PETAKA SIULA GRANDE: KISAH SURVIVAL PENDAKI GUNUNG DAN PERSAHABATAN DARI SEUTAS TALI
Siula
Grande adalah sebuah gunung dengan puncak setinggi 6.344 meter atau 20.814 kaki
yang terletak di Cordilerra Huayhuash, wilayah pegunungan Andes di Peru.
Huayhuash Cordillera sendiri adalah sebuah rantai punggungan pegunungan yang
berada dalam wilayah raksasa pegunungan Andes, dimana Aconcagua menjadi puncak tertinggi
yang berdiri di kawasan
ini. Selain
puncak utama yang memiliki ketinggian 6.344 meter, Siula Grande juga mempunyai
anak puncak yang disebut Siula Chico
yang tingginya lebih rendah dari Siula Grande, yaitu 6.260 meter. Antara Siula Grande
dan Siula Chico dibatasi oleh sebuah Col (celah yang terdapat di antara dua puncak gunung) dengan
ketinggian 6.000 meter. Kebanyakan pendaki gunung menganggap bahwa jalan
termudah untuk mencapai Puncak Siula Chico adalah melalui col yang
mempertemukan kedua puncak ini.
Pendakian pertama ke Puncak
Siula Grande pertama kali tercatat dilakukan oleh Arnold Arwezger dan Erwin
Schneider dari Austria pada tanggal 28 Juli 1936 melalui punggungan bagian
utara. Pendakian selanjutnya yang cukup penting dalam sejarah Siula Grande
adalah tahun 1966, dimana Manfred Strum dan dua rekannya membuat first ascent
di Siula Chico.
Dan
pada kesempatan yang sama juga berhasil mencapai Puncak Siula Grande yang
kemudian dicatat sebagai pendakian berhasil keempat di gunung tersebut.
Tahun 1985 sisi bagian
barat Siula Grande berhasil didaki untuk yang pertama kalinya oleh Simon Yates
dan Joe Simpson dari Inggris. Dan pada tahun 1999, Carlos Buhler mengulangi
rute yang digunakan Yates dan Shimpson di wajah barat Siula Grande empat belas
tahun sebelumnya. Pendakian napak tilas yang dilakukan Buhler ini adalah untuk
upayanya memperdalam kesan yang disampaikan legenda Touching The Void di Siula Grande, legenda yang akan menjadi pokok
bahasan kita dalam paragraf-paragraf
selanjutnya.
Setelah kehadiran
Buhler, Michel van der Spek, Jay Burbee, dan Jeremy Frimer juga datang ke Siula
Grande dan berhasil mencapai puncak melalui sisi bagian selatan pada 13 Juli
2001. Sementara tanggal 3 Juli 2002 Marjan Kovač dan Pavle Kozjek dari Slovenia
juga berhasil mencapai puncak melalui sisi timur laut. Rute yang digunakan oleh
Kovač dan Kozjek ini
kemudian dinamakan Northeast Face Los
Rapidos. Dan pendakian terakhir yang dianggap cukup penting di Siula Grande
adalah bulan Agustus 2002, dimana Rogier van Rijn dan Eva Oomen membuat sebuah
rute pendakian baru lainnya yang diberi nama Mammut Track.
Diantara sekian banyak
pendakian penting di Siula Grande itu, pendakian yang dilakukan Simon Yates dan
Joe Simpson pada tahun 1985 adalah yang paling fenomenal dan terbit menjadi
salah satu kisah mountaineering yang terkenal ke seluruh penjuru dunia. Buku Touching The Void yang ditulis Joe Simpson setelah
berhasil kembali dari Siula Grande memenangkan Boardman Tasker Prize for Mountain Literature pada tahun 1989, dan
juga memenangkan NCR Book Award di
tahun yang sama.
