KEMATIAN DAN KEBOHONGAN FIRST ASCENT PUNCAK PATAGONIA
Cerro Torre adalah sebuah gunung
runcing setinggi 3.128 meter yang terletak dibagian selatan padang es
Patagonia, Amerika Selatan. Posisi Cerro Torre sebenarnya berdiri dalam region
wilayah yang seringkali diperdebatkan antara Argentina dan Peru. Dibagian barat
Cerro Torre berdiri gunung lain yang juga cukup dikenal yakni Cerro Chaltén,
atau yang lebih akrab dengan sebutan Fitzroy atau Fitz Roy. Diantara puncak-puncak
sekitarnya (Torre Egger, Punta Herron, dan Cerro Standhart), Cerro Torre
merupakan puncak yang paling tinggi dan paling sulit untuk dicapai. Tiupan
angin yang konstan seringkali membuat bagian tertinggi dari Cerro Torre
tertutup oleh jamur es raksasa, yang tentunya semakin mempersulit upaya
pendakian menuju puncaknya.
Sebenarnya
banyak hal yang menjadi kemelut kontroversi di Cerro Torre ini, bukan hanya
kisah first ascentnya saja yang penuh dengan dilema. Pendakian yang dilakukan
oleh Hayden Kennedy dan Jason Kruk pada tahun 2012 juga memiliki buntut yang
cukup ruwet. Sementara itu pendakian David Lama dari tim Red Bull juga menuai banyak kritik pada tahun 2010. Kontroversi ini
jika kita ikuti
lebih jauh akan semakin terasa lebih ruwet dan membingungkan, apalagi dengan
beragamnya perbedaan standard dan cara pandang dalam meletakkan model pendakian
yang ideal dalam khazanah mountaineering. Akan tetapi untuk sementara kita akan
berfokus membahas kontroversi first ascentnya saja, kontroversi mengenai hal
yang terjadi kemudian akan kita singgung pula sedikit dalam pembahasan ini.
Kontroversi first ascent ini bermula pada tahun
1959 ketika seorang alpinis sekaligus penulis dari Italia bernama Cesare
Maestri mengklaim dirinya telah berhasil mencapai Puncak Cerro Terro bersama
seorang pendaki Austria bernama Toni Egger.
Pada awalnya, perjalanan ke salah satu puncak Amerika
Selatan itu terdiri dari tiga orang.
Yang pertama Maestri sendiri, lalu Toni Egger yang merupakan
guide Swiss yang direkrut oleh Maestri, dan orang ketiganya adalah Cesarino Fava, seorang
pendaki Italia yang sama
seperti Maestri. Ketiga orang itu datang ke Patagonia untuk mencoba mendaki puncak
Cerro Torre melalui punggungan timur laut yang hingga saat itu belum pernah
tercapai, meski telah beberapa orang mencoba menaklukkannya.
Skenario yang
disampaikan Maestri ke publik mengenai klaim keberhasilannya di Cerro Torre adalah
sebagai berikut: Mereka bertiga mendaki sebuah sudut curam dibawah Col of Conquest, yang terletak antara
kaki Cerro Torre dan Torre Egger. Pada titik ini menurut keterangan Maestri,
Cesarino Fava berbalik mundur, meninggalkan dirinya dan Toni Egger yang tetap
yakin untuk melanjutkan pendakian menuju puncak. Enam hari kemudian, Fava
menemukan Maestri nyaris terkubur dalam tumpukan salju dikaki Cerro Torre dalam
posisi telungkup. Keduanya kembali ke base camp. Maestri mengklaim bahwa ia dan Toni
Egger telah mencapai puncak tertinggi Cerro Torre, namun malangnya Egger
tersapu longsoran salju saat turun dan mayatnya menghilang (jenazah Egger
ditemukan pada tahun 1974 kemudian, lima belas tahun setelah pristiwa
tersebut).
