BERTAHAN HIDUP DENGAN DUA KAKI YANG PATAH DI GUNUNG RAKSASA
|
The
Ogre adalah nama lain dari sebuah puncak besar di pegunungan Karakoram,
Pakistan. Nama sebenarnya dari
gunung ini adalah Baintha Brakk, berdiri dengan elevasi
7.285 meter, dan merupakan sebuah gunung yang juga menjadi latar dimana sebuah
kisah mountaineering yang luar biasa terjadi (meskipun tidak sepopuler Touching The Void). Jika Touching The Void
mengorbitkan nama Joe Simpson dan Simon Yates populer ke seluruh dunia menjadi mountaineer yang
terkenal. Maka kisah yang terjadi di The
Ogre ini melibatkan nama yang memang sudah terkenal dalam dunia alpine dan
mountaineering Inggris, bahkan dunia. Diantara enam orang yang menjadi tokoh
dalam legenda The Ogre, dua nama yang
utama adalah Doug Scott dan Chris Bonnington.
Doug Scott sendiri
sebagai ‘pemeran utama’ dalam The Ogre, adalah seorang
alpinis papan atas Inggris yang dikenal sebagai salah satu mountaineer terbesar
sepanjang sejarah. Ia adalah orang pertama yang mendaki Everest melalui sisi
tenggara pada tahun 1975 bernama Dougal Haston. Tahun
1979 Scott juga berhasil mencapai Puncak Kangchenjunga sebagai third ascent bersama timnya,
lagi-lagi dengan membuat rute baru. Masih ditahun 1979, Doug Scott juga
mencapai Puncak Nuptse melalui north face bersama Georges Bettembourg, Brian
Hall, dan Alan Rouse. Sementara ditahun-tahun setelahnya Scott tercatat juga
mencapai Nanga Parbat (1992), Shishapangma (1982), Chamlang Peak (1984), Targo
Ri (2000), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin untuk disebutkan semuanya
secara detail dan satu demi satu.
Di Everest, Doug Scott dan Dougal
Haston sempat membuat takjub dunia alpinis dengan menghabiskan malam beku dalam
sebuah bivak darurat 100 meter di bawah puncak utama, tanpa tabung oksigen,
tanpa sleeping bag, dan luarnya biasanya juga tanpa radang dingin dan
frostbite. Meskipun bukti itu sudah cukup untuk membuat nama Doug Scott sebagai
salah satu alpinis dengan stamina dan ketahanan yang luar biasa, namun kejadian
yang menimpanya di Baintha Brakk tahun 1977, memiliki komposisi
yang lebih kompleks untuk membuktikan
ketangguhan seorang Doug Scott.
Tahun 1977,
Doug Scott, Chris Bonnington, Mo Anthoine, Clive Rowland, Nick Estcourt, dan
Tut Braithwaite berangkat ke Pakistan guna mencoba mendaki Puncak Baintha
Brakk, sebuah puncak gunung yang sampai saat ini dapat dikatakan sebagai salah
satu puncak tinggi Karakoram yang sulit untuk didaki. Sebelumnya puncak Baintha Brakk
telah coba didaki pada tahun 1971 dan 1976, namun semuanya berakhir dengan
kegagalan.
Baintha Brakk
sendiri, adalah salah satu puncak Pegunungan Karakoram yang memerlukan lebih
banyak keterampilan teknis rock climbing dibandingkan pendakian gunung salju
dan es pada umumnya. Puncak-puncak yang ada disekitar tempat Baintha Brakk
berdiri, adalah puncak-puncak dengan gerigi-gerigi terjal yang menonjol tajam
dan curam, sehingga membuat permukaannya (terutama menjelang puncak) kadang
sama sekali terbebas dari adanya es dan salju. Kondisi ini tentu menjadi ‘taman
bermain’ yang sempurna untuk seorang pemanjat tebing. Namun berbeda ceritanya jika tempat
itu berada di ketinggian 6.000–7.000 meter.
Selain keterampilan rock climbing yang mumpuni, kemampuan
untuk bertahan dibawah cuaca ketinggian yang ekstrim adalah syarat lain yang
harus dipenuhi jika ingin bermain di Baintha Brakk atau The Ogre.