(NCR Book Award adalah sebuah
penghargaan karya tulis berbentuk buku non fiksi di Inggris yang disponsori
oleh sebuah perusahaan IT bernama NCR atau National
Cash Register Corporation, penghargaan ini sekarang telah dihentikan dan
diganti menjadi Samuel Johnson Prize).
Film dokumenter yang berjudul Touching The Void juga telah dibuat pada
tahun 2003, disutradarai oleh Kevin MacDonald, dan berhasil pula memenangkan Alexander Korda Award untuk Best British
Film di BAFTA Awards tahun 2003.
Selain itu, film dokumenter Touching The Void juga ditampilkan dalam Sundance Film Festival di tahun 2004.
Adapun secara garis
besar, kisah yang menjadi legenda Touching
The Void tersebut
mungkin dapat kita ringkas sebagai berikut;
Simon Yates (kiri) dan Joe Simpson (kanan) beberapa saat sebelum memulai
pendakian mereka di Wajah Barat Siula Grande.
Sumber foto: Google
Tahun 1985, dua anak
muda dari Inggris yang haus akan petualangan dan penjelajahan, datang ke Siula
Grande di Peru untuk memuaskan dahaga mereka akan sebuah tantangan
mountaineering. Keputusan Simon Yates dan Joe Simpson memilih Siula Grande ini
merupakan dorongan dari semangat ekplorasi mereka khas jiwa pendaki konservatif
yang memuja tantangan, keterasingan, kesunyian, dan misteri. Selain itu, Siula
Grande adalah salah satu tempat di bumi yang masih menyisakan ruang first
ascent bagi dua pemuda itu, setidaknya sisi barat (west face) gunung ini belum
pernah dicoba oleh satu orang alpinis pun.
Dan itu adalah sebuah kesempatan yang jika tidak mereka ambil,
mungkin akan diambil oleh alpinis lain yang memiliki semangat penjelajahan sama
seperti mereka.
Dalam
perjalanan menuju Siula Grande, di Peru Simon Yates
dan Joe Simpson
bertemu dengan seorang pengelana Eropa lain bernama Richard. Richard bukan
seorang pendaki gunung, ia adalah seorang laki-laki yang sama sekali tidak
mengetahui tentang apa itu mountaineering dan alpinis. Namun ketika
Simpson dan Simon
menawarinya untuk ikut ke Siula Grande, Richard tanpa banyak pertimbangan
langsung saja mengiyakan. Ketika
sampai di tepian sebuah Gletser tak jauh di Siula Grande, ketiga orang itu mendirikan perkemahan.
Sementara Yates dan Simpson menyiapkan pendakian mereka, Richard secara
sukarela bertugas sebagai tukang masak untuk kedua pendaki itu. Ketika Yates
dan Simpson mulai melangkah menyusuri gletser menuju kaki sisi barat Siula
Grande, Richard kembali bertugas sebagai penjaga bagi tenda dan barang-barang
mereka. Dan untuk alasan itulah sebenarnya mengapa Simon Yates dan Joe Simpson mengajak Richard
dalam pendakian mereka itu.
Pendakian
dua pemuda Inggris itu kemudian berlangsung dengan lancar menuju Puncak Siula Grande. Meskipun menemui
beberapa kesulitan dihadang oleh tebing-tebing yang sulit, dan sempat pula
bermalam di sebuah
goa salju, Yates dan Simpson pada akhirnya berhasil mencapai puncak dengan
selamat.
Setelah berhasil
mencapai Puncak Siula Grande melalui sisi barat yang belum pernah didaki
sebelumnya, Joe Simpson
dan Simon Yates
memulai perjalanan turun. Dikarenakan medan yang mereka pilih adalah North
Ridge yang tentunya berbeda dengan jalur naik sebelumnya, terdapat beberapa
tebing yang tidak mereka prediksi, sehingga menuntut lebih banyak kewaspadaan dan
kehati-hatian dalam melewatinya.
