KISAH SURVIVAL PALING LEGENDARIS DI GUNUNG RAKSASA
Berita kematian Doug Scott di media sosial baru saja bergema. Pendaki terbaik dunia ini akhirnya terbaring dengan damai untuk selamanya setelah bertarung melawan kanker otak pada waktu-waktu terakhir hidupnya. Dengan tubuh yang renta termakan usia dan penyakit, sungguh luar biasa mengingat di masa muda ia adalah salah satu pendaki gunung terbesar yang pernah ada.
Sebagai pengingat bagi
kita tentang sosok Doug Scott, berikut akan diceritakan kembali kisah
survivalnya yang legendaris di gunung The Ogre pada tahun 1977. Kisah ini
dikutip dari buku Dunia Batas Langit karya Anton Sujarwo yang terbit pada tahun
2019 yang proses penulis dan penerbitannuya disponsori oleh Akasaka Outdoor.
Selamat membaca.
BACA
JUGA:
- KISAH PENDAKI GUNUNG PERTAMA YANG MENCAPAI PUNCAK EVEREST SECARA SOLO
- PROFIL SILVIA VIDAL, PENDAKI GUNUNG PEREMPUAN SOLO PALING KUAT DI DUNIA
Kisah Survival
Doug Scott Bertahan Hidup Dengan Kedua Kaki yang Patah di Baintha Brakk
The Ogre adalah nama lain
dari sebuah puncak besar di pegunungan Karakoram, Pakistan. Nama sebenarnya dari gunung
ini adalah Baintha Brakk, berdiri dengan elevasi 7.285
meter, dan merupakan sebuah gunung yang juga menjadi latar dimana sebuah kisah
mountaineering yang luar biasa terjadi (meskipun tidak sepopuler Touching The Void).
Jika Touching
The Void
mengorbitkan nama Joe Simpson dan Simon Yates populer ke seluruh dunia menjadi
mountaineer
yang terkenal.
Maka kisah yang terjadi di The Ogre
ini melibatkan nama yang memang sudah terkenal dalam dunia alpine dan
mountaineering Inggris, bahkan dunia. Di antara enam orang yang menjadi tokoh
dalam legenda The Ogre, dua nama yang
utama adalah Doug Scott dan Chris Bonnington.
Doug Scott sendiri sebagai pemeran
utama dalam The Ogre, adalah seorang alpinis
papan atas Inggris yang dikenal sebagai salah satu mountaineer terbesar
sepanjang sejarah. Ia adalah orang pertama yang mendaki Everest melalui sisi barat
daya pada tahun 1975 bernama Dougal Haston. Tahun 1979 Scott juga
berhasil mencapai Puncak Kangchenjunga sebagai third ascent bersama
timnya, lagi-lagi dengan membuat rute baru.
Masih di tahun 1979, Doug Scott juga
mencapai Puncak Nuptse melalui north face bersama Georges Bettembourg, Brian
Hall, dan Alan Rouse. Sementara di tahun-tahun setelahnya Doug Scott tercatat
juga mencapai Nanga Parbat (1992), Shishapangma (1982), Chamlang Peak (1984),
Targo Ri (2000), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin untuk disebutkan
semuanya secara detail dan satu demi satu.
Di Everest, Doug Scott dan Dougal
Haston sempat membuat takjub dunia alpinis dengan menghabiskan malam beku dalam
sebuah bivak darurat 100 meter di bawah puncak utama, tanpa tabung oksigen,
tanpa sleeping bag, dan luarnya biasanya juga tanpa radang dingin dan frostbite. Meskipun bukti itu sudah
cukup untuk membuat nama Doug Scott sebagai salah satu alpinis dengan stamina
dan ketahanan yang luar biasa, namun kejadian yang menimpanya di Baintha Brakk tahun 1977, memiliki
komposisi yang lebih kompleks untuk membuktikan
ketangguhan seorang Doug Scott.