Pendakian tahun 1977
pada awalnya dibagi dalam dua tahap yang berbeda. Doug dan Tut lebih memilih South Pillar, sebuah tebing granit
setinggi lebih dari 1.000 meter yang sangat tidak mudah untuk didaki. Sementara
itu, empat anggota tim lainnya; Chris, Nick, Clive, dan Mo memilih rute
tenggara, yang dinilai lebih mudah, namun pada kenyataannya tidak kalah parah
dengan South Pillar. Belum begitu jauh ekspedisi dimulai, Doug terpaksa harus
segera membatalkan pendakiannya di South Pillar karena Tut terluka dihantam
rokc fall.
Namun di sisi tenggara, Chris Bonnington dan Nick Estcourt berhasil mencapai Puncak
bagian barat atau West Ogre dari Baintha Brakk (lebih rendah dari puncak utama
The Ogre), setelah menghabiskan lima hari tertahan diatas ketinggian 6.100
meter.
Setelah Puncak West
Ogre tercapai, keenam anggota ekspedisi ini kembali lagi ke base camp. Nick dan Tut
memutuskan untuk beristiahat di base camp, sementara empat pendaki lainnya
kembali lagi ke tebing untuk mencoba mencapai
puncak utama. Empat
orang pendaki Inggris ini akhirya kembali mencapai West Ogre untuk yang kedua
kalinya. Mereka
kemudian mendirikan sebuah camp berupa goa salju yang dibuat di punggungan
(col) yang menghubungkan antara West Ogre dan Main Ogre (puncak utama). Camp
ini berada pada ketinggian 7.000 meter, dan ini adalah camp tertinggi ekspedisi
itu.
Dari camp ini, puncak utama
masih berjarak 250 meter lagi, dan itu adalah bagian paling sulit, dimana
tebing granit nyaris tegak lurus menghadang langkah kaki mereka. Diputuskan
kemudian yang akan melanjutkan pendakian ke puncak utama The Ogre adalah Doug
Scott dan Chris Bonnington, karena diakui
atau tidak, keduanya adalah yang paling berpengalaman dan berkompeten dalam tim
tersebut. Keputusan seperti ini juga dibuat pada dasarnya merupakan hasil
musyawarah dari kesemua anggota tim, bukan dominasi atau perintah seseorang. Karena sedari awal tim
itu sudah menyepakati untuk mendaki tanpa ada yang harus menjadi pemimpin atau
leader, dan semua keputusan dibuat berdasarkan suara kolektif.
Doug dan Chris memanjat
tebing menuju puncak utama dengan lancar, meskipun dalam wawancaranya Doug Scott
tidak dapat mendefinisikan tingkat kesulitan dari tebing terakhir Puncak The
Ogre tersebut. Namun kombinasi tebing granit vertikal dan letaknya yang berada diketinggian (diatas
7.000 meter) sudah lebih dari cukup untuk memberi kita penjelasan bahwa pendakian
itu sangat tidak mudah.
Tanggal 13 Juli 1977,
ketika matahari sudah terbenam, Doug Scott dan Chris Bonnington akhirnya berhasil mencapai Puncak
The Ogre sebagai first ascent. Dan karena cahaya matahari perlahan semakin
berkurang, kedua pendaki itu tahu mereka segera harus turun sebelum keadaan
benar-benar berubah menjadi gelap gulita. Dan dalam proses rappelling itu, baru
satu picth berjalan, Doug secara tak sengaja telah mematahkan pergelangan
kakinya saat berayun dari tali sepanjang 30 meter. Saat coba mendorong kaki
kanannya ke permukaan tebing, Doug merasakan sakit yang luar biasa. Kemudian dia juga
mencoba mendorong kaki kirinya, dan itu juga berakhir dengan rasa sakit yang
sama. Atas
dasar itu, Doug menyadari bahwa kedua kakinya telah patah.
Saat itu posisi Doug
dan Chris belum begitu jauh dari puncak, masih butuh lebih dari 200 meter
sebelum mereka bisa mencapai camp dimana Mo Anthoine dan Clive Rowland menunggu
mereka. Sedangkan untuk mencapai base camp, dibutuhkan turun lebih kurang 2.000
meter lagi, dan Doug menyadari itu pasti
tak akan mudah.
Meskipun
demikian ia tak pernah kehilangan semangat dan rasa optimis, dalam sebuah
wawancara Doug menjelaskan keyakinannya saat itu;
“Tidak ada rasa takut sama sekali, hanya antisipasi. Saya tidak memiliki
keraguan sedikitpun bahwa saya akan mampu turun, hanya saja saya tidak tahu
bagaimana cara melakukannya..”
