Elizabeth Hawley, Nenek Tua Penguasa Dunia Mountaineering Himalaya
Dalam ukuran keabadian, pena dan tulisan tentu saja lebih kuat daripada pedang, lebih kokoh daripada batu, dan lebih berpengaruh daripada kekuasaan.
|
Sebagai bagian terakhir
dari daftar utama Dewi Gunung saya akan menempatkan satu nama dengan sosok yang
menarik dan unik. Ia mungkin saja tidak pernah mencapai puncak gunung mana pun,
tidak pernah memasang crampon di bawah tapak sepatunya, tidak pernah
melingkarkan harness pada pinggangnya, dan juga tidak pernah mengayunkan kapak
es untuk mendaki gunung-gunung populer di dunia. Lantas jika demikian, apa
istimewanya ‘perempuan tua’ dengan barisan buku-buku tebal di belakangnya itu?
Dalam dunia pendakian gunung atau mountaineering di
Himalaya, pena Elizabeth Hawley jauh lebih ‘tangguh’ dari pada kapak es mana
pun. Pulpen dan kertas yang menemani
hari-harinya adalah canvas sang legenda ini dalam mengukir mahakarya. Ia memang
tidak pernah menggenggam kapak es, bergelantungan di tali, atau berdiri tegak
merentangkan tangan di atas puncak-puncak tertinggi Himalaya. Akan tetapi apa
yang dilakukan oleh Elizabeth dengan penanya, akan berpengaruh kepada setiap
pendaki gunung yang datang untuk mendaki menara-menara Himalaya. Elizabeth
dihormati secara luas oleh komunitas mountaineering internasional dan secara
individu, Elizabeth juga dihormati dan menjadi sahabat para pendaki gunung
terbaik di dunia.
Elizabeth Ann Hawley lahir di Chicago, Amerika
Serikat, pada 09 Nopember 1923. Dalam dunia mountaineering Himalaya dan
kalangan para pendaki profesional, Elizabeth dikenal dengan berbagai julukan
yang mengisyaratkan reputasi literaturnya yang luar biasa. Sir Edmund Hillary
menyebutnya sebagai ‘a bit of a terror’, sementara Reinhold Messner mengomenntarinya
sebagai ‘first
class journalist’, Kurt Diemberger menyebutnya sebagai ‘living archive’,
sementara Peter Bodde, salah satu duta besar Amerika Serikat untuk Nepal
menyebut Elizabeth Hawley sebagai ‘living treasure’. Namun julukan yang
paling umum untuk menggambarkan kinerja dan dedikasi Elizabeth dalam dunia
pendakian adalah; ‘The Sherlock Holmes of the Mountaineering World’.
Berbagai julukan ini tentu saja tidak disematkan
tanpa alasan oleh orang-orang yang dikenal luas reputasi mountaineering mereka.
Ada sebuah tindakan yang konsisten dari seorang Elizabeth Hawley hingga
kemudian dunia mountaineering internasional mengakui dirinya sebagai pencatat
sejarah mountaineering paling akurat di Himalaya, bahkan mungkin dunia.
Sebelum terjun secara konsisten sebagai detektif
dunia mountaineering di Himalaya, Elizabeth pernah bekerja sebagai pencari
fakta dan riset pada majalah Fortune di New York. Pekerjaan ini
dilakukan oleh Elizabeth saat ia pindah secara permanen ke Nepal pada tahun
1959. Sebelumnya Elizabeth memang sudah
pernah mengunjungi Nepal pada tahun 1957 sebagai bagian dari perjalanan yang ia
lakukan.
Di Nepal, entah mengapa Elizabeth merasa betah dan
seolah menemukan alasan bahwa ia harus menetap di sana. Dalam kalimat Elizabeth
Hawley, Nepal ia gambarkan sebagai; “Sebuah tempat di mana anda dapat
melihat akan jadi apa dunia ini nantinya”, dan atas dasar alasan itu
kemudian pada tahun 1959, Elizabeth memutuskan untuk meninggalkan Amerika
Serikat dan tinggal di Nepal secara permanen.
Setelah bekerja sekitar satu tahun untuk majalah Fortune,
Elizabeth kemudian pindah menjadi jurnalis untuk majalah Time pada tahun
1960. Dan Time pun tak dapat membendungnya untuk waktu yang lama karena
pada tahun 1962, Elizabeth kembali memilih untuk bekerja pada Reuters. Saat
bekerja di Reuters, pada tahun 1963 Elizabeth memulai reportase
pertamanya untuk mountaineering dengan meliput salah satunya adalah Ekspedisi
America ke Everest di mana Jim Whittaker berhasil mencapai puncak, dan menjadi
orang Amerika pertama yang melakukannya.