Ekspedisi
Pendaki Inggris ke Gunung Baintha Brakk Tahun 1977
Tahun 1977, Doug Scott, Chris
Bonnington, Mo Anthoine, Clive Rowland, Nick Estcourt, dan Tut Braithwaite, berangkat ke
Pakistan guna mencoba mendaki Puncak Baintha Brakk, sebuah puncak gunung yang
sampai saat ini dapat dikatakan sebagai salah satu puncak tinggi Karakoram yang
sulit untuk didaki. Sebelumnya
puncak Baintha Brakk telah coba didaki pada tahun 1971 dan 1976, namun semuanya
berakhir dengan kegagalan.
Baintha Brakk sendiri, adalah
salah satu puncak Pegunungan Karakoram yang memerlukan lebih banyak
keterampilan teknis rock climbing
dibandingkan pendakian gunung salju dan es pada umumnya. Puncak-puncak yang ada
di sekitar
tempat Baintha Brakk berdiri, adalah puncak-puncak dengan gerigi-gerigi terjal
yang menonjol tajam dan curam, sehingga membuat permukaannya (terutama
menjelang puncak) kadang sama sekali terbebas dari adanya es dan salju.
Kondisi ini tentu menjadi ‘taman
bermain’ yang sempurna untuk seorang pemanjat tebing. Namun berbeda ceritanya
jika tempat itu berada di ketinggian 6.000–7.000 meter. Selain keterampilan rock climbing yang mumpuni, kemampuan untuk
bertahan dibawah cuaca ketinggian yang ekstrim adalah syarat lain yang harus
dipenuhi jika ingin bermain di Baintha Brakk atau The Ogre.
Pendakian tahun 1977 pada awalnya
dibagi dalam dua tahap yang berbeda. Doug dan Tut lebih memilih South Pillar, sebuah tebing granit
setinggi lebih dari 1.000 meter yang sangat tidak mudah untuk didaki. Sementara
itu, empat anggota tim lainnya; Chris, Nick, Clive, dan Mo memilih rute
tenggara, yang dinilai lebih mudah, namun pada kenyataannya tidak kalah parah dengan
South Pillar.
Belum begitu jauh ekspedisi dimulai,
Doug terpaksa harus segera membatalkan pendakiannya di South Pillar karena Tut
terluka dihantam rock fall. Namun di sisi tenggara,
Chris Bonnington dan Nick Estcourt berhasil mencapai Puncak bagian barat atau West Ogre dari Baintha Brakk (lebih
rendah dari puncak utama The Ogre), setelah menghabiskan lima hari tertahan di atas
ketinggian 6.100 meter.
Setelah Puncak West Ogre tercapai,
keenam anggota ekspedisi ini kembali lagi ke base camp. Nick dan Tut memutuskan
untuk beristiahat di base camp, sementara empat pendaki lainnya kembali lagi ke
tebing untuk mencoba mencapai
puncak utama.
Empat orang pendaki Inggris ini
akhirya kembali mencapai West Ogre
untuk yang kedua kalinya. Mereka
kemudian mendirikan sebuah camp berupa goa salju yang dibuat di punggungan
(col) yang menghubungkan antara West Ogre
dan Main Ogre (puncak utama). Camp
ini berada pada ketinggian 7.000 meter, dan ini adalah camp tertinggi ekspedisi
itu.
BACA
JUGA:
- SEJARAH LENGKAPNYA LAHIRNYA PENDAKIAN SEVEN SUMMIT
- 7 FAKTA TENTANG GUNUNG K2 YANG TIDAK BANYAK DIKETAHUI
Fisrt Ascent
dan Musibah di Gunung Raksasa
Dari camp ini, puncak utama masih
berjarak 250 meter lagi, dan itu adalah bagian paling sulit, di mana tebing
granit nyaris tegak lurus menghadang langkah kaki mereka. Diputuskan kemudian
yang akan melanjutkan pendakian ke puncak utama The Ogre adalah Doug Scott dan
Chris Bonnington, karena diakui
atau tidak, keduanya adalah yang paling berpengalaman dan berkompeten dalam tim
tersebut. Keputusan seperti ini juga dibuat pada dasarnya merupakan hasil
musyawarah dari kesemua anggota tim, bukan dominasi atau perintah seseorang. Karena sedari awal tim
itu sudah menyepakati untuk mendaki tanpa ada yang harus menjadi pemimpin atau
leader, dan semua keputusan dibuat berdasarkan suara kolektif.