Jika kita perhatikan
dengan seksama, ditemukan sedikit kesamaan klaim Maestri ini dengan klaim
serupa yang dilakukan oleh Frederick Cook untuk puncak Gunung Denali.
Perbedaannya adalah, Cook mengatakan bahwa patner mendakinya mundur saat itu
dengan bermacam pertimbangan, sedangkan Toni Egger yang menjadi mitra Maestri,
oleh Maestri dikatakan meninggal karena dihantam avalanche. Kehilangan partner
mendaki yang dapat menjadi saksi kunci seperti ini memang memunculkan keraguan publik
terhadap klaim Maestri
pada saat itu.
Apalagi
tanpa didukung oleh teknologi peralatan pendakian seperti sekarang ini, klaim
Maestri memang terasa begitu berlebihan.
Pencapaian puncak yang
tidak dilengkapi dengan data-data meyakinkan, baik berupa foto, deskripsi jalur
yang detail, kesaksian partner pendakian baik guide maupun sesama pendaki,
memang menimbulkan kesangsian. Zaman sekarang, ketika teknologi sudah semakin
maju, perangkat pendukung bukti pencapaian ini bertambah komplit dengan adanya GPS Track yang dilengkapi pula dengan
altimeter recorder yang umumnya dibawa oleh para pendaki. Dan semakin mudah dan
efisien lagi ketika benda pendukung seperti camera, altimeter recorder, dan GPS
ini dapat ditanam pada perangkat kecil seperti jam tangan yang begitu mudah
untuk dibawa oleh para alpinis ke puncak gunung. Kelengkapan bukti semacam ini
membuat klaim pendakian, baik berupa pencapaian puncak, penggunaan rute, serta
waktu tempuh menjadi lebih valid dan meyakinkan.
Karena klaim Maestri
saat itu hanya didukung oleh pernyataannya sendiri dan juga Fava, serta beberapa
lembar foto (dikemudian hari foto yang diambil Maestri digunakan balik oleh
Rolando Garibotti sebagai sanggahan atas klaim Maestri sendiri), maka mau tidak
mau, klaim Maestri meskipun dipercaya oleh beberapa orang, tetap tak dapat
menepis keraguan yang lainnya.
Yang mungkin berpikir lebih kritis dan skeptis.
Keraguan ini sama
sekali bukan didasarkan pada sosok Cesare Maestri, ia dikenal sebagai salah
satu pemanjat tebing besar dari Italia. Maestri bahkan mengulangi banyak rute
terkenal di Dolomites secara solo. Bahkan
julukan ‘spider of Dolomites’ yang
disematkan untuknya adalah karena kemampuannya mebuat jalur-jalur sulit di
pegunungan tersebut. Sejak tahun 1952, Maestri juga menjadi seorang guide pendakian,
membawa kliennya mendaki Civetta, Marmolada, dan juga punggungan Matterhorn
pada musim dingin.
Akan tetapi, seperti
yang disampaikan oleh Garibotti, meskipun sosok Maestri adalah salah satu
pendaki fenomenal dan pemikir bebas yang berkelas, hendaknya hal tersebut tidak
menghalangi kita (maksud Garibotti adalah publik
mountaineering) untuk meneliti kembali klaim Maestri terhadap first ascent
Cerro Torre berdasarkan data-data dan fakta yang lebih akurat dan meyakinkan. Keraguan dan
rasa skeptis terhadap klaim Maestri yang mengaku berhasil mencapai Puncak Cerro
Torre tahun 1959 ini semakin meningkat ketika melihat betapa sulitnya rute
pendakian yang ia klaim tersebut meskipun dilakukan dengan dukungan alat
pendakian gunung modern setelahnya. Keberhasilan Maestri menaklukkan
lintasan-lintasan berat Cerro Torre pada saat itu dengan alat pendakian yang
‘jadul’ semakin lama dianggap hanya sebagai sebuah pengakuan (jika tidak ingin
menggunakan kata bualan) yang nampaknya terlampau berlebihan.