Pada dasarnya Elizabeth Hawley dikenal secara luas
sebagai reporter dengan reputasi yang kuat dalam kalangan perpolitikan Nepal.
Ia mengenal dengan baik orang-orang kuat yang memiliki pengaruh politik di
Nepal. Namun bagaimana pun juga, Elizabeth merasa bahwa pengaruh terkuat di
Nepal adalah pendakian gunung di mana raksasa seperti Everest berada, dan untuk
itulah, mountaineering kemudian lebih menarik bagi Elizabeth.
Dalam melakukan reportasenya, Elizabeth Hawley
dikenal sangat teliti, akurat, dan jarang melakukan kekeliruan. Ia seringkali
menemui para pemimpin ekspedisi untuk mewawancarai mereka sebelum para pendaki
gunung itu berangkat ke belantara beku Himalaya, Elizabeth bertanya tentang
rencana perjalanan, target, dan berbagai hal untuk melengkapi data yang ia
miliki. Dan ketika ekspedisi itu pulang lagi ke Kathmandu, Elizabeth akan
menemui mereka kembali untuk bertanya apa yang telah dicapai, apa yang tidak,
apa yang telah terjadi selama di gunung, dan sebagainya.
Semakin lama bekerja bersama para pendaki gunung
dengan berbagai tipe dan gaya, Elizabeth pun semakin piawai melakukan
pekerjaannya. Ia dikenal luas memiliki pertanyaan yang kadang membuat para
pendaki gunung ‘ketakutan’ jika bicara tidak benar. Akurasi data-data dan
pengalaman yang dimiliki oleh Elizabeth seolah mampu membaca jika seseorang
menutupi kebenaran. Naluri detektifnya membuat para pendaki gunung gusar dan
takut untuk tidak bicara yang sebenarnya.
Dengan catatan pendakian yang demikian lengkap,
detail, akurat, serta dikumpulkan dalam waktu yang sangat lama (sejak tahun
1963), hasil kerja Elizabeth Hawley ini kemudian dirangkum dalam sebuah catatan
besar yang disebut dengan The Himalayan Database. Catatan ini merangkum
semua pendakian, ekspedisi, dan apa pun yang berkaitan dengan aktivitas
mountaineering di Himalaya.
Perlu juga mendapat penegasan di sini bahwa objek
catatan dari Himalayan Database yang dibuat oleh Elizabeth Hawley selama
bertahun-tahun adalah untuk pendakian di Himalaya dengan pintu masuk melalui
Kathmandu, Nepal. Jadi objek tulisan Elzabeth adalah aktivitas pendakian di
gunung-gunung seperti Everest, Lhotse, Makalu, Annapurna, dan lain sebagainya.
Sementara untuk gunung tinggi yang masuk wilayah Karakoram seperti K2, Nanga
Parbat, Broad Peak, Hidden Peak dan lainnya, meskipun masuk pula dalam
pencatatan Elizabeth Hawley, namun tentu tidak sedetail seperti Everest dan
gunung Himalaya lainnya.
Dalam melakukan pekerjaannya ini, tidak jarang
Elizabeth Hawley berhadapan dengan para pendaki gunung dengan tabiat keras dan
garang. Namun bukannya takut atau pun ciut, Elizabeth Hawley justru lebih
banyak kemudian yang menjadi teman dekat mereka. Dengan catatannya yang
demikian lengkap dan akurat, data milik Elizabeth kemudian menjadi persayaratan
penting bagi para pendaki gunung untuk memverifikasi pencapaian mereka, atau
supaya klaim mereka atas sebuah pencapaian mountaineering di Himalaya, mendapat
pengakuan pula dari data milik Elizabeth dalam Himalayan Database-nya.
Data yang dibuat, dipegang, dan dipergunakan oleh
Elizabeth Hawley dihormati secara luas dalam lingkup internasional. Untuk siapa
pun pendaki yang membutuhkan pengakuan atas prestasi mereka di Himalaya harus
menemui Elizabeth Hawley dan menuturkan pendakian mereka secara lengkap. Namun
tentu tidak semua orang bersedia dengan rendah hati menemuinya, beberapa pendaki
yang lain justru menganggap Elizabeth hanyalah seorang nenek tua pikun yang
sudah tidak perlu diperdulikan lagi.
