUNCAK HIMALAYA"