Diantara orang-orang
yang meragukan klaim Maestri tersebut, termasuk pula diantaranya adalah
alpinis-alpinis ternama seperti Carlo Mauri (yang pernah mencoba memanjat Cerro
Torre pada tahun 1958 dan 1970 namun berakhir dengan kegagalan, Mauri juga
adalah orang yang bersama dengan Walter Bonatti menjadi first ascent Puncak
Gasherbrum IV). Kemudian
Reinhold Messner, Ermanno Salvaterra (yang sebelumnya membela klaim Maestri
namun mengubah pendapatnya setelah mencoba sendiri jalur yang kira-kira mirip
dengan itu pada tahun 2005 bersama Rolando Garibotti dan Alessandro Beltrami).
Dari Inggris kritik
untuk klaim Maestri ini datang pula dari Ken Wilson, pendaki, penulis,
sekaligus editor Mountain Magazine.
Pada umumnya beberapa hal yang menjadi point utama dari kritik tentang klaim
keberhasilan Maestri pada first ascent Cerro Torre yang pertama adalah tentang
kapabilitas perlengkapan pendakian yang digunakan. Peralatan ice climbing dan rock
climbing pada tahun 1959, tahun dimana Maestri mengklaim keberhasilan first
ascentnya di Cerro Torre, dilihat dari berbagai macam standar dan ukuran, tetap
dinilai tidak akan memadai (bahkan lebih jauh disebut imposible) untuk dapat menaklukkan kesulitan
tebing Cerro Terro. Para alpinis papan atas yang mengkritik klaim Maestri dapat
menilai dengan jelas bahwa kemampuan panjat tebing Maestri dan Toni Egger,
sehebat apapun mereka saat itu, diyakini tetap tidak akan mampu melewati
berbagai kesulitan medan vertikal atau overhang yang ada di Cerro Torre saat
itu. Ketika peralatan yang mereka gunakan tidak mendukung mereka untuk
melakukannya.
Hal kedua yang
mengundang kritik bagi Maestri adalah deskripsinya tentang detail rute
pemanjatan yang ia lakukan hingga menjelang Puncak Cerro Torre yang ternyata
jika diteliti lebih lanjut, berada pada tempat yang lebih rendah daripada
tempat dimana Cesarino Fava memutuskan untuk mundur. Sehingga menimbulkan
bukti yang terlihat kontradiktif. Namun hal itu tidak mungkin dibuktikan secara
jelas dan dilacak jejaknya setelah pendakian dilakukan.
Selanjutnya point
ketiga yang menjadi objek kritik untuk Maestri adalah mengenai jejak pendakian
yang ia lakukan. Dengan melakukan pemanjatan di gunung Cerro Torre yang
rencananya telah dipersiapkan jauh-jauh hari, tentunya Maestri, Fava, dan Egger
akan membawa dan memasang perlengkapan berupa fixed rope, bolt, pitons, dan
lainnya. Menjadi sesuatu yang sangat mengherankan kemudian ketika tidak
ditemukan jejak-jejak bekas adanya peralatan tersebut pada jalur yang disampaikan
Maestri. Lebih tidak mungkin lagi untuk memperkirakan bahwa Maestri dan Egger
mencabut piton, bolt, dan fixed rope sambil melakukan perjalanan turun saat
itu.
Ketika rasa sangsi dan
keraguan atas pendakiannya tahun 1959 belum menguap, Cesare Maestri kembali
lagi ke Patagonia tahun 1970 bersama dengan sebuah tim baru yang beranggotakan
Ezio Alimonta, Daniele Angeli, Claudio Baldessari, Carlo Claus, dan Pietro
Vidi. Dalam pendakiannya yang kedua di Cerro Torre ini, Maestri dan timnya
memilih rute tenggara untuk melakukan pemanjatan. Dan mereka berhasil. Akan tetapi yang menjadi objek
kontroversial terbesar dalam ekspedisi kedua Maestri ini adalah ‘persenjataan’
yang ia gunakan, Maestri membekali timnya dengan sebuah bor compressor
bertenaga bensin dengan bobot sekitar 135kg, ratusan bolt, ribuan meter fixe
roped, dan perlengkapan lainnya.