Karena catatan Himalayan Database milik Elizabeth Hawley adalah catatan tidak resmi yang kadang lebih komprehensif dari data kementrian Nepal sekali pun, maka kadang muncul sengketa terkait dengan beberapa klaim pencapaian dalam mountaineering. Ketika pemerintah Nepal mungkin meratifikasi sebuah pencapaian di atas gunung, Elizabeth justru meragukannya, atau pada kesempatan yang lebih banyak, membubuhkan tanda khusus sebagai pendakian sengketa dalam catatannya. Dan beberapa pencapaian sengketa yang cukup populer dalam catatan Elizabeth Hawley antara lain adalah;
Pencapaian Oh Eun Sun di Kanchenjunga
Baik Oh Eun Sun mau pun Edurne Pasaban (kita telah membahas ini pada beberapa halaman sebelumnya), sama-sama menemui Elizabeth Hawley untuk menjelaskan pendakian mereka. Klaim Eun Sun yang mendaulat dirinya sebagai perempuan pertama yang mencapai 14 puncak delapan ribu meter mendapat interupsi di Kanchenjunga. Dan Analisa foto puncak milik Eun Sun kemudian memperkokoh dugaan ketidakvalidan klaim yang dilakukannya, Elizabeth mempertanyakan ini. Kasus ini ditutup dengan pernyataan dari Federasi Mountaineering Korea Selatan yang kemudian menyatakan bahwa Eun Sun memang tidak mencapai puncak di Kangchenjunga.
Pendakian Ed Viesturs di Shishapangma
Ed Viesturs adalah pendaki gunung Amerika Serikat pertama dan satu-satunya yang berhasil mencapai 14 puncak delapan ribu meter Himalaya. Namun dalam catatan Himalayan Database Elizabeth Hawley, pendakian Viesturs di Shishapangma tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan puncak yang dicapai oleh Viesturs di Shishapangma bukanlah puncak utama dari gunung itu, melainkan Central Summit yang ketinggiannya juga di atas 8.000 meter. Dalam catatan Hawley, ia tidak akan menerima dan mentoleransi pencapaian itu. Jika Viesturs ingin diverifikasi dalam datanya sebagai pemuncak 14 gunung delapan ribu meter yang diakui, Elizabeth menyarankannya untuk mendaki kembali Shishapangma dan meraih puncak utama.
Pendakian Alan Hinkes di Cho Oyu
Seperti halnya kasus Ed Viesturs di Shishapangma, masalah serupa juga terjadi pada pendakian Alan Hinkes di Cho Oyu pada tahun 1990. Alan Hinkes adalah pendaki gunung Inggris dan satu-satunya orang Inggris yang mengklaim berhasil mencapai 14 puncak delapan ribu meter. Namun di Cho Oyu, pendakian Hinkes diperdebatkan oleh Elizabeth. Berdasarkan data dan jurnalnya, pendakian Hinkes di Cho Oyu hanya mencapai sebuah dataran tinggi yang bukan merupakan puncak tertinggi gunung itu. Seperti Viesturs, Hinkes harus mendaki ulang jika pencapaiannya di Cho Oyu ingin diakui.
Pendakian Sergio Martini dan Fausto De Stefani di Lhotse
Tahun 1997, pendakian yang dilakukan oleh duo mountaineer Italia bernama Sergio Martini dan Fausto De Stefani di Lhotse diberi tanda sengketa oleh Elizabeth Hawley. Permasalahannya juga hampir sama dengan Hinkes mau pun Viesturs. Merespon hal ini, Martini kemudian mendaki ulang Lhostse untuk mengkonfirmasi keberhasillannya, ia kemudian menjadi orang ke-7 di dunia yang berhasil mencapai 14 puncak delapan ribu meter dan menjadi orang Italia ke-2 setelah Reinhold Messner. Sementara Fausto De Stefani menolak untuk melakukan pendakian ulang di Lhotse, dan karena itu hingga sekarang status pendakiannya di Lhotse masih diberi marka sengketa oleh Himalayan Database.
