Seberapa Penting Arti ‘Gaya atau Style’ Dalam Aktivitas Mendaki Gunung
Hal pertama yang harus dipahami dalam konteks
style atau gaya disini adalah; ini bukan tentang pakaian, ini bukan tentang
fashion, ini bukan tentang tas bermerek atau pun perlengkapan mahal. Gaya mendaki
gunung yang dimaksud di sini adalah teknik
mendaki gunung, atau dalam penjabaran yang lebih luas, adalah tentang
bagaimana seseorang melakukan pendakian gunung menurut determinasi dirinya
sendiri.
Lebih jauh, style atau gaya mendaki gunung
pada sebagian besar pendaki gunung dunia, adalah presentasi paling kuat yang
menjelaskan siapa diri mereka sebenarnya.
“Dalam
mountaineering, gaya itu penting. Meskipun hal ini bukan segalanya, namun gaya
yang engkau lakukan akan menggambarkan dirimu yang sesungguhnya”
Kalimat di atas adalah kalimat yang sempat
diucapkan oleh salah satu pendaki gunung top dunia, saya lupa namanya, namun
diksi yang ia gunakan melekat cukup erat dalam benak saya. Dan sebagai seorang
penulis buku-buku mountaineering di Indonesia, saya sepakat dengan pendapat
ini. Karena sejauh ini, setelah menulis sembilan buku pendakian gunung yang
telah terjual ribuan eksemplar, saya dapat menyimpulkan bahwa style dalam
pendakian gunung memegang peranan yang sangat krusial.
Tanpa style atau gaya, mountaineering bisa
jadi sangat membosankan untuk diceritakan. Daya tarik penulisan dan penceritaan
aktivitas mountaineering kadang bersumber pada gaya yang dilakukan oleh
orang-orang yang ada di dalam aktivitas tersebut. Dan ini bukan hanya didorong
oleh egoisme superioritas individual semata, pada tatanan yang lebih jauh
mengenai style dalam mountaineering, ini juga berarti tentang makna dari mendaki gunung itu sendiri.
Jadi dengan kata lain saya ingin
menyampaikan, bahwa style atau gaya dalam pendakian gunung tidak dapat
diartikulasikan pada sebuah pemahaman yang sempit. Ini bukan tentang ego,
tentang angkuh dan sombong, apalagi tentang gaya berpakaian ala pendaki gunung.
Lebih jauh ini adalah sebuah manifestasi dari pemaknaan jiwa-jiwa spiritual
dalam pengembaraan mereka di atas gunung-gunung.
Apa Sebenarnya yang
Dimaksud Dengan Style Dalam Mountaineering atau Mendaki Gunung?
Style atau gaya pada dasarnya dapat
diterjemahkan secara sederhana saja; yakni bagaimana proses sebuah aktivitas
mountaineering dilakukan. Atau pada penjelasan yang lebih difokuskan; yakni
bagaimana cara seorang pendaki gunung meraih puncak impian mereka. Makna ini
kemudian dapat kita perluas lagi penjelasannya karena gaya mendaki gunung
sendiri sangat banyak dan memiliki berbagai tingkatan yang menarik.
Sebelum terlalu jauh membahas style atau gaya
dalam mendaki gunung, kita mungkin akan kembali dulu pada salah satu esensi
dasar dari tujuan aktivitas pendakian gunung itu sendiri. Bagaimana pun juga,
tidak dapat ditampik bahwa salah satu tujuan
mendaki gunung adalah meraih puncaknya. Beberapa orang boleh berkilah bahwa
puncak tidak penting atau puncak adalah bonus, namun sepanjang sejarah,
pendakian tidak dapat dianggap sukses jika puncak tidak dicapai.
Contohnya;
Tahun 2010 seorang pendaki perempuan terkuat
dari Korea Selatan bernama Oh Eun Sun mengklaim bahwa dirinya telah berhasil
memuncaki 14 puncak tertinggi di bumi yang dikenal dengan Mahkota Himalaya atau
fourteen eight thousanders. Oh Eun Sun adalah pendaki besar Korea, di kalangan
outdoor dunia ia sempat disebut sebagai The
Iron Women karena ketangguhannya di atas gunung.
Namun kemudian klaim Eun Sun ini disomasi
oleh pendaki perempuan dari Spanyol bernama Edurne Pasaban. Pasaban mengatakan
bahwa pendakian Eun Sun di Kangchenjunga yang merupakan puncak tertinggi ketiga
di dunia di belakang Everest dan K2, tidak mencapai puncak. Lebih jauh Pasaban
juga mengatakan bahwa ia memiliki bukti kuat mengapa somasi ini ia layangkan
untuk memprotes pencapaian Eun Sun.
Kontroversi terus berlanjut. Eun Sun
melakukan pembelaan, Pasaban pun bertahan dengan pendapatnya. Dan akhirnya,
dengan berbagai pertimbangan, ditetapkan bahwa memang nampaknya Eun Sun tidak
mencapai puncak di Kangchenjunga.