Tidak tangung-tanggung, sepanjang jalur
pendakian dari bawah sampai menjelang mushroom (bagian dimana jamur es yang
seringkali menyelimuti Puncak Cerro Torre berada), Maestri dan timnya menanam
sekitar 400 buah bolt ke permukaan tebing Cerro Torre.
Pada
pendakiannya kali ini, Maestri juga tidak mencapai puncak tertinggi Cerro Torre
yang ditutupi es, ia beralasan bahwa mushroom bukanlah bagian dari puncak
gunung. Dan
karena itu ia memutuskan untuk menghentikan pendakian tepat di bawah puncak dimana tepian jamur es
berada. Sementara untuk compressor yang dibawanya, digantung pada bolt tertinggi
jalur tersebut, dan kemudian ditinggalkan begitu saja. Dan atas alasan itu pulalah jalur pemanjatan ini kemudian lebih
dikenal dengan nama Rute
Kompresor atu Compressor Route.
Rute Compressor Maestri
segera menjadi kontroversial dan menuai lebih banyak lagi kritik daripada
keraguan first ascent yang diklaim Maestri pada tahun 1959. Penggunaan bor
tangan untuk memasang baut di permukaan
tebing yang tidak memiliki tempat perlindungan (tidak memiliki, lubang, crack
atau celah, atau apapun yang memungkinkan untuk dipasangi anchor berupa pitons,
camp, nut dan yang lainnya sebagai pengaman sementara yang dapat dilepas
kembali dengan mudah tanpa merusak permukaan tebing), memang secara umum telah
diterima dalam praktik mountaineering. Namun ini menjadi masalah serius dan
tampaknya keluar dari logika akal sehat jika menggunakan compressor seberat 135kg, jumlah baut yang berlebihan, dan
penempatan baut yang ditanam di areal
tebing yang sembarangan. Dalam artian
dekat dengan tempat untuk memasang alat proteksi sementara (piton, camp, nut,
dan lain-lain).
Menyikapi kejadian ini,
Mountain Magazine menerbitkan sebuah artikel
yang khusus membahas rute compressor Maestri dengan judul Cerro Torre: A Mountain Desecrated (Cerro Torre: Gunung Yang Ternoda). Reinhold Messner juga terdorong
untuk menulis sebuah esai serupa yang kemudian ia beri judul, The Murder of the Imposible. Werner
Herzog juga mengemukakan ekspresi kritiknya dengan membuat sebuah film
dramatisasi yang berjudul Scream of Stone
yang diterbitkan pada tahun 1991.
Hujan kritik yang
melanda Cesare Maestri ini benar-benar menjungkir balikkan reputasinya sebagai salah
satu alpinis besar Italia.
Sikap ‘unfair’ yang ia tunjukkan di Cerro Torre telah
mencoreng nama baiknya sepanjang masa. Bagi asumsi beberapa orang, apa yang
dilakukan oleh Maestri dengan mengebor sepanjang jalur tenggara ini adalah
bentuk dari ‘obsesi butanya’ akan penaklukan Cerro Torre. Yang secara
tidak langsung memberi kesimpulan lain bahwa klaimnya pada tahun 1959 dengan
jelas dapat dilihat bahwa puncak itu belum dapat ia capai. Dengan kata lain, fisrt
ascent yang ia klaim tak lebih dari sekedar bualan.