Konfirmasi Penyebab Hilangnya Benoít Chamoux di Kangchenjunga
Ada dua orang yang
memeperebutkan podium kedua tahta 14 puncak delapan ribu meter setelah Jerzy
Kukuczka, kedua orang itu adalah Enhard Loretan dari Swiss, dan Benoít Chamoux
dari Perancis. Pada tahun 1995 kedua pendaki ini bertemu di Kangchenjunga untuk
mencapai puncaknya. Menariknya, baik bagi Chamoux mau pun bagi Loretan,
Kangchenjunga adalah gunung 8.000 meter terakhir dalam list mereka. Dan karena
itu pula ada kemungkinan muncul aroma rivalitas yang cukup sengit pada musim
itu. Sementara Enhard Loretan dan Jean Troilet berhasil mencapai puncak, Benoít
Chamoux dan Pierre Royer justru menghilang dalam pendakian ini. Dan investigasi
serta laporan yang dikemukakan oleh Hawley dalam kasus ini adalah adanya
kemungkinan pemaksaan waktu summit push oleh Benoít Chamoux guna menyamai
Loretan, sementara dirinya sendiri masih belum cukup beraklimatisasi.820.1
Khusus untuk Chamoux,
selain investigasi kematiannya di Kangchenjunga, Elizabeth Hawley juga meletakkan
marka sengketa untuk dua pendakiannya yang lain, yakni di Cho Oyu dan di
Makalu.
Dengan berbagai bukti betapa kuatnya pengaruh
Elizabeth Hawley dan catatan yang ia buat dalam dunia pendakian gunung di
Himalaya, maka tak begitu mengherankan mengapa namanya penulis cantumkan dalam
buku ini. Elizabeth meskipun tidak pernah mendaki gunung, tidak pernah memegang
kapak es, dan tidak pernah memasang crampon di tapak sepatunya yang mungil. Namun
tutur katanya yang tegas dan tajam, interogasinya yang akurat, penyelidikannya
untuk mencari kebenaran yang sangat jarang keliru, dan guratan penanya yang
terperinci, membuat banyak komunitas mountaineering dunia sangat menghormatinya.
Dalam pengertian yang unik, rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa
Elizabeth Hawley juga adalah salah satu Dewi Gunung, Dewi Gunung yang
melambangkan kekuatan, pengaruh, dan kemampuan luar biasa seorang perempuan
dalam dunia yang disebut dengan mountaineering.
Pencapaian dan Warisan
- Pencapaian terbesar Elizabeth Hawley tentu saja adalah The Himalayan Database, sebuah mahakarya jurnalistik dunia mountaineering yang tidak ada duanya, abadi sepanjang masa.
Penghargaan dan Penghormatan
- Peak Hawley di Pegunungan Dhaulagiri yang diberi nama oleh
pendaki Perancis, Francois Damilano,
saat ia mencapainya sebagai fisrt ascent pada 9 Mei 2008.
- Menerima Queen’s Service Medal dari pemerintah Selandia Baru pada tahun 2004.
- Dianugrahi King Albert I Memorial Foundation Medal oleh pemerintah Swiss tahun 1998.
- Orang pertama yang dianugarhi Sagarmatha National Award oleh pemerintah Nepal.
Buku dan Biografi
- I’ll Call You in Kathmandu: The Elizabeth Hawley
Story,
ditulis oleh Bernadette McDonald, rilis tahun 2005.
- Keeper of the Mountains, ditulis oleh Bernadette
McDonald, rilis tahun 2012.
- The Himalayan Database: The Expedition Archives of
Elizabeth Hawley, dituliskan oleh Richard Salisbury dan diterbitkan oleh American
Alpine Club, rilis tahun 2004.
- The Himalaya by Numbers: A Statistical Analysis of
Mountaineering in the Nepal Himalaya, ditulis oleh Richard Salisbury, terbit tahun
2012.
- Sebuah film berjudul Keeper of the Mountains, rilis tahun 2013 dengan sutradara Allison Otto.
Footnote:
820.1
Detail hilangnya Benoít Chamoux di Kanchenjunga
beserta drama rivalitasnya dengan Enhard Loretan dapat dibaca dalam buku One
Last Climb yang saya hadirkan dalam 3 jilid.
Artikel ini dikutip dari buku DEWI GUNUNG karya Anton Sujarwo
Untuk referensi penulisan dan informasi lebih lengkap mengenai buku-buku mountaineering karya Anton Sujarwo, dapat dilihat di sini.
Posting Komentar untuk "Elizabeth Hawley, Nenek Tua Penguasa Dunia Mountaineering Himalaya"