KISAH SURVIVAL PALING MENGAGUMKAN DI HIMALAYA
Pendaki gunung yang berpengalaman tidak terintimidasi oleh gunung, tetapi ia terinspirasi olehnya - William Arthur Ward
Artikel ini dikutip dari buku MAUT DI GUNUNG TERAKHIR karya Anton
Sujarwo. Info tentang bukunya dapat dilihat disini.
***
“Kita harus turun
Jean, terlalu berbahaya!”
Teriakan
Pierre Beghin yang keras dan lantang itu hanya mampir sebentar di telinga Jean
Christophe Lafaille yang sedang berjibaku memegang kapak es dengan kedua
tangannya. Angin bercampur salju yang bertiup sekitar lima menit yang lalu kini
telah menjelma badai, mengamuk dengan dahsyatnya.
“Turun, turun, kita
harus turun!”
teriak Beghin kembali.
Lafaille
yang merespon teriakan Beghin hanya dengan gerakan tangan dan anggukan
nampaknya tidak memuaskan hati Beghin, jadi kemudian Lafaille balas berteriak
menyahuti teriakan Beghin
“Ya, ya kita turun
sekarang!”
Dua
pendaki Perancis itu kemudian memulai perjalanan turun mereka di Dinding
Selatan Annapurna, dinding gunung delapan ribu meter dengan predikat paling
berbahaya di dunia.
South
Face Annapurna adalah daya tarik lain dari pendakian gunung 8.000 meter yang
masih tersisa di Himalaya. Sisi selatan dari gunung ini pertama kali dijajal
oleh tim Inggris pimpinan Chris Bonington pada tahun 1970. Ekspedisi Inggris
saat itu yang beranggotakan Chris Bonington, Ian Clough, Don Whillans dan
Dougal Haston berhasil mencapai puncak menggunakan dukungan tabung oksigen.
Namun sebuah musibah terjadi saat perjalanan turun mereka, Ian Clough ditimpa
sebuah serac yang lepas, dan kemudian tewas.
Setelah
pendakian Chris Bonington dan ekspedisi Inggris tahun 1970 tersebut, belum ada
pendaki atau ekspedisi lain yang tertarik mengunjungi Wajah Selatan Annapurna
yang mematikan itu. Hingga tahun 1992, Pierre Beghin yang merupakan bintang
alpinis yang sedang bersinar dari Perancis mengajak rekan senegaranya untuk mengunjungi
Tebing Selatan Annapurna, dan mencoba keberuntungan mereka juga di sana.
Jean Lafaille dan Pierre Beghin pada
tahun-tahun itu adalah dua pendaki Perancis dengan torehan prestasi
yang sangat gemilang. Di Pegunungan Alpen Eropa keduanya telah membuktikan
kapabilitas dan keterampilan mendaki mereka yang luar biasa mengagumkan. Dan
Himalaya yang merupakan kiblat utama aktivitas mountaineering dunia, merupakan
arena di mana seorang mountaineer dan pendaki gunung sejati dapat menguji dan
memperoleh pengakuan yang sebenarnya.
Jean
Lafaille dan Pierre Beghin adalah layaknya para pendekar ketinggian yang lain,
adalah orang-orang yang menganut ideologi mendaki gunung dengan cara pandang
yang tradisional. Bagi mereka sebuah gunung adalah kanvas terbaik untuk mengukir
lukisan prestasi. Dan lukisan terbaik tidak diciptakan dengan cara dan gaya
yang biasa. Berbekal kemampuan mendaki yang telah terlatih, semangat alpinisme
yang masih memuja nilai-nilai dan estetika, Beghin mengajak Lafaille untuk
memanjat tebing selatan Annapurna yang mengagumkan, salah satu medan bagi
alpinis sejati untuk membuktikan kualitas dan kemampuan terbaik mereka.
Annapurna
South Face sendiri adalah sebuah tebing nyaris vertikal yang menjulang hingga
puncak utama dengan ketinggian 8.091 meter. Dari sudut yang tepat, Annapurna
South Face terlihat seperti mata pisau yang menengadah seolah merobek langit.
Tebing Selatan Annapurna sangat luas, dan sangat memenuhi syarat untuk
menghilangkan dahaga petualangan seorang pendaki gunung dengan semangat alpinisme
yang murni. Ada banyak rute yang dapat diambil di bagian selatan wajah gunung
Annapurna ini. Dan semuanya tidak ada yang akan dengan mudah dapat dilalui.