Pada titik ini,
beberapa komentator banyak memberikan perbandingan kontardiksi yang signifikan
antara sosok Doug Scott dan Joe Simpson (Touching
The Void, yang telah dibahas sebelumnya). Ketika kakinya patah, reaksi
pertama yang muncul dari seorang Doug Scott adalah optimis, ia sama sekali tak
menganggap bahwa petualangannya telah tamat karena hal itu. Fokusnya adalah
ia akan mampu turun
dengan selamat, entah bagaimanapun caranya. Sementara dibilik lain,
kita
menemukan reaksi yang berbeda dari sosok Joe Simpson (jika membaca bukunya
secara lengkap) ketika menememukan kaki kanannya patah, Joe langsung merasa
frustasi tingkat tinggi, merasa bahwa kehidupannya akan segera berakhir di
Siula Grande.
Jika dilihat lebih
lanjut, posisi kaki yang patah mungkin juga mempengaruhi reaksi kedua survivor
ini. Sebuah proses rappelling
membutuhkan kedua kaki atau satu kaki sebagai dorongan yang ditekan ke permukaan
tebing untuk menghasilkan gaya dan gerakan.
Doug yang kedua pergelangan kakinya patah, dapat mengatasi situasi ini dengan
berimprovisasi menggunakan lututnya yang masih utuh. Dipihak lain, Joe Simpson
mematahkan tulang tungkai kaki hingga tempurung lututnya, sehingga secara teori
ia hanya mampu bergerak dengan bantuan belay dari Simon Yates. Meskipun
demikian, tak perlu keterangan lebih banyak lagi untuk membayangkan bagaimana
kedua orang itu merasakan kesakitan yang parah pada proses turun yang mereka lakukan.
Doug Scott dan Chris
Bonnington tidak dapat turun lebih jauh lagi malam itu, mereka dipaksa untuk
bermalam dalam bivak terbuka di sebuah lereng yang cukup curam. Keesokan
harinya, begitu semburat cahaya fajar keluar dan langkah pada permukaan tebing
sudah cukup jelas, keduanya segera beranjak untuk turun ke goa salju dimana
Clive dan Mo menunggu mereka dengan gelisah. Sesampainya di goa salju tempat
Clive dan Mo bermalam,
keempat pendaki itu berbagi makanan beku terakhir yang mereka miliki dan merencanakan
untuk turun ke base camp dimana Nick dan Tut yang tak kalah gusar menunggu
mereka turun. Akan tetapi perjalanan turun hari itu terpaksa ditunda, sebuah
badai yang sangat kencang membutakan pandangan, membuat keempat orang itu
terpaksa harus melewati satu malam lagi di goa salju diatas ketinggian 7.000
meter.
Merupakan sebuah hal
yang mengagumkan ketika kita melihat reaksi demi reaksi yang ditunjukkan Doug
dalam menghadapi situasi hidup mati seperti itu. Ia seolah selalu menemukan
secercah titik positif dimana ia bisa mengutarakan pendapatnya. Padahal saat itu yang
bisa Doug lakukan adalah merangkak untuk dapat bergerak.
Doug Scott berusaha menuruni tebing curam Baintha Brakk dengan merangkak
karena kedua kakinya yang patah, Chris Bonington yang juga terluka dengan dua
tulang rusuk cidera berjalan tertatih-tatih didepannya
Sumber foto: google
“Hal itu tidak masalah bagi saya karena saya hanya mematahkan kedua
pergelangan kaki saya. Jika yang saya patahkan adalah tulang paha, maka tak
diragukan lagi, sampai sekarang saya akan tetap tinggal disana”
Untuk dapat turun ke
base camp, terlebih dahulu keempat pendaki itu harus naik ke West Ogre, dan itu
tentu semakin tidak mudah ditengah kelelahan, cidera, kehabisan makanan, dan
juga amukan badai. Akan tetapi beberapa komentar positif yang ditunjukkan Doug
Scott benar-benar nampak sebagai suatu hal yang aneh
bagi beberapa orang yang mungkin telah membaca kisah survival Joe
Simpson dalam Touching The Void.