Doug dan Chris memanjat tebing
menuju puncak utama dengan lancar, meskipun dalam wawancaranya Doug Scott tidak
dapat mendefinisikan tingkat kesulitan dari tebing terakhir Puncak The Ogre
tersebut. Namun kombinasi tebing granit vertikal dan letaknya yang berada di ketinggian (di atas
7.000 meter) sudah lebih dari cukup untuk memberi kita penjelasan bahwa
pendakian itu sangat tidak mudah.
Tanggal 13 Juli 1977, ketika
matahari sudah terbenam, Doug Scott dan Chris Bonnington akhirnya berhasil mencapai Puncak
The Ogre sebagai first ascent. Dan
karena cahaya matahari perlahan semakin berkurang, kedua pendaki itu tahu
mereka segera harus turun sebelum keadaan benar-benar berubah menjadi gelap
gulita.
Dan dalam proses rappelling itu,
baru satu picth berjalan, Doug secara tak sengaja telah mematahkan pergelangan
kakinya saat berayun dari tali sepanjang 30 meter. Saat coba mendorong kaki
kanannya ke permukaan tebing, Doug merasakan sakit yang luar biasa. Kemudian dia juga mencoba
mendorong kaki kirinya, dan itu juga berakhir dengan rasa sakit yang sama. Atas dasar itu, Doug
menyadari bahwa kedua kakinya telah patah.
Saat itu posisi Doug dan Chris belum
begitu jauh dari puncak, masih butuh lebih dari 200 meter sebelum mereka bisa mencapai
camp di mana Mo Anthoine dan Clive Rowland menunggu mereka. Sedangkan untuk
mencapai base camp, dibutuhkan turun lebih kurang 2.000 meter lagi, dan Doug
menyadari itu pasti
tak akan mudah.
Meskipun
demikian ia tak pernah kehilangan semangat dan rasa optimis.
Dalam sebuah wawancara Doug
menjelaskan keyakinannya saat itu;
“Tidak
ada rasa takut sama sekali, hanya antisipasi. Saya tidak memiliki keraguan
sedikit pun bahwa saya akan mampu turun, hanya saja saya tidak tahu bagaimana
cara melakukannya”
Komparasi
Survival Doug Scott dan Joe Simpson Touching The Void
Pada titik ini, beberapa komentator
banyak memberikan perbandingan kontardiksi yang signifikan antara sosok Doug
Scott dan Joe Simpson (dalam kisah survival Touching
The Void).
Ketika kakinya patah, reaksi pertama
yang muncul dari seorang Doug Scott adalah optimis, ia sama sekali tak
menganggap bahwa petualangannya telah tamat karena hal itu. Fokusnya adalah ia akan
mampu turun
dengan selamat, entah bagaimana pun caranya.
Sementara di bilik lain, kita menemukan reaksi
yang berbeda dari sosok Joe Simpson (jika membaca bukunya secara lengkap)
ketika menememukan kaki kanannya patah, Joe langsung merasa frustasi tingkat
tinggi, merasa bahwa kehidupannya akan segera berakhir di Siula Grande.
Jika dilihat lebih lanjut, posisi
kaki yang patah mungkin juga mempengaruhi reaksi kedua survivor ini. Sebuah
proses rappelling membutuhkan kedua
kaki atau satu kaki sebagai dorongan yang ditekan ke permukaan tebing untuk
menghasilkan gaya pegas dan gerakan turun. Doug yang kedua pergelangan kakinya
patah, dapat mengatasi situasi ini dengan berimprovisasi menggunakan lututnya
yang masih utuh.
