LEGENDA DAN KEMATIAN PAUL PREUSS; 'SANG NABI' PARA PENDAKI GUNUNG SEJATI
|
Paul
Preuss dilahirkan di Altaussee, sebuah kota kecil di daerah pegunungan Austria,
pada 19 Agustus 1886. Dari ayahnya Paul Preuss mewarisi darah seorang Yahudi
berkebangsaan Hungaria, sementara dari ibunya Preuss mewarisi darah Perancis
dari kota Alsace. Masa kecil Preuss sama sekali tidak mencirikan bahwa kelak
dikemudian hari ia akan menjadi pendaki gunung handal yang sangat dihormati.
Usia enam tahun Preuss menderita
polio yang membuat tubuhnya sangat lemah dan sempat didiagnosa akan lumpuh.
Penyakit polio yang diderita Preuss membuatnya hanya menghabiskan musim dingin
dan musim semi diatas kursi roda atau diatas tempat tidur. Ketika penyakitnya
berangsur berkurang, Preuss mempercepat pemulihan kondisinya dengan melakukan
senam, dan kadang-kadang juga berjalan-jalan disekitar pegunungan Alpen bersama
ayahnya yang seorang ahli botani amatiran. Namun kebersamaan bersama ayahnya di
alam bebas tidak berlangsung lama bagi Preuss, karena pada saat usianya sepuluh
tahun, ayahnya meninggal dunia, meninggalkan Preuss bersama ibunya dan dua
orang kakak perempuannya.
Paul Preuss tidak menghentikan
kebiasaannya menjelajah hutan pasca kematian ayahnya, ditemani oleh kakak
perempuannya Preuss tetap sering melakukan kegiatan tersebut. Namun Preuss
nampaknya lebih senang dan lebih tertarik untuk melakukan aktivitas tersebut secara
sendirian. Ia menikmati kesendiriannya yang tercebur dalam daya pikat alam
bebas pegunungan.
Usia sebelas tahun Preuss mulai
menemukan minat dalam dirinya untuk aktivitas pendakian gunung, ia mulai rajin
berlatih dengan berbagai cara untuk memperkuat otot-ototnya. Seiring dengan
minatnya terhadap alpinisme yang kian tumbuh subur, Preuss juga melanjutkan
pendidikannya ke Universitas Wina untuk memperdalam ilmu tentang fisiologi
tumbuhan, meneruskan minat dan bakat dari mendiang ayahnya. Tahun 1911 Preuss
menamatkan sekolahnya dengan memperoleh gelar doktoral dari Universitas Munich,
dan kemudian mengabdi sebagai salah satu asisten dosen pada Botanical
Institute di universitas tersebut.
Podium terhormat pertama yang
diraih Preuss terjadi menjelang usianya yang kedua puluh dua tahun. Saat itu
Preuss membuat pendakian solo pertamanya di Pichl
Route, North Face dari gunung Plantpitze. Plantpitze sendiri adalah sebuah
gunung batu yang mencolok dibagian timur laut Pegunungan Alpen Ennstal, tinggi
Plantpitze adalah 2.117 meter. Karena Pichl Route dan sisi utara gunung
Plantpitze adalah bagian paling sulit dari pendakian gunung tersebut, maka tak
butuh waktu lama bagi Preuss untuk menunggu bagaimana pendakian solonya ditempat
itu segera menarik perhatian dunia alpinis Austria.
Selain Plaintpitze yang merupakan langkah awalnya memasuki dunia alpinis profesional, Preuss juga dalam waktu yang singkat membuat berbagai pendakian mengagumkan pada banyak tempat diseantero pegunungan Alpen lainnya. Diantara begitu banyak pendakian yang berhasil dilakukan oleh Preuss, beberapa yang cukup penting adalah sebagai berikut; Kleiner Litzner didaki Preuss secara solo, Großes Seehorn atau Großlitzner (juga secara solo) kemudian diulangnya lagi melalui sisi North Face sebagai first ascent juga secara solo, Totenkirchl juga secara solo, East Face of Guglia di Brenta atau Campanile Basso (solo, first ascent), Pointe del Papillons (first ascent, solo), Aiguille Savoie (first ascent), Aiguille Rogue de Troilet (first ascent), Trisselwand (first ascent), Tre Cima de Lavaredo (first traverse dan first double traverse) dan masih banyak yang lainnya.