Cesare Maestri dan mesin compressor seberat 135kg yang ia tinggalkan di
tebing tenggara Cerro Torre. Obsesi dan semangat Maestri akan penaklukan Cerro Torre patut untuk
ditiru, namun tindakan tidak sportifnya dengan membawa sebuah compressor sama sekali
tidak bisa dimaklumi.
Sumber
foto: Google
Tahun 2015, Rolando
Garibotti (pendaki Argentina Amerika yang tahun 2005 bersama Ermanno Salvatera
dan Alessandro Beltrami memanjat Cerro Torre melalui jalur yang diklaim first
ascent oleh Maestri) bersama Kelly Cordes (editor senior dari American Alpine Journal) menulis sebuah
artikel yang menunjukkan bukti yang cukup konkret bahwa foto yang diambil oleh
Maestri tahun 1959, bukanlah di tebing Cerro Torre, namun di sebuah tempat yang
bernama Perfil de Indio. Dalam
artikel tersebut, Garibotti dan Cordes mendeskripsikan dengan sangat jelas
perbandingan antara foto yang diambil Maestri dan foto yang mereka ambil di Perfil di Indio. Kedua fotonya
memang nampak identik.
Selain itu artikel
tersebut dilengkapi pula dengan penandaan spot khusus yang memberi mereka
kesimpulan bahwa klaim Maestri adalah sebuah kebohongan. Dan lebih jauh Garibotti menulis,
bahwa kematian Toni Egger yang tubuhnya ditemukan tahun 1974, adalah ‘hutang’
Maestri untuk menjelaskan detail pristiwanya secara lebih jujur.
*
Kontroversi di menara
Patagonia ini tidak hanya berhenti pada nama Maestri saja, tahun 2010, pendaki muda blasteran Austria-Nepal bernama David Lama
juga menuai kecaman besar atas pendakiannya di Cerro Torre.
Tahun 2010, David Lama dengan ditemani oleh
beberapa guide diantaranya adalah Peter Ortner dan Markus Pucher, datang ke
Cerro Torre sebagai sebuah tim yang akan mencapai puncak. Misi ini sepenuhnya
berada dalam area yang disponsori oleh Red
Bull, sebuah brand besar dalam industri minuman berenergi. David Lama
sebagai brand ambassador sekaligus sebagai salah satu atlit utama Red Bull
dijadwalkan akan memanjat tebing Cerro Terro dengan teknis free climbing (free
climbing adalah jenis pemanjatan yang menggunakan peralatan hanya sebagai alat
pengaman jika terjadi jatuh, dalam teknis ini pengaman tidak dibenarkan jika
digunakan sebagai pegangan atau alat untuk menambah ketinggian).
Meskipun mencapai puncak
dengan sukses, namun pendakian David Lama dan tim Red Bull-nya ini menambah
sekitar 30 bolt baru di rute compressor, beberapa diantaranya dipasang tidak
jauh dari areal yang sebenarnya dapat digunakan sebagai anchor alami. Selain
itu, dikarenakan cuaca yang memburuk, sekitar 30-an
bolt baru itu, dan juga fixed rope ratusan meter, juga beberapa perlengkapan
lainnya, ditinggalkan begitu saja di dinding tebing Cerro Torre. Dan hal inilah kemudian
yang membuat geram beberapa pendaki dan komunitas yang perduli. Meskipun fixed
rope, bolt, dan beberapa peralatan lain bekas pendakian David Lama telah
disingkirkan oleh pendaki lokal, namun bukan bearti kecaman dan kritik untuk
tim itu selesai.