Di pihak lain, Joe Simpson
mematahkan tulang tungkai kaki hingga tempurung lututnya, sehingga secara teori
ia hanya mampu bergerak dengan bantuan belay dari Simon Yates. Meskipun
demikian, tak perlu keterangan lebih banyak lagi untuk membayangkan bagaimana kedua
orang itu merasakan kesakitan yang parah pada proses turun yang mereka
lakukan.
Doug Scott dan Chris Bonnington
tidak dapat turun lebih jauh lagi malam itu, mereka dipaksa untuk bermalam
dalam bivak terbuka di sebuah lereng yang cukup curam. Keesokan harinya, begitu
semburat cahaya fajar keluar dan langkah pada permukaan tebing sudah cukup
jelas, keduanya segera beranjak untuk turun ke goa salju di mana Clive dan Mo
menunggu mereka dengan gelisah.
Sesampainya di goa salju tempat
Clive dan Mo bermalam,
keempat pendaki itu berbagi makanan beku terakhir yang mereka miliki dan
merencanakan untuk turun ke base camp di mana Nick dan Tut yang tak kalah gusar
menunggu mereka turun. Akan tetapi perjalanan turun hari itu terpaksa ditunda,
sebuah badai yang sangat kencang membutakan pandangan, membuat keempat orang
itu terpaksa harus melewati satu malam lagi di goa salju di atas ketinggian
7.000 meter.
![]() |
Source: Montagnes Magazine |
Merupakan sebuah hal yang mengagumkan ketika kita melihat reaksi demi reaksi yang ditunjukkan Doug dalam menghadapi situasi hidup mati seperti itu. Ia seolah selalu menemukan secercah titik positif dimana ia bisa mengutarakan pendapatnya. Padahal saat itu yang bisa Doug lakukan adalah merangkak untuk dapat bergerak.
“Hal
itu tidak masalah bagi saya karena saya hanya mematahkan kedua pergelangan kaki
saya. Jika yang saya patahkan adalah tulang paha, maka tak diragukan lagi,
sampai sekarang saya akan tetap tinggal
di sana”
Untuk dapat turun ke base camp,
terlebih dahulu keempat pendaki itu harus naik ke West Ogre. Dan itu tentu semakin tidak mudah di tengah kelelahan,
cidera, kehabisan makanan, dan juga amukan badai. Akan tetapi beberapa komentar
positif yang ditunjukkan Doug Scott benar-benar nampak sebagai
suatu hal
yang aneh
bagi beberapa orang yang mungkin telah membaca kisah survival Joe Simpson dalam Touching The Void.
Simpson dalam bukunya, melukiskan
penderitaan, sekarat kematian, dan kesengsaraan yang luar biasa saat merangkak
tiga hari lamanya menyeberangi gletser Siula Grande menuju base camp mereka. Sedangkan Doug melukiskan
dengan emosi ‘seolah
gembira’ perjalanan hampir mati pitch demi pitch yang ia turuni di Baintha
Brakk.
Namun hal ini tentu dapat dijelaskan juga dengan kenyataan bahwa
Joe Simpson saat itu berada dalam kondisi seorang diri, sudah disangka mati,
dan cidera kaki yang lebih parah (bukan berarti cidera kaki Doug Scott tidak
parah). Kesepian, kesendirian, disangka sudah mati, dan terisolasinya lokasi membuat
semangat dan harapan yang ada dalam diri Joe Simpson lebih cepat untuk memudar,
walaupun pada
akhirnya ia juga mampu selamat.
BACA
JUGA:
- DETIK-DETIK TEWASNYA PENDAKI GUNUNG ANATOLI BOUKREEV DI ANNAPURNA
- PROFIL LIONEL TERRAY PENDAKI GUNUNG PENAKLUK PARA RAKSASA
Merangkak
Menuju Base Camp
Doug Scott, mungkin memiliki kondisi yang lebih beruntung (kata beruntung tidak cukup tepat sebenarnya untuk menggambarkan kedua kaki yang patah dan harus turun dari gunung setinggi 7.000 meter di tengah badai dan tebing vertikal yang curam).