Tidak kurang dari 1.200 pendakian yang dilakukan oleh Preuss selama karier alpinismemya yang cukup singkat, 300 diantaranya adalah pendakian solo, dan 150 lainnya adalah pendakian first ascent. Dalam pendakiannya yang demikian mengagumkan ini, Paul Preuss pernah bahkan memanjat empat rute berbeda dalam satu hari, dan semuanya berhasil mencapai puncak dengan sukses.
Dengan semakin banyaknya gunung
yang berhasil didaki oleh Preuss, pada perkembangannya juga sekaligus mampu
meningkatkan pula keterampilan, pengalaman, teknik, kemampuan, dan kecepatannya
secara signifikan dalam merumuskan sebuah disiplin alpinisme yang lebih berani
dan inovatif.
Meskipun Preuss lebih menikmati petualangan dan pendakiannya secara solo, bukan berarti ia merasa anti terhadap kehidupan sosial. Selain gemar mendaki solo, Preuss juga cukup sering melakukan perjalanan pendakian bersama sekelompok kecil teman-temannya, pria dan wanita, termasuk juga dua orang saudara perempuannya.
Setelah namanya mulai bersinar pasca pendakiannya di Plaintpitze, pendakian Preuss di West Face Totenkircl juga mengkatrol namanya semakin tinggi. First ascent Totenkircl membutuhkan waktu tujuh jam, sedangkan Preuss hanya perlu melakukannya dalam waktu dua setengah jam, sudah termasuk membuat beberapa variasi baru dalam rute tersebut. Prestasi mengagumkan serupa diciptakan lagi oleh Preuss saat ia memanjat East Face of Guglia di Brenta. Pendakian first ascent rute sisi timur yang ia lakukan di gunung Guglia sangat memangkas banyak waktu yang digunakan oleh orang lain saat memuncaki gunung tersebut pertama kali. Apalagi Preuss melakukan semua aksinya hampir selalu seorang diri atau solo.
Gaya yang kemudian menjadi ciri khas seorang Paul Preuss secara umum dikatakan dimulai pada pendakian second ascent-nya dirute Angelo Dinona’s gunung Croz dell’A,tissimo, dan juga di punggungan barat laut gunung Grossen Ödstein. Di dua gunung ini, Preuss melakukan pendakiannya dengan teknik free solo, sama sekali tidak menyentuh beberapa piton yang telah dipasang para pendaki yang lebih dulu memanjat tebing terjal dua gunung itu sebelumnya.
Paul Preuss seolah menemukan gaya pendakian ia yang sebenarnya, yang ia rasakan sangat sesuai dengan hasrat, nilai, dan semangat alpinisme yang mulai mekar berkembang dalam dirinya. Perlahan tapi pasti, Preuss yang membuat publik alpinisme terpukau dengan pencapaian-pencapaiannya, mulai menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pionir dalam free climbing dengan pertimbangan mendaki bebas tanpa menggunakan alat apapun, baik itu carabiner, tali maupun piton.
Pada saat Paul Preuss memulai debutnya yang mengagumkan, piton dan carabiner belum begitu lama ditemukan dan dipergunakan dalam aktivitas pendakian gunung. Mulanya kedua benda itu hanya digunakan oleh para pendaki sebagai perlindungan atau untuk proses rappeling saja. Namun seiring semakin luasnya penggunaan benda tersebut, membuat keduanya kadang dipergunakan pula untuk alat bantu naik, seperti sebagai pegangan atau pijakan, atau sebagai alat untuk mengkatrol pendaki melewati medan yang sulit.
Namun bagi Preuss, ia tak melihat hal ini kecuali hanya sebuah kecurangan. Pendakian gunung bagi Preuss adalah sebuah upaya sejati dari kemampuan fisik, mental, dan pengalaman. Bukan alat dan perlengkapan. Menurut pandangan Preuss, seorang pendaki harus membawa dirinya naik ke rute baru dengan tingkatan yang lebih sulit sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuannya sendiri.
Seseorang tidak harus datang ke gunung yang berada diatas kemampuannya, namun ditaklukkan dengan meningkatkan teknologi perlengkapan pendakian yang ia miliki. Preuss secara jelas mengatakan bahwa orientasinya adalah menghargai pencapaian manusia, bukan pencapaian alat ataupun teknologi.