Pada sebuah kesempatan, setelah berkali-kali berhasil turun rappelling dengan
suskes menuruni beberapa dinding es, Simpson yang berada didepan tiba-tiba
merasa canggung dan mendarat dengan keliru. Pendaratan yang keliru dan
ragu-ragu dari Simpson itu berujung
malapetaka, kaki kanan Simpson patah,
dan ini membuat perjalanan turun menemui keadaan yang kian buruk.
Proses pendakian ini sendiri
telah melewati batas pendakian yang dijadwalkan sebelumnya. Kesulitan yang dihadapi pada saat mendaki membuat dua orang ini
menghabiskan waktu lebih banyak di gunung.
Dan itu artinya juga menghabiskan perbekalan mereka lebih
cepat dari yang seharusnya. Bahan bakar untuk menyalakan kompor guna mencairkan es dan
salju untuk diminum telah habis, perbekalan makanan juga hanya tersisa sangat
sedikit. Dan sekarang ditambah
dengan kaki Simpson yang patah membuat penderitaan kian terasa lengkap. Peluang
untuk segera sampai di gletser kaki gunung dan pulang ke tenda nampaknya kian
tidak mudah untuk diramalkan hasilnya.
Setelah kaki Simpson
patah, maka tak ada jalan lain baginya untuk menuruni tebing Siula Grande
kecuali dengan cara dibelay
oleh Yates. Simon Yates bediri di atas tebing dengan posisi biasanya duduk,
dibantu oleh beberapa pijakan dan tumpuan yang ia buat supaya lebih kokoh saat
menurutkan tubuh Simpson. Satu dua penurunan berjalan lancar, namun ditengah
keletihan, rasa lapar, dan juga badai yang mulai mengamuk di Siula Grande,
proses penurunan itu terasa kian sulit.
Tidak hanya oleh Simpson yang kakinya patah, namun juga oleh
Yates yang dalam buku Simpson dikatakan “tidak
banyak berkata, namun jelas menunjukkan wajah yang sangat letih”.
Tali yang digunakan
dalam proses belaying ini adalah dua utas tali sepanjang 45 meter yang
disambung menjadi satu sehingga memiliki panjang sekitar 90 meter kurang lebih.
Karena talinya disambung maka salah satu ujungnya membentuk sebuah simpul yang tidak
muat melewati plate belay dalam keadaan kencang. Dalam proses penurunan, Simpson
perlu berdiri diatas kakinya untuk sementara waktu guna memberi kesempatan kepada Yates memindahkan plate belay ke
sambungan tali selanjutnya, dan hal tersebut hanya bisa dilakukan jika talinya
dalam kondisi kendur.
Ditengah keadaan yang kian buruk, badai dan
gelap kian membungkus mereka, Simon Yates secara tidak sengaja menurunkan
Simpson disebuah tebing yang cukup curam. Karena posisi Yates yang duduk lebih
tinggi diatas gunung, ia tidak dapat melihat ataupun mendengar suara Simpson. Dan begitupun
sebaliknya, Joe Simpson tak bisa mendengar dan melihat Simon Yates. Satu-satunya
yang menjadi alat komunikasi kedua pendaki itu adalah tali yang menghubungkan mereka. Dan memang telah
disepakati sebelumnya bahwa jika Simpson menyentakkan ujung tali dari bawah,
itu artinya ia telah sampai di dasar tebing, dan Yates dapat menarik tali
tersebut kemudian melanjutkan proses belaying untuk dirinya sendiri.
Setelah sekian lama
menurunkan Simpson, sentakan tali yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul. Namun Yates
merasa bahwa bobot tali tidak berkurang, yang menandakan bahwa Simpson masih
ada di ujung sana. Tanpa sepengatahuan Simon, Joe Simspon ternyata terjebak di ujung
tali, ia menggantung di sebuah tebing yang dalam kondisi gelap tak terlihat
seberapa jauh dasarnya. Sebelumnya
ia mencoba naik kembali untuk memberi kode sentakan tali pada Yates, namun
tangannya yang membeku dihajar radang dingin sama sekali tak mampu untuk
digerakkan. Bahkan upaya untuk membuat simpul perusiking yang ia lakukan malah menjatuhkan tali pendek berukuran
lebih kecil yang ia bawa.