Bagi
para pendaki dengan semangat alpinisme dan pioneering yang tinggi seperti
Pierre Beghin, Jean Christophe Lafaille, Chris Bonington, Ian Clough, Dougal
Haston dan lainnya, Annapurna South Face adalah sebuah canvas sempurna untuk
membuat lukisan mereka sendiri. Jadi saat first ascent South Face Annapurna
tercapai pada tahun 1970 oleh ekspedisi Bonington, itu sama sekali tidak mengurangi
nilai tantangan yang sisi selatan gunung itu sediakan. Masih ada banyak tempat,
dan juga banyak bahaya tentunya bagi para alpinis yang ingin mencoba
merayapinya.
Tahun
1970 pendakian Wajah Selatan Annapurna sukses dilakukan dengan
menempuh pendakian bergaya ekspedisi, sesuatu yang umum dilakukan di
gunung-gunung besar Himalaya. Tahun 1992, Beghin dan Lafaille ingin memperbaiki
pencapaian itu dengan melakukan pendakian yang lebih cepat dan ringan. Jean
Lafaille dan Pierre Beghin datang ke kaki gunung Wajah Selatan Annapurna dengan
semangat alpine style murni. Mereka akan mendaki tebing mematikan itu dengan
peralatan yang seminimal mungkin, tanpa sherpa, tanpa porter, dan tanpa tali
tetap atau fix rope8.1.
Dengan
mengadopsi gaya alpine style, berarti tidak banyak peralatan pendakian yang
dapat dibawa oleh kedua pendaki Perancis itu. Keduanya hanya memprioritaskan
barang-barang yang sangat penting saja untuk dibawa, bahkan perlengkapan
memanjat tebing pun keduanya membawa dalam jumlah yang terbatas. Karena keterbatasan
jumlah peralatan yang dibawa maka
Beghin dan Lafaille harus mengatur penggunaan peralatan mereka dengan seksama.
Bahkan di tengah badai yang mengamuk seperti sekarang ini, keduanya pun harus
menghemat penggunaan perlengkapan pendakian mereka.
Beghin
menyisipkan sebuah anchor berbentuk camalot8.2 dan memulai rappeling
dari ketinggian 7.400 meter. Setelah Beghin berada pada ujung tali, kemudian
gantian Lafaille yang turun dan melakukan rappeling. Karena perlengkapan yang
terbatas, anchor yang dipasang oleh Beghin rata-rata adalah anchor tunggal.
Atau tidak terdapat jangkar tambahan yang dapat mengantisipasi jatuh ketika
anchor pertama gagal bekerja.
Angin
masih bertiup dengan kencang membawa butiran-butiran salju yang berhamburan
menutupi pandangan. Lafaille dan Beghin sebenarnya hanya butuh kurang lebih 700
meter lagi untuk mencapai puncak tertinggi Annapurna I. Sayangnya badai dan
cuaca yang memburuk dengan sangat drastis ini membuat keduanya terpaksa mundur
sementara untuk mencari tempat berlindung di ketinggian yang lebih rendah.
Jangkar
tunggal pertama yang disisipkan Beghin bekerja dengan sempurna, Lafaille dan
dirinya dapat melakukan rappeling dan turun hingga ujung tali dengan aman.
Jangkar kedua juga memberikan hasil yang sesuai dengan perhitungan Beghin,
jangkar ketiga pun demikian. Dan jangkar tunggal keempat pun tak kalah baik
dalam menahan tali yang dibebani bobot tubuh Beghin dan Lafaille yang
menuruninya secara bergantian.
Seperti
sebelumnya, anchor yang digunakan Beghin pada pitch descending kelima ini juga
berupa sebuah camp. Jangkar tunggal itu ia sisipkan di sebuah celah tebing yang
menurut perhitungan Beghin sebelumnya, akan aman untuk dijadikan sebagai
penahan mereka untuk melakukan rappeling.
“Ok, aku akan turun
lebih dulu”
Lafaille
hanya mengangguk sambil tetap berpegangan dengan kapak esnya, giginya
bergemeletukan menahan hawa dingin dan badai salju yang berhembus dengan
kencang di dinding telanjang tebing selatan Annapurna itu.