Seorang alpinis yang sejati menurut pemikiran Preuss haruslah mampu mengukur kemampuannya sendiri terhadap gunung yang ia daki, meningkatkan kemampuan fisik dan mentalitasnya untuk menaklukkan gunung tersebut, bukannya malah mengurangi tantangan kesulitan digunung dengan meningkatkan kemampuan dan teknologi peralatan pendakian yang ia miliki. Preuss membuat perumpamaan filosofi bahwa gunung yang dipanjat dengan alat bantu itu seperti mainan mekanis bagi anak-anak yang lama-kelamaan akan mengalami aus dan rusak. Dan jika itu sudah terjadi kata Preuss, tidak ada pilihan lain kecuali membuangnya.
Pada
bulan September 1911, Paul Preuss mempertegas pandangannya tentang semangat dan
nilai-nilai alpinisme melalui sebuah tulisan berjudul ‘Artificial Aids on Alpine Routes’ yang dimuat di koran Deutsche Alpenzeitung berbahasa Jerman
yang terbit di propinsi Bolzano. Tulisan pertama Preuss ini umumnya menyoroti
dengan penuh rasa khawatir terhadap meningkatnya secara tajam penggunaan
alat-alat bantu di tebing-tebing pegunungan Alpen.
Pandangan-pandangan
dalam teori Paul Preuss yang bisa dibilang sangat anti dengan alat bantu ini
kemudian mendapat tanggapan dan sanggahan dari beberapa alpinis terkemuka
lainnya saat itu, termasuk juga pendaki gunung Italia yang dijuluki Iblis dari Dolomites, Giovani Tita Piaz.
Selain Piaz, pendaki gunung Austria Franz Nieberl juga ikut menentang teori
yang dikemukan oleh Preuss ini. Perdebatan yang dimuat di koran Deutsche Alpenzeitung ini terus
berlanjut, dan pada perkembanganya lebih dikenal dengan istilah Mauerhakenstreit atau sengketa paku tebing (piton).
Setelah mendapat beberapa tanggapan yang kontra dari Tita Piaz dan Nieberl, pada tulisan berikutnya, Paul Preuss mempertegas pandangannya tentang semangat alpinisme melalui beberapa point utama yang ia sebut sebagai enam etika gaya sejati dalam pendakian Alpen. Dalam bahasa Jerman teorema yang disampaikan oleh Preuss disebut sebagai Künstliche Hilfsmittel auf Hochturen. Atau jika diartikan secara bebas dalam bahasa Indonesia bermakna; Pendakian berkecepatan maksimal menggunakan alat bantu buatan (artificial aids).
Enam point yang dimaksud Preuss tersebut adalah sebagai berikut;
- Anda tidak boleh sama (seimbang/setara) dengan gunung yang anda daki. Kemampuan anda mendaki harus berada diatas kesulitan gunung yang anda daki. Anda harus superior.
- Tingkat kesulitan yang diambil para pendaki saat naik, harus pula mampu ia atasi saat perjalanan turun. Pada titik ini seorang pendaki harus menyakini dirinya sendiri, bahwa ia mampu (dalam pertimbangan hati nurani yang jujur). Bahwa kesulitan yang ia dapatkan saat proses pendakian atau naik, akan dapat ia atasi dengan mudah pada saat turun.
- Penggunaan alat bantu buatan pada pendakian gunung hanya dibenarkan untuk situasi darurat atau jika ada potensi bahaya yang mengancam.
- Piton atau pasak tebing adalah cadangan yang digunakan pada kondisi emergency, bukan digunakan dalam metode dasar pendakian.
- Tali hanya digunakan untuk memfasilitasi pendakian. Tidak pernah menjadi sebagai sarana satu-satunya yang membuat pendakian di gunung terjal menjadi mungkin.
- Prinsip keamanan berasal dari perkiraan yang masuk akal tentang apa yang mampu dilakukan, bukan penggunaan dari alat bantu buatan.