Salah satu yang paling
vokal mengkritik kejadian ini adalah Kelly Cordes. Cordes secara terang-terangan
mengirim email kepada pihak Red Bull dan mengutarakan keberatannya atas
tindakan mereka di Cerro Torre. Cordes mengibaratkan apa yang dilakukan tim Red
Bull di Cerro Torre adalah persis seperti yang dilakukan British Petroleum di Teluk Meksiko (BP mencemari laut dengan massif
saat kilangnya terbakar beberapa tahun lalu), yang hanya mengejar keuntungan
dan komersialisasi, tanpa memperdulikan dampaknya terhadap lingkungan. Lebih
jauh Cordes juga mengatakan bahwa perbuatan yang legal belum tentu adalah sebuah kebenaran. Memasang bolt dan
fixed rope di Cerro Torre saat melakukan pemanjatan tentu saja memang boleh,
tapi itu bukan sesuatu yang benar jika dilakukan tanpa mengindahkan kaidah dan
semangat alpinisime yang sejati.
Mendapat hujan kritik yang sedemikian rupa,
David Lama secara pribadi telah menyampaikan permohonan maaf dan penyesalan
yang dalam. Red
Bull sebagai pihak utama yang bertanggung jawab juga telah menyampaikan hal
yang sama. Namun menurut Kelly Cordes
lagi, permohonan maaf itu semestinya diikuti oleh langkah pasti untuk
memperbaikinya.
David Lama dalam pemanjatannya yang populer di Cerro Torre. Meskipun
seorang atlit muda yang sangat bersinar, aksi David Lama di Cerro Terro lebih
banyak menuai kritik.
Sumber foto: google
Tanggal 16 Januari
2012, terjadi hal menarik lainnya di Cerro Torre. Hari itu seorang pendaki
Amerika bernama Hayden Kennedy, ditemani oleh seorang pendaki Kanada bernama
Jason Kruk, membuat pendaian fair-means
pertama di tebing Cerro Torre melalui jalur yang tidak jauh dari rute
compressor. Fair-means adalah sebuah istilah yang disematkan untuk penggunaan
bolt yang masuk akal untuk keselamatan dan nilai estetika, sebuah praktik yang
memang sudah sejak lama dapat diterima dalam pendakian di pegunungan Patagonia. Dalam perjalanan turun
setelah mencapai Puncak Cerro Torre, Hayden dan Kruk melepas sekitar 125 bolt
di rute compressor. Aksi ini juga menuai banyak diskusi dan silang pendapat. Namun secara
umum Hayden dan Kruk dianggap telah membuat sebuah kontribusi yang nyata dalam
upaya mengembalikan jalur sisi tenggara Cerro Torre ke dalam ranah petualangan
yang murni.
Diantara sekian banyak
alpinis dan mountaineer yang mengkritik pristiwa-pristiwa yang terjadi di Cerro
Torre Patagonia, perumpamaan yang disampaikan Pavel Shabalin mungkin memiliki
kalimat yang paling menarik untuk kita simak. Shabalin adalah salah satu
alpinis besar dari Rusia yang secara khusus diminta oleh Christian Beckwith
(editor American Alpine Journal)
untuk menulis artikel yang khusus membahas tentang fenomena komersialisasi
dalam pendakian gunung modern. Dalam esainya yang berjudul Barbie in the Mountains, Pavel Shabalin menulis sebuah kalimat yang
cukup memukau, yang secara
bebas, kalimat Shabalin itu mungkin dapat kita terjemahkan sebagai berikut;
“Pendakian
gunung adalah sesuatu yang luar biasa dan sakral karena ia tertutup bagi
masyarakat luas. Dan sekarang mountaineering dan alpinisme menemukan dirinya
dalam situasi historis yang sama dengan cinta. Saat cinta itu berbentuk puisi,
maka ia menjadi sakral, tinggi, dan juga memiliki nilai yang luar biasa. Akan
tetapi ketika masyarakat meletakkan sebuah cinta di televisi, majalah, koran,
dan media massa lainnya, maka hal itu akan lebih banyak berubah menjadi
pornografi”
*
Dikutip dari buku DUNIA BATAS LANGIT halaman 234-246 karya Anton Sujarwo
Posting Komentar untuk "KEMATIAN DAN KEBOHONGAN FIRST ASCENT PUNCAK PATAGONIA"