Beghin
memulai rappeling dengan sedikit menendang dinding gunung untuk memperoleh
sedikit gaya pegas dalam mempercepat proses rappelingnya. Semua berjalan lancar
saat Beghin berhasil mencapai jarak lima meter, enam meter, tujuh meter,
delapan dan sembilan meter. Akan tetapi ketika Beghin yang sedang tergantung
pada tali pada ketinggian 7.240 meter di tebing Annapurna South Face yang
nyaris vertikal itu mencapai jarak kurang lebih sepuluh meter dari posisi
jangkar tunggal yang dipasangnya, sesuatu yang tak terduga kemudian terjadi!
Crakk!!!
Anchor
tunggal itu tiba-tiba terlepas! Dan melesat terjun mengikuti bobot tubuh beghin
yang membebaninya!
Tak
ada teriakan atau suara yang keluar dari mulut Beghin yang sepersekian detik
kemudian sudah menjauh ratusan meter dari posisi Lafaille. Lafaille sendiri
yang terkesiap dengan kejadian yang barusan terjadi di depannya, memaku,
menempel lebih erat ke dinding selatan Annapurna yang masih diamuk badai. Tak
ada yang dapat ia lakukan. Jangankan menahan atau menangkap anchor itu supaya
tidak melayang jatuh, pegangannya sendiri di kedua kapak es nyaris terlepas
saking kagetnya.
“Oh my God! oh my God!”
Ucap
Lafaille berulang-ulang, ia memejamkan mata, menempelkan wajahnya di dinding es
Annapurna South Face yang membeku. Beberapa saat kemudian baru ia berani
melirik ke jurang di mana Pierre Beghin barusan terjun bebas. Tak ada apa-apa
lagi di sana, hanya ruang kosong hampa dengan selimut badai yang masih melolong
dengan ganas.
Pierre
Beghin sudah pasti tewas, tak diragukan lagi untuk hal itu. Jadi tidak ada
perlunya bagi Lafaille untuk mengkhawatirkan temannya tersebut. Sekarang yang
menjadi pokok kekhawatiran adalah dirinya sendiri, bagaimana ia menuruni tebing
nyaris vertikal ini sendirian dan tanpa tali serta peralatan.
Tunggu,
tanpa tali dan peralatan?
Ya,
tanpa tali dan peralatan, karena semua perlengkapan teknis pendakian terutama
tali, camp, carabiner, anchor dan lain sebagainya ada di ransel Beghin, dan ia
sekarang telah hilang di dasar jurang sisi selatan Annapurna yang haus nyawa.
Cukup
lama Lafaille terpaku di tebing itu, bingung dan shock dengan apa yang terjadi,
sekaligus juga bimbang memikirkan langkah apa yang harus ia tempuh untuk
meneruskan perjalanan turun.
“Konsentrasi,
konsentrasi, konsentrasi!”
Rapal
Lafaille berulang-ulang, seolah sedang mengingatkan orang lain yang sedang
kebingungan dalam dirinya sendiri.
Sekitar
sepuluh menit setelah kejadian naas yang membuat jangkar tunggal Pierre Beghin
tercabut berlalu, barulah perlahan-lahan Lafaille yang meringkuk di dinding
selatan Annapurna itu berani menggerakkan kakinya kembali untuk memulai perjalanan
turun secara tradisional, yaitu dengan mengandalkan dua kapak es dan sepasang cakar
crampon di sepatunya.
Medan
kombinasi salju, batu dan es yang menjadi elemen-elemen dasar pembentuk
Annapurna South Face membutuhkan sebuah konsentrasi tingkat tinggi dalam
menuruninya. Apalagi tanpa bantuan perlengkapan seperti tali dan sebagainya,
turun di tempat seperti itu tentu sangat berbahaya. Kemiringan medan yang
ditempuh oleh Lafaille berkisar pada angka 80°. Sebenarnya bukan sesuatu yang
terlalu sulit bagi Lafaille untuk melewatinya dalam kondisi normal dan
perlengkapan lengkap. Namun di tengah badai yang mengamuk dan sama sekali tanpa
tali, perjalanan itu sungguh membuat lututnya gemetar.
Lafaille
terus turun dengan sabar, membaca setapak demi setapak langkah kakinya,
memastikan ujung lancip kapak esnya masuk ke permukaan es dengan baik dan mampu
menahan bobot tubuhnya. Juga memastikan kuku crampon yang ada di ujung
sepatunya tertancap dengan baik dan tidak lari tergelincir.
Dengan
semua ritme yang sabar dan tak mengurangi konsentrasi seperti itu, pada pukul
sembilan malam akhirnya Lafaille berhasil mencapai bivak di mana ia dan Beghin
menghabiskan kegelapan pada malam sebelumnya.