Dari beberapa point yang
dituliskan tersebut, dapat kita perhatikan bahwa piton atau paku tebing, dalam
pandangan Paul Preuss adalah sesuatu yang tidak memenuhi nilai estetika. Piton
yang digunakan untuk alat perlindungan, piton yang digunakan untuk belay,
ataupun piton yang digunakan untuk anchor rappeling, semuanya tidak dapat mewakili
semangat alpinisme murni dalam teori yang dikemukakan oleh Preuss ini. Lebih
jauh Preuss bahkan merasa keberatan pada proses rappeling yang menggunakan
jangkar piton. Preuss mengatakan jika seorang pendaki dapat melakukan
perjalanan naik, maka seyogyanya ia juga mampu melakukan perjalanan turun tanpa
harus menggunakan piton sebagai jangkar. Jika seorang pendaki tidak dapat turun
tanpa menggunakan piton, maka seharusnya ia tidak memanjatnya sejak awal.
Descent atau perjalanan turun dalam pandangan Preuss adalah bagian dari pendakian itu sendiri, sehingga ia menganjurkan untuk mengurangi penggunaan piton pada proses descent. Dan atas alasan ini pula, Preuss banyak melatih dirinya (dan menganjurkan orang lain juga) untuk berlatih banyak pendakian turun atau descent. Bukan hanya menempa kemampuan untuk memanjat naik semata. Kemampuan dan keterampilan memanjat turun akan menghilangkan ketergantungan terhadap perlindungan piton, dan konsekuensinya ini akan pula mampu meningkatkan kepercayaan diri sang pendaki itu sendiri.
Penggunaan tali dalam pandangan Preuss hanya dibenarkan untuk membelay leader yang memimpin pendakian supaya dapat bergerak leluasa baik naik maupun turun. Tali sama sekali tidak dapat dijadikan alat utama untuk mendaki gunung. Jadi proses ascending6.1 yang sekarang kita kenal, kemungkinan besar dalam teori yang dirumuskan oleh Pruss tidak akan mendapat restu. Perlengkapan rock climbing modern lainnya pun akan bernasib sama, baik camp sisip, nut sisip dan lain sebagainya. Walaupun itu hanya sebagai alat bantu perlindungan, namun dari deskripsi yang disampaikan oleh Preuss dalam manifesto teknik alpinenya, 99% tidak akan dapat diterima.
Dengan demikian, pendakian free climbing dalam era modern sekarang yang tetap menggunakan beberapa perlengkapan sebagai alat bantu, besar kemungkinan akan mendapat kutukan dari Preuss, dan tidak dapat dikatakan sesuai dengan semangat alpinisnya yang benar-benar menekankan gaya murni yang bersih.
Jadi akan ada sebuah kenyataan yang
agak ironis ketika melihat banyak para pendaki gunung terkemuka dunia6.2
saat ini yang menempatkan Paul Preuss sebagai idola dan panutannya, sementara
pada sisi yang lain mereka juga menggunakan alat bantu hanya untuk perlindungan
dengan penempatan yang sangat seksama. Jika saja Preuss masih hidup dan
mengetahui hal ini, kemungkinan besar ia akan merasa ‘ngeri’ dengan para
Meskipun ada sedikit kenyataan
kontradiktif antara para pemuja teknik dan teorema Paul Preuss dengan gaya
pendakian yang mereka lakukan sendiri, dapat dikatakan bahwa mereka6.3
telah berbagi filosofi keberanian yang mengagumkan tentang mendaki sebuah
gunung. Mereka semua bersama dengan Paul Preuss sebagai pionirnya, telah
menyoroti dan mengutamakan kemampuan petualangan manusia secara psikis, fisik
dan mental berada diatas teknologi peralatan yang digunakan.
Dalam laju perdebatan Mauerhakenstreit yang berkembang saat itu, orang-orang seperti Giovani Tita Piaz dan sebagian besar yang lain pada dasarnya setuju dan membenarkan teori yang disampaikan oleh Preuss. Akan tetapi bersamaan dengan persetujuan tersebut, muncul pula sebuah opini yang mengatakan bahwa Preuss telah pergi terlalu jauh membawa alpinisme ke dalam ranah yang terlalu ekstrim dan berbahaya, sebagai upaya pribadinya untuk melawan (mengalahkan) alpinis yang lain. Secara khusus, Paul Preuss dituduh antara lain sebagai berikut;
- Tidak manusiawi, karena para leader6.4 tidak boleh memasang alat pengaman6.5, meskipun pengaman itu akan menyelamatkan nyawa mereka ketika musibah mungkin dapat terjadi.
- Mengancam kelangsungan hidup dan nyawa para pemandu gunung profesional, seperti halnya Tita Piaz dan Franz Nieberl sendiri.