Simpson dalam bukunya,
melukiskan penderitaan, sekarat kematian, dan kesengsaraan yang luar biasa saat
merangkak tiga hari lamanya menyeberangi gletser Siula Grande menuju base camp
mereka. Sedangkan Doug
melukiskan dengan emosi ‘seolah
gembira’ perjalanan hampir mati pitch demi pitch yang ia turuni di Baintha
Brakk. Namun hal ini tentu dapat dijelaskan
juga dengan
kenyataan bahwa Joe Simpson saat itu berada dalam kondisi seorang diri, sudah
disangka mati, dan cidera kaki yang lebih parah (bukan berarti cidera kaki Doug
Scott tidak parah). Kesepian, kesendirian, disangka sudah mati, dan terisolasinya lokasi membuat
semangat dan harapan yang ada dalam diri Joe Simpson lebih cepat untuk memudar,
walaupun
pada akhirnya ia mampu selamat.
Doug Scott, mungkin
memiliki kondisi yang lebih beruntung (kata beruntung tidak cukup tepat
sebenarnya untuk menggambarkan kedua kaki yang patah dan harus turun dari
gunung setinggi 7.000 meter ditengah badai dan tebing vertikal yang curam). Bagaimana pun juga Doug
masih dikelilingi oleh teman-temannya (Chris Bonnington, Clive Rowland, Mo
Anthoine) yang meskipun tak kalah sengsara, masih tetap sehat. Hadirnya ketiga
teman-teman yang ada disekeliling Doug paling tidak memberi ia support (berupa
bantuan fisik langsung maupun bantuan semangat psikologis) dan harapan untuk
bertahan hidup lebih banyak daripada Joe Simpson saat itu.
Butuh waktu tujuh hari
bagi Doug dan teman-temannya untuk dapat turun ke base camp, dan rata-rata
semuanya dalam kondisi cuaca yang buruk. Dalam perjalanan ini, Chris Bonnington
juga mengalami celaka saat jatuh dan mematahkan dua tulang rusuknya, dan ia
juga terserang pneumonia (pneumonia
adalah penyakit infeksi pada paru paru, membuat penderitanya susah bernapas,
batuk, dan juga demam).
Perjalanan turun ini
lebih banyak dilakukan Doug dengan merangkak, bahkan di medan salju yang tebal
kadang-kadang ia menjadi
yang paling depan membuat jalan. Hal yang tersulit ketika tim ini sudah
mencapai areal berbatu, dimana batu-batu tajam dan runcing membuat kegiatan merangkak terasa sangat
menyakitkan. Doug memakai empat lapis pakaian untuk menutupi lututnya, namun itu tak membuat lututnya luput dari luka dan
berdarah.
Mo Anthoine tiba di
base camp lebih dulu, namun ia menemukan Tut Braithwaite dan Nick Estcourt
telah tidak ada lagi disana. Dalam catatan yang ditinggalkan oleh Tut dan Nick,
mereka mengatakan bahwa mereka telah pergi pagi itu, karena berasumsi bahwa
mereka (Doug, Chris, Mo, dan Clive) telah tewas di Baintha Brakk, setelah tujuh
hari ditunggu tidak kunjung kembali. Mo kemudian juga berangkat mencoba mengejar Nick dan
Tut sebelum mencapai perkampungan dan mengabarkan berita yang keliru kepada
keluarga
mereka tentang asumsi bahwa rekan-rekannya telah tewas.
Saat Doug, Chris, dan
Clive sampai di base camp, mereka menemukan dua catatan. Catatan pertama
dari Nick dan Tut, dan yang kedua dari Mo. Secara teknis isinya sama,
mereka terpaksa meninggalkan base camp
lebih dulu. Nick dan Tut telah pergi karena menyangka mereka telah mati,
sementara Mo menyusul mereka untuk mengabarkan secepatnya berita yang lebih baik.
Kisah seperti yang
dialami Doug Scott dan Joe Simpson adalah gambaran kemampuan tubuh manusia yang
mampu bertahan dalam kondisi yang buruk diatas ketinggian gunung yang
mematikan. Dimana kebanyakan
dari kita mungkin akan segera meringkuk dan menemui ajal jauh sebelum mencapai
base camp. Karena itulah mengapa kisah seperti Touching The Void dan The
Ogre menjadi terasa demikian istimewa.
Dikutip
dari buku DUNIA BATAS LANGIT halaman 217-226 karya Anton Sujarwo.
Informasi
kontak dan pemesanan pre order buku DUNIA BATAS LANGIT:
WA:
081254355648
IG
dan BL : arcopodostore
Posting Komentar untuk "BERTAHAN HIDUP DENGAN DUA KAKI YANG PATAH DI GUNUNG RAKSASA"