Bagaimana pun juga Doug
masih dikelilingi oleh teman-temannya (Chris Bonnington, Clive Rowland, Mo
Anthoine) yang meskipun tak kalah sengsara, masih tetap sehat. Hadirnya ketiga
teman-teman yang ada di sekeliling Doug paling tidak memberi ia support (berupa bantuan fisik langsung
mau pun bantuan semangat psikologis) dan harapan untuk bertahan hidup lebih
banyak daripada Joe Simpson saat itu.
Butuh waktu tujuh hari bagi Doug dan
teman-temannya untuk dapat turun ke base camp, dan rata-rata semuanya dalam
kondisi cuaca yang buruk. Dalam perjalanan ini, Chris Bonnington juga mengalami
celaka saat jatuh dan mematahkan dua tulang rusuknya, dan ia juga terserang pneumonia- Pneumonia adalah penyakit
infeksi pada paru paru, membuat penderitanya susah bernapas, batuk, dan juga demam.
Perjalanan turun ini lebih banyak
dilakukan Doug dengan merangkak, bahkan di medan salju yang tebal kadang-kadang
ia menjadi
yang paling depan membuat jalan. Hal yang tersulit ketika tim ini sudah
mencapai areal berbatu, di mana batu-batu tajam dan runcing membuat kegiatan
merangkak
terasa sangat menyakitkan. Doug memakai empat lapis pakaian untuk menutupi
lututnya, namun itu
tak membuat lututnya
luput dari luka dan berdarah.
![]() |
Source: Footless Crow |
Mo Anthoine tiba di base camp lebih
dulu, namun ia menemukan Tut Braithwaite dan Nick Estcourt telah tidak ada lagi
di sana. Dalam catatan yang ditinggalkan oleh Tut dan Nick, mereka mengatakan
bahwa mereka telah pergi pagi itu, karena berasumsi bahwa mereka (Doug, Chris,
Mo, dan Clive) telah tewas di Baintha Brakk, setelah tujuh hari ditunggu tidak
kunjung kembali.
Mo kemudian juga berangkat mencoba mengejar Nick dan
Tut sebelum mencapai perkampungan dan mengabarkan berita yang keliru kepada
keluarga
mereka tentang asumsi bahwa rekan-rekannya telah tewas.
Saat Doug, Chris, dan Clive sampai
di base camp, mereka menemukan dua catatan. Catatan pertama dari
Nick dan Tut, dan yang kedua dari Mo. Secara teknis isinya sama,
mereka terpaksa meninggalkan base camp
lebih dulu. Nick dan Tut telah pergi karena menyangka mereka telah mati,
sementara Mo menyusul mereka untuk mengabarkan secepatnya berita yang lebih
baik.
Kisah seperti yang dialami Doug
Scott dan Joe Simpson adalah gambaran
kemampuan tubuh manusia yang mampu bertahan dalam kondisi yang buruk di atas ketinggian
gunung yang mematikan. Dimana kebanyakan
dari kita mungkin akan segera meringkuk dan menemui ajal jauh sebelum mencapai
base camp.
Karena itulah mengapa kisah seperti Touching
The Void dan The Ogre menjadi
terasa demikian istimewa.

Saya
Anton, saya adalah penulis mountaineering di Indonesia. Beberapa buku karya
saya tentang dunia pendakian gunung yang sudah diterbitkan adalah;
- Wajah Maut Mountaineering Indonesia
- Dunia Batas Langit
- Mahkota Himalaya
- Merapi Barat Daya
- Maut Di Gunung Terakhir
- MMA Trail
- Sejarah Pendakian Tebing Utara
- 9 Puncak Seven Summit
- Dewi Gunung
- Gunung Kuburan Para Pemberani
- Hari Terakhir Di Atas Gunung
- Mimpi Di Mahameru
Semua
buku-buku tersebut dapat kamu peroleh dengan mudah di beberapa marketplace atau
langsung melalui tautan aplikasi whatsapp disini.
Tulisan
saya yang lainnya juga bisa kamu temukan di:
Terimakasih
telah mengunjungi Arcopodo Journal.com