- Menginspirasi para alpinis muda untuk mengorbankan diri mereka sendiri pada ‘iblis yang mengerikan’ dari cita-cita Preuss yang terlampau tinggi.
- Inkonsistensi, karena Preuss dalam pendakiannya juga menggunakan kapak es dan crampon, dua perlengkapan yang masuk dalam kategori alat bantu pendakian.
Menyikapi argumentasi
lawan-lawan debat yang menuduhnya demikian, Preuss dapat dikatakan tidak
terlalu bersikap kaku.
“Saya menggunakan pita adhesive di ujung jari saya saat melakukan pemanjatan. Hal ini mungkin akan menarik para kritikus juga mendakwa saya telah melakukan pelanggaran terhadap teori ini karena menggunakan pita6.6 diujung jari sebagai bantuan artificial yang membantu saya untuk mendaki.”
Candaan Preuss ini membuktikan bahwa teori dan filosofi yang ia sampaikan adalah sesuatu yang tidak dapat dipaksakan dan dipandang sebagai hukum baja, selalu ada pengecualian untuk hal tersebut.
“Pandanganmu telah melangkah terlau jauh Paul, tidak semua orang
memiliki kemampuan dan kekuatan tekad sepertimu. Akan ada banyak kematian jika
engkau memaksakan teori gilamu untuk diterima oleh para pendaki yang lain.
Tidakkah kau pikir anak-anak muda yang berminat mendaki ke Alpen akan dengan mudahnya
berjatuhan dalam pelukan maut jika mengikuti teori dan filosofi gilamu?”
Ujar Tita Piaz suatu kali bertanya kepada Preuss.
“Tidak Gio, saya tidak memaksakan setiap orang untuk mengikuti teori
dan filosofi yang saya sampaikan. Setiap orang dapat mendaki dengan gaya apapun
yang mereka inginkan, tidak ada masalah besar dengan itu..” jawab Preuss
dengan santai.
“Tapi kau telah meracuni isi
kepala anak-anak muda bodoh itu dengan pikiranmu yang terlampau ekstrim, mereka
bisa mati karena idemu..”
“Hahaha, kalau begitu mereka
tidak seharusnya mendaki gunung Gio, membuat pizza dirumah mungkin lebih cocok
untuk mereka..”
“Aku tetap akan menggunakan
piton dan pengaman Paul, aku lebih suka menggantung empat puluh atau dua puluh
meter ditali pengaman walaupun dengan kaki yang patah, itu juga akan memberi
kesempatan bagi beberapa ekor burung gagak dari jurang untuk berpesta diatas
mayatku...”
“Hahaha, itu pilihanmu Gio..” balas Preuss, keduanya sama-sama
terbahak.
Meskipun berbeda pendapat dan
berdebat dalam surat kabar, Paul Preuss dan Tita Piaz adalah sosok yang
sama-sama saling menghormati. Tita Piaz menaruh rasa hormat yang tinggi kepada
Preuss, dan sebaliknya Preuss juga menghormati Piaz sebagai salah satu pemandu
pendakian yang dapat diandalkan di Alpen.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa
prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Preuss adalah sebuah nilai filosofi yang
dinamis, tidak ada kefanatikan dan pemaksaan yang kaku dalam pelaksanaannya.
Dalam praktiknya, kompromi adalah cara yang paling baik. Dan Preuss
mencontohkan itu dalam dua kali pendakiannya yang menggunakan alat artifisial
berupa piton.
Piton pertama dalam pendakiannya ditempatkan di Rizzi Chimney South Face dari Innerkofler Tower yang biasanya basah dan sangat licin. Sedangkan piton kedua6.7 ditempatkannya di Trisselwand, karena saat itu ia mencapai puncak pada malam hari dan untuk mengamankan anggota lain yang beberapa diantaranya adalah perempuan dalam perjalanan turun mereka. Kenyataan ini menjadi acuan bagi Reinhold Messner kemudian dalam menyikapi prinsip Preuss dengan mengatakan bahwa;
“Kompromi hanya dimungkinkan dalam praktik, bukan dalam filosofi”.