Keesokan
harinya badai masih belum juga berhenti, dan Lafaille terpaksa harus
menghabiskan satu malam lagi di bivak. Akan tetapi ketika ia menemukan seutas tali
dengan panjang 20 meter dan diameter 6 milimeter tak jauh dari bivak, Lafaille
memutuskan untuk meneruskan kembali perjalanan turunnya8.3.
Dengan
berbekal tali cord sepanjang 20 meter, dua buah carabiner, dan keberanian yang
dipompa dengan segenap konsentrasi, Lafaille memulai perjalanan turunnya
kembali. Untuk menggantikan pasak tebing sebagai jangkar, Jean Lafaille
menggunakan pasak tenda, tiang tenda, bahkan menurut sebuah sumber yang lain,
kadang-kadang menggunakan botol plastik yang ia modifikasi. Dalam proses
rappeling yang menegangkan ini, Lafaille bahkan sempat menjatuhkan crampon pada
salah satu sepatunya. Namun entah bagaimana, benda itu ditemukannya lagi dua
jam kemudian, tergeletak di atas salju dalam rute turun yang ia lalui.
Setelah
berkali-kali melewati medan-medan yang sulit dengan perlengkapan ala kadarnya,
Lafaille akhirnya sampai pada tempat di mana ia dan Béghin telah memasang tali
tetap atau fixed rope8.4. Akan tetapi sebuah musibah tambahan
membuat kegembiraan Lafaille yang baru saja merasa senang karena sampai pada
fix line tiba-tiba memudar. Dalam sebuah situasi yang tak terduga, sebongkah
batu yang tidak begitu besar meluncur dengan deras, menabrak Lafaille dan
mematahkan salah satu lengannya.
Didera
oleh keletihan yang amat sangat juga rasa sakit karena lengan yang patah,
membuat Lafaille memutuskan untuk beristirahat di sebuah lereng yang cukup
aman. Lafaille menghabiskan waktu dua hari lamanya di lereng tersebut, berharap
ada pendaki lain yang naik ke atas dan menyelamatkannya. Pada titik ini,
kondisi Jean Lafaille benar-benar memprihatinkan, untuk menghidupkan kompor
saja guna mencairkan salju, ia membutuhkan waktu satu jam dengan satu lengannya
yang masih utuh.
Dua
hari Lafaille menghabiskan waktu untuk beristirahat, sambil membangun harapan
bahwa akan ada yang datang menolongnya. Namun sampai matahari hari kedua
kembali tenggelam, tak ada seorang pun yang naik untuk membantu Lafaille.
Sementara
di bawah sana, sebenarnya ada sebuah tim pendaki lain dari Slovenia yang juga
sedang mencoba melakukan pendakian Annapurna South Face. Namun karena garis
rutenya berlainan dengan rute yang diambil Lafaille dan Beghin, mereka tidak
dapat mengaksesnya. Selain itu, rute yang diambil oleh dua pendaki Perancis
tersebut juga secara teknis jauh lebih sulit dan berbahaya, sehingga walaupun
para pendaki Slovenia itu tahu bahwa Lafaille terjebak di atasnya, belum tentu
mereka mampu untuk mencoba melakukan upaya penyelamatan terhadap Lafaille.
Tindakan penyelamatan di tempat seperti Annapurna South Face, tanpa dilandasi
oleh keterampilan dan skill yang mumpuni, pada perkembangannya dapat saja berubah
menjadi sebuah aksi bunuh diri. Alih-alih berhasil melakukan penyelamatan.
Lafaille
masih terduduk di atas lereng, badai yang sudah reda membuat pandangannya cukup
jelas ke bawah sana, di mana ia melihat melihat kerlap-kerlip lampu kamera para
trekker yang sedang berfoto di rute Annapurna
Circuit.
“Aku begitu dekat
dengan kehidupan, namun aku juga sangat jauh daripadanya. Adakah orang-orang di
bawah sana yang tahu jika aku sedang sekarat di sini?” gunam Lafaille dalam hati.
Tidak
ada perasaan yang lebih menyiksa bagi Jean Christophe Lafaille selain
mengetahui bahwa dirinya begitu dekat pada kehidupan dengan melihat lampu para
trekker di Annapurna Circuit yang berkerlap kerlip. Namun di saat yang
sama, juga menyadari bahwa tak ada satu pun orang yang dapat menjangkaunya.