Dan konsekuensinya; namanya harus dicoret
dari tahta pemegang rekor wanita pertama pemegang Mahkota Himalaya.
Oh Eun Sun dari Korea Selatan, sang Wanita Besi yang kemudian harus menelan pil pahit karena status pemuncakannya di Kangchenjunga. (source: Blackyak)
Selain Eun Sun, masih ada ratusan banyaknya
kisah lain yang menjadi bukti bahwa puncak bagaimana pun juga mau dinafikan,
tetap adalah unsur penting dalam aktivitas mendaki gunung.
Sekarang, jika memang puncak adalah bagian
penting dalam mountaineering, lantas bagaimana dengan pilihan cara mencapainya?
Atau dalam bahasa yang lebih baik; seberapa penting dan arti sebuah cara
mencapai puncak dalam aktivitas pendakian gunung?
Apakah Gaya Dalam Mendaki
Gunung Adalah Sesuatu yang Penting?
Pertanyaan
seperti ini menarik, tapi mungkin tidak banyak diperdulikan, apalagi di
Indonesia. Beberapa orang tak begitu perduli bagaimana gaya dan cara yang
dilakukan, yang penting bagi mereka adalah bagaimana bisa berdiri di atas
puncak. Anda bisa mendaki dengan cara apa pun yang anda suka, dan selama anda mencapai puncak, anda memenangkan permainan.
Namun
pada sisi yang lebih menarik, untuk kelompok yang lebih kecil, gaya adalah
pondasi dasar dalam aktivitas mendaki gunung. Gaya adalah pilihan sekaligus
manifestasi dari kesungguhan seorang pendaki gunung dalam pilihan hidup mereka.
Gaya adalah ruh atau jiwa dari pendakian yang ia lakukan.
Jika
kemudian kita menemui kebingungan dalam memaknai prinsip ini, maka saya akan
memberikan beberapa contoh berikut untuk mempermudah kita dalam memahaminya.
- Paul Preuss dikenang sebagai pendaki free solo paling murni sepanjang sejarah karena gaya yang ia pilih. Ia dijadikan panutan oleh nama-nama besar seperti Walter Bonatti, Reinhold Messner, Kurt Diemberger dan lain sebagainya. Prinsip Preuss dalam menekankan gaya sangat murni dalam mountaineering dianggap sebagai yang paling ‘suci’ sepanjang sejarah. (anda bisa membaca buku saya yang berjudul Maut Gunung Tearkhir jika mungkin tidak mengenal nama Paul Preuss.
Paul Preuss dianggap sebagai 'nabinya' para pendaki gunung sejati karena pilihan gaya yang ia ambil dalam setiap pendakian yang ia lakukan. (source: buku Maut di Gunung Terakhir)
- Apa yang membuat nama seperti Reinhold Messner menjadi sangat legendaris sepanjang masa? Itu tentu karena gaya yang ia pilih. Ia orang pertama di dunia yang memutuskan untuk mencoba mendaki Everest tanpa tabung oksigen secara solo setelah kesuksesannya bersama Peter Habeler setahun sebelumnya.
- Apa yang membuat nama seperti Ueli Steck, Alex Honnold, Silvia Vidal atau yang lainnya sangat populer? Itu juga karena gaya yang mereka pilih. Mereka semua memilih gaya atau style yang berbeda daripada pendaki umum kebanyakan untuk mencapai sebuah puncak. Dan pada akhirnya, pilihan itu pula yang membuat mereka jadi legenda.
Gaya
adalah bagian penting dari sebuah aktivitas mountaineering. Gaya menjadikan
aktivitas mountaineering tetap asyik untuk ditulis hingga sekarang. Dan tentu
saja, itu juga adalah salah satu alasan yang membuat saya sejauh ini tetap
merasa nyaman menulis buku dengan tema mountaineering.
Buku
terakhir saya yang berjudul DEWI GUNUNG InsyaAllah akan dirilis pada akhir
April 2020 ini. Isinya tentang kiprah para pendaki gunung perempuan sepanjang
sejarah mountaineering, baik sejarah kehadiran mereka, eksistensi mereka, sampai kepada kontroversi yang melekat bersama
sosok mereka. Dan gaya mereka melakukan pendakian adalah salah satu esensi
paling signifikan yang kemudian membuat beberapa nama terbaik juga tampil dalam
buku ini, termasuk juga tentu saja seperti Oh Eun Sun, Edurne Pasaban, dan
Silvia Vidal.
Sampel pra cetak buku Dewi Gunung yang akan dirilis 30 April 2020 mendatang dan informasi pre ordernya (source: doc.pribadi)
Nah
setelah menyimak penjelasan tentang gaya mendaki gunung di atas? Apa pendapat
teman-teman tentang pilihan sebuah gaya dalam mendaki gunung?
Posting Komentar untuk "Seberapa Penting Arti ‘Gaya atau Style’ Dalam Aktivitas Mendaki Gunung"