Punggungan Utara Manndlkogel
|
Tahun
1912 menjadi tahun yang cukup menyesakkan bagi Paul Preuss. Tahun itu ia
menjadi saksi mata drama maut yang merenggut nyawa tiga orang pemanjat tebing
di Auguille Rouge de Peuterey. Salah
satu dari pendaki yang kehilangan nyawa saat itu adalah pendaki gunung terkenal
dari Inggris bernama Humprey Owen Jones yang sedang menikmati bulan madu
bersama isterinya dengan memanjat Aguille Rouge de Peuterey. Jones dan
isterinya baru saja melangsungkan pernikahan mereka sekitar dua minggu sebelum
tragedi maut itu terjadi. Sosok lain yang juga ikut menjadi korban dalam
musibah ini adalah Julius Truffer, seorang pemandu gunung berkebangsaan Swiss.
Dari banyak informasi yang
beredar kemudian, diketahui bahwa Julius Truffer memimpin pendakian sebagai
konsekuensi dari perannya sebagai seorang guide. Dibelakangnya pasangan sejoli
yang sedang memadu kasih, Owen Jones dan isterinya, asyik mendaki sambil
sesekali diselingi oleh tawa riang dan bahagia. Ketiga orang ini terhubung
dalam satu tali pengaman yang sama. Sementara tak jauh dari rute yang mereka
ambil, seorang pendaki lain sedang ‘menari’ dalam rutenya sendiri, sendirian
dan tanpa tali sama sekali. Paul Preuss sang pionir free solo sedang ada pada
gunung yang sama saat itu.
Aiguille Rouge de Peuterey yang
mereka daki pada waktu itu merupakan bagian puncak lain dari pegunungan
Aiguille Noire de Peuterey yang semuanya masih masuk dalam jajaran pegunungan
Mont Blanc. Tanggal 15 Agustus tahun 1912 yang indah di tempat itu kemudian
terpecahkan oleh suara teriakan dari Julius Truffer yang tergelincir kehilangan
pegangan dan pijakan.
“O God, No...!!!”
Hanya sepersekian detik kemudian
teriakan Trufferr bersatu dengan teriakan Owen Jones dan isterinya yang ikut
terlepas dari tebing karena tertimpa tubuh Truffer yang jatuh. Hanya satu detik
suara mereka bertahan ditelinga Preuss yang menyaksikan semua pristiwa itu,
untuk kemudian menghilang dan berganti menjadi suara kematian yang misterius
sekitar 300 meter dibawah kaki Preuss.
Owen Jones dan isterinya,
bersama juga dengan Julius Truffer yang malang telah remuk dan tewas dibawah
sana, di Gletser Fresnay yang haus nyawa. Preuss yang terkesiap dengan semua
kejadian yang barusan terjadi didepan matanya, sejenak merasa mati rasa melihat
pristiwa itu. Pegangannya nyaris saja terlepas saking kagetnya. Tidak ada lagi
keinginan Preuss untuk mencapai puncak, sekarang ia harus turun dari dinding
Aiguille Rouge de Peuterey itu seorang diri untuk mengabarkan kejadian yang
baru saja ia saksikan kepada orang lain.
Pasca tragedi Owen Jones yang
berujung maut tersebut, Paul Preuss lebih banyak melakukan pendakiannya secara
solo, sesuatu yang sebenarnya telah cukup sering ia lakukan sebelum tragedi itu
terjadi.
“Hanya
nyawa saya sendiri yang dipertaruhkan” ujar Preuss suatu ketika.
“Ketika ada
orang lain dibelakang saya yang ikut mendaki, baik ia mengikuti gaya saya
ataupun tidak, baik ia menggunakan pengaman ataupun tidak, ketika ia mengikuti
rute ditempat sulit yang saya buat dan kemudian ia gagal dan jatuh, maka terasa
semua kegagalan dan musibah itu menghancurkan saya. Saya tidak ingin
mempertaruhkan nyawa orang lain dalam gaya yang saya lakukan...”
Melihat dari alasan yang disampaikan oleh Preuss ini, rasanya memang tidak tepat bagi Tita Piaz menuduhnya tidak manusiawi dengan filosofi dan teori yang ia sampaikan. Preuss terbukti sangat tidak ingin melibatkan nyawa orang lain apalagi mempertaruhkannya dalam petualangannya yang demikian berani.