Perasaan ini sangat menyiksa bagi Lafaille.
Dan
pada dasarnya keputusannya untuk beristirahat dua hari di lereng terbangun atas
perasaan itu pula, bahwa mungkin saja akan ada sebuah tindakan heroik untuk
menyelamatkannya. Akan tetapi setelah lama menunggu, harapan Lafaille untuk
ditolong tampaknya sirna. Jadi ia harus kembali menguatkan hatinya untuk
meneruskan perjalanan turunnya secara mandiri. Tak ada gunanya berharap bantuan
di tempat seperti itu, tidak akan ada hasilnya.
Lafaille
membulatkan tekadnya untuk meneruskan perjalanan turun kembali. Dengan satu
tangan yang patah proses itu akan semakin tidak mudah untuk dilakukan. Saat
rappeling di fix rope melewati bagian yang paling curam, Lafaille menemukan
dirinya sangat kesulitan mengendalikan laju jatuhnya jika hanya dengan satu
tangan. Karena itu pada proses rappeling yang menyiksa itu, terkadang Lafaille
harus menggunakan giginya untuk membantu memberi pengereman pada tali yang ia gunakan.
Dan itu sungguh tidak mudah untuk dilakukan.
Melihat
bahwa rappeling dengan kondisi demikian akan sangat berisiko, Lafaille kemudian
berhenti sejenak untuk kemudian kembali mengubah teknik turunnya menjadi down
climbing, melangkah dengan sangat hati-hati, mencari pijakan untuk bisa
turun dengan selamat dan tidak terluka lebih lebih parah.
“Rasanya lebih mudah
bagiku untuk terjun dan bergabung bersama Pierre Beghin di bawah sana”
Sisi
mengerikan hati Jean kadang-kadang menggodanya untuk melakukan tindakan bodoh
dan cepat, namun semua perasaan itu dapat ia tekan untuk tidak berlanjut
menjadi sebuah gerak refleks.
Isu
sendiri berkembang dengan mudah. Tidak adanya komunikasi yang terjadi antara
Jean Christophe Lafaille dan pihak base camp mau pun pendaki yang lain telah
memunculkan sebuah kesimpulan lain. Para pendaki Slovenia dan pihak base camp
Annapurna umumnya telah berasumsi bahwa Jean Lafaille dan Pierre Beghin tidak
mampu menyelamatkan diri dari badai yang mengamuk di dinding selatan Annapurna
beberapa hari sebelumnya.
Setelah
ditunggu beberapa hari dan tidak juga ada kabar baik mengenai dua pendaki
Perancis itu, sebuah berita duka cita telah dikirimkan pula kepada keluarga
mereka di Perancis. Akan tetapi ketika beberapa saat kemudian sosok semampai Jean
Christophe Lafaille tiba di base camp para pendaki Slovenia dengan tangan patah
dan wajah seperti habis keluar dari neraka, situasi pun menjadi gempar.
Tak
ada yang menyangka Jean masih hidup dengan semua tantangan dan kesulitan yang
ia hadapi di South Face Annapurna. Namun itulah kemudian yang terjadi.
Berita
duka kematian Beghin yang telah beredar, diperkuat dengan data dan cerita yang
disampaikan Lafaille setelahnya. Sementara berita duka kematian Lafaille
sendiri, kemudian berubah menjadi salah satu kisah survival dan penyelamatan mandiri
paling mengagumkan di Himalaya.
*
Footnote;
8.1 Fix rope hanya
dipasang oleh keduanya disebuah tebing paling curam dari rute yang mereka
lewati.
8.2 Jangkar tebing
berbentuk pipih seperti piring setengah yang disisipkan pada celah yang ada
dipermukaan tebing.
8.3 Tali itu memang
ditinggalkan oleh Pierre Beghin dan Lafaille sebelum terus mendaki meninggalkan
bivak, namun kondisi Lafaille yang shock membuatnya lupa jika ia memiliki
seutas tali kecil tersebut.
8.4 Pada teknik alpine
style, pemasangan tali tetap pada beberapa bagian yang dianggap paling
berbahaya dari sebuah medan pendakian, biasanya dimaklumi. Fixed rope yang
mengurangi makna alpine style hanya diartikan bila dipasang sepanjang jalur
pendakian, atau pada sebagian besar lintasan pendakian.
Ilmu yang sangat penting untuk dipelajari para pendaki
BalasHapus