Pasangan pendaki ini
terjebak dalam kondisi yang sangat buruk.
Simpson tidak bisa memanjat tali karena tangannya membeku dan tali perusikingnya
juga terjatuh. Di sisi lain, Yates juga
tidak bisa menarik tubuh Simpson kembali.
Tebing terlalu tinggi untuk menurunkan Simpson lebih jauh,
sementara simpul tali tidak bisa melewati plate belay dalam kondisi kencang
seperti itu. Dan
kondisi kian buruk karena keduanya tidak bisa saling berkomunikasi. Yates dan
Simpson tertahan dalam kondisi seperti itu sekian lama, bahkan dalam bukunya
Simpson mengatakan ia sempat tertidur (karena letih). Namun ketika lubang
salju yang menjadi tempat duduk dan tumpuan Yates mulai bergerak, hal itu
membutuhkan sebuah pengambilan keputusan yang segera.
Jika salju itu terus
bergerak dan melorot karena pembenanan tubuh Simspon, maka keduanya akan mati
karena mereka terhubung oleh sebuah tali yang sama. Dalam kondisi genting dan
dilematis ini, Yates harus membuat keputusan cepat. Dan memotong
tali yang kencang itu dengan sebilah pisau kecil yang ia bawa, nampak
baginya sebagai sebuah
keputusan yang paling baik, paling bijak, dan yang terpenting paling mudah
untuk dilakukan. Dengan terputusnya tali tersebut, ia memiliki kesempatan untuk
menyelamatkan nyawanya sendiri. Sementara di sisi lain, Simpson yang tidak mengirim reaksi
sejak lama juga
tidak perlu lagi sekarat terpapar badai dan angin beku Siula Grande. Putusnya tali itu akan mempermudah
kematian Simpson (jikapun ia masih hidup). Dan kematian yang cepat
tanpa perlu menderita lebih panjang, layak untuk diberikan kepada Simpson.
Dan atas pertimbangan
itu semua, Simon Yates menarik pisaunya,
dan memotong tali tersebut dengan mudah...
Ketika Yates memotong
tali, tubuh Simpson meluncur jatuh ke sebuah ceruk es yang cukup dalam.
Sementara Yates yang kelelahan dan juga terserang hipotermia, menggali sebuah
gua salju untuk berlindung dari badai yang terus mengamuk malam itu.
Keesokan harinya, Yates
melanjutkan perjalanan turun dari gunung Siula Grande sendirian. Dan ketika
sampai di ceruk, ia baru menyadari
apa yang telah terjadi kepada Simpson saat ia memotong talinya. Setelah
memanggil Simpson berulang-ulang dan tak mendapatkan jawaban apapun, Yates
berasumsi bahwa Simpson telah tewas dan tak ada lagi yang bisa ia lakukan
selain terus menuruni gunung itu seorang
diri.
Joe Simpson, bagaimana
pun juga keadaannya, ternyata masih hidup. Setelah tali terpotong tubuhnya
jatuh sejauh 50-an meter ke dalam crevasse (ceruk es) dan mendarat di atas sebuah langkan
(pinggiran) di dalam ceruk tersebut. Ketika ia tersadar kembali dari
pingsannya, ia menemukan bahwa tali yang ia gunakan telah dipotong, dan itu
artinya Simon Yates menyangkanya telah tewas. Karena itu, Simpson harus
berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri. Yates
tidak akan kembali, apalagi tim SAR (lelucon macam apa itu), juga tidak akan ke
gunung itu, karena menyangka dirinya telah mati.