Keputusan dan totalitas Paul Preuss dalam melakukan pendakian murni, tanpa sedikitpun alat bantu adalah sebuah gaya yang ia terapkan untuk dirinya sendiri, bukan sesuatu yang ia paksakan kepada orang lain. Sejarah pendakian Trisselwand dimana Preuss menempatkan dua buah piton sebagai alat perlindungan bagi anggota lain karena pendakian mereka terjebak dalam gelap malam, semakin memperjelas reputasi ‘betapa manusiawinya dia’.
|
Tidak ada yang tahu dengan pasti apa yang telah terjadi di tebing utara Manndlkogel itu kemudian. Yang pasti Paul Preuss sang pionir free solo menemukan bahwa kematian telah menantinya di tebing itu. Ada dua saksi mata6.9 yang mengatakan bahwa Preuss telah berhasil mendaki dan melewati bagian paling sulit dari rute yang ia ambil. namun keduanya kehilangan sosok Preuss6.10 ketika Preuss memanjat sebuah tebing overhang.
Saksi mata tersebut melanjutkan
bahwa mereka telah melihat Preuss mencapai sebuah lereng yang aman. Namun mungkin
ia berniat menyeberang ke arah kanan dari lereng itu dan kemudian terjatuh
disana. Spekulasi dan dugaan ini didasarkan pada sosok tubuh Preuss yang
Saat tubuh Preuss ditemukan,
pisau lipatnya dalam keadaan terbuka, tas punggungnya dengan tali berbahan
dasar sling webbing juga dalam keadaan terbuka. Ada sebuah spekulasi yang
mengatakan bahwa Preuss terjatuh ketika sedang beristirahat dibibir puncak atau
lereng yang lain6.11. Ia berusaha menangkap pisau lipatnya yang
terjatuh dan kemudian kehilangan keseimbangan yang kemudian mengantarkannya
pada kematian.
Spekulasi ini didukung kuat dengan penemuan sebuah cairn 6.12 di atas puncak Manndlkogel sepuluh tahun pasca kematiannya, sebuah bukti yang memperkuat dugaan bahwa Preuss pada dasarnya telah mencapai puncak gunung. Meskipun demikian, walau banyak hipotesa dan spekulasi yang bermunculan terhadap kronologi kematiannya, pada dasarnya tidak ada yang benar-benar tahu pasti kejadian yang sebenarnya.
Paul Preuss yang tewas karena terjatuh itu sudah pasti. Namun selebihnya adalah misteri abadi yang tak mungkin diketahui oleh siapapun, kecuali oleh Tuhan dan Preuss sendiri.
Kematian Paul Preuss meninggalkan luka dan kesedihan mendalam pada banyak orang saat itu. Preuss dihormati karena kebaikannya, sifat ksatria, sopan, dan profesionalismenya, meskipun saat ia sedang berdebat. Meskipun memiliki superioritas dalam banyak hal, termasuk juga intelektual, keberanian, konsistensi dan wawasan, Preuss tetap bersikap sederhana dan rendah hati.
Preuss dihormati baik kawan maupun lawan6.13. Semua merasa kehilangan ketika Preuss meninggal. Preuss diingat karena dia adalah pelopor pendakian gunung dengan teknik yang paling murni, paling mengedepankan kemampuan manusia diatas peralatan dan teknologi. Ia adalah bapak dari free solo rock climbing, bapak dari free solo pendakian di gunung dengan medan-medan paling teknis di dunia.
Orang-orang
yang kemudian berpikir sama sepertinya, mengikuti jejaknya, kemudian berkembang
menjadi legenda dalam aktivitas pendakian gunung modern. Walter Bonatti,
Reinhold Messner, Royal Robbins, Peter Croff, Jeff Lowe, Catherine Destivelle,
Alison Hargreaves, Dean Potter, Ueli Steck, hingga Alex Honnold sekarang,
adalah orang-orang yang berbagi nilai-nilai filosofi dan pemaknaan arti sebuah
alpinisme dengan sosok Paul Preuss. Preuss adalah pendahulu, guru, pahlawan
sekaligus nabi panutan bagi nama-nama besar tersebut.
Catatan:
Artikel ini dikutip dari buku MAUT DI GUNUNG TERAKHIR karya Anton Sujarwo. Info tentang bukunya dapat diklik di sini.
Posting Komentar untuk "LEGENDA DAN KEMATIAN PAUL PREUSS; 'SANG NABI' PARA PENDAKI GUNUNG SEJATI"