Simpson tidak mungkin
mendaki crevasse itu dengan kondisi kaki yang patah dan tangan yang menbeku. Selain itu
bagian atas crevasse juga membentuk sebuah permukaan overhang, yang membuat
opsi naik menjadi semakin mustahil. Satu-satunya pilihan yang dimiliki Simpson
saat itu adalah turun lebih jauh ke dalam crevasse dan berharap menemukan jalan
keluar yang langsung menuju gletser Siula Grande, tempat ia dan Yates
sebelumnya memulai pendakian.
Pilihan ini sebenarnya
adalah sebuah pertaruhan bagi Simpson. Turun lebih jauh ke dalam ceruk es itu akan membuatnya
kian dalam terkubur, dan jika ia tak menemukan jalan keluar menuju gletser di
bawah sana, maka itu akan membuatnya dirinya mati dan benar-benar hilang. Namun
Simpson berpikir, apalagi pilihan yang ia miliki? Ia disangka sudah mati oleh
Yates dan tak ada yang akan mencari dirinya sejauh ini ke Siula Grande, lebih
baik mati dalam berjuang, daripada tewas dalam keadaan berdiam diri. Dengan semua
pertimbangan itu, Simpson membulatkan tekadnya untuk turun lebih jauh ke dalam
crevasse.
Setelah berhasil turun,
Simpson menemukan pilihannya terbukti tidak keliru. Sebuah pintu masuk kecil menuju
gletser melalui lereng yang curam terbuka didepan matanya, menjadi jalan
baginya untuk dapat keluar dari kuburan crevasse tersebut. Dari tempat itu, Joe
Simpson menghabiskan tiga hari tanpa makanan dan nyaris juga tanpa air, merangkak
dan kadang berdiri menyeret kaki patahnya melintasi gletser dan labirin
crevasse yang membingungkan. Dalam kondisi sedemikian rupa, Simpson juga harus
menemukan arah yang benar untuk dapat kembali ke tenda mereka yang jauhnya
sekitar lima
mil. Disamping itu, dibutuhkan
juga keterampilan dirinya untuk mampu menemukan rute yang tepat melewati
ceruk-cerus di gletser
tersebut yang berjumlah ratusan banyaknya.
Merangkak
dengan kaki patah, tanpa makanan dan minuman, melintasi gletser sejauh delapan
setengah kilometer tentu bukan perkara yang mudah dan menyenangkan untuk
dilakukan, namun demikianlah yang harus Simpson lakukan jika ingin tetap hidup.
Akhirnya dalam
kombinasi kelelahan, kelaparan, mengigau, dan halusinasi, Simpson mencapai
basecamp mereka, membuat kekagetan sekaligus kegembiraan luar biasa bagi Simon
Yates dan Richard yang sudah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu dalam
beberapa jam lagi.
*
Secara umum kisah
survival yang dilakukan Joe Simpson di Siula Grande ini dianggap sebagai salah
satu legenda mountaineering yang paling mengagumkan. Meskipun demikian,
Simon Yates sempat dikritik secara luas mengenai keputusannya memotong tali
saat itu.
Akan tetapi, Joe
Simpson selalu tampil dan memberikan pembelaan terhadap rekannya. Keputusan Yates
saat itu sama sekali tak dapat dihujani dengan kritik. Simpson mengatakan, ia
pun akan melakukan hal serupa jika ia berada pada posisi Simon.
Touching
The Void
di Siula Grande tidak pernah merusak kedekatan antara Simon Yates dan Joe
Simpson, dan persahabatan antara kedua orang ini terus bertahan hingga
sekarang.
Dikutip dari buku Dunia Batas Langit
karya Anton Sujarwo halaman 206-215
Pemesana buku Dunia Batas Langit
dapat dilakukan melaui kontak berikut
WA: 081254355648
IG dan BL : arcopodostore
Posting Komentar untuk "PETAKA SIULA GRANDE: KISAH SURVIVAL PENDAKI GUNUNG DAN PERSAHABATAN DARI SEUTAS TALI"