APAKAH SAYA TELAH MELAKUKAN PLAGIAT?
Bismillahirrohmannirrohim...
Beberapa
hari terakhir saya sering memposting status di akun facebook saya dengan
mengutip draff buku yang saya tulis sendiri. Buku ini adalah bagian dari buku
yang akan saya terbitkan pada bulan Agustus mendatang (Insya Allah). Temanya
masih tentang mountaineering.
Dan
keseluruhan draff buku yang sudah selesai saya tulis panjangnya kira-kira 1200
halaman ukuran kertas 14 x 21 cm. Karena terlalu panjang untuk diterbitkan
dalam satu buku, maka Insya Allah akan dibagi dalam tiga bagian dengan judul
yang berbeda, namun tema pokoknya sama.
Buku
ini membahas tentang para pendaki terbaik dunia yang tewas diatas gunung. Ide
dasarnya saya peroleh saat menulis buku Mahkota Himalaya dan Dunia Batas Langit
yang telah dirilis lebih dulu. Selain menarik untuk ditulis, tema ini saya
nilai juga memiliki berbagai inspirasi dan motivasi didalamnya, yang pada
akhirnya mudah-mudahan mampu sedikit memberi warna dan stimulan pada dunia
mountaineering di Indonesia.
Lebih
dari 100 nama kemudian yang berhasil saya himpun sebagai kerangka awal dari
buku tersebut. Untuk membuatnya lebih ringkas, saya kemudian menyeleksi
nama-nama tersebut. Beberapa nama yang saya nilai tidak signifikan, saya
sisihkan. Setelah disortir secara ketat kemudian saya memperoleh hampir 60 nama
para pendaki gunung terbaik yang menjadi pokok inti dari buku yang akan
ditulis.
Untuk
mendapatkan sebuah kisah yang utuh dari seorang pendaki (disini saya ambil
contohnya Jerzy Kukuczka dari Polandia), saya harus mencari sumbernya kesana
kemari. Tentu hampir 95% sumber tersebut saya peroleh dari internet. Karena
jika memaksakan sumbernya dari buku yang ada di Indonesia misalnya, maka ini
akan sangat minim. Kita tahu sendiri, buku tentang mountaineering untuk
pembahasan global sangat terbatas yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia. Bahkan saya yakin banyak para pendaki gunung tanah air yang mungkin
saja tidak tahu siapa itu Kukuczka, Paul Preuss, Jean Lafaille, Gaston Rebuffat
dan lain sebagainya. Padahal sama halnya dengan Machiavelli, Plato, Socrates
dan lainnya dalam dunia politik, nama-nama itu juga memiliki pengaruh kuat
dalam dunia mountaineering terkait aksi dan pemikiran mereka.
Dan
setahu saya, belum ada juga penulis lokal yang secara spesifik membahas dunia
pendakian gunung global. Jadi secara umum, memang internet adalah satu-satunya
jalan yang paling efisien dan efektif sebagai sumbernya.
Kembali
kepada contoh sebelumnya, guna memahami konsep utuh tentang pendakian Jurek
(panggilan Jerzy Kukuczka), saya setidaknya harus membaca sumber-sumber berikut
secara leseluruhan:
- · https://en.wikipedia.org/wiki/Jerzy_Kukuczka
- · http://winterclimb.com/climbing-base/item/3-jerzy-kukuczka
- · https://www.upi.com/Archives/1989/10/26/Famed-Polish-climber-dies-in-accident/6601625377600/
- · http://everestbookreport.blogspot.co.id/2011/03/my-vertical-world-by-jerzy-kukuczka.html
- · https://www.quora.com/Who-are-the-greatest-mountaineers-of-all-time-Where-does-Jerzy-Kukuczka-feature-in-that-list
- · https://www.alpinejournal.org.uk/Contents/Contents_1990-91_files/AJ%201990%2032-34%20Doubrawa-Cochlin%20Kukuczka.pdf
- · http://www.portalgorski.pl/nowosci/wspinanie/gory-wysokie/2902-ostatnia-taka-sciana-lhotse-1989
- · http://cosmopolitanreview.com/kukuczka/
- · https://en.wikipedia.org/wiki/Shishapangma
- · https://en.wikipedia.org/wiki/Reinhold_Messner
- · https://en.wikipedia.org/wiki/Cho_Oyu
- · http://altitudepakistan.blogspot.co.id/2013/07/artur-hajzers-amazing-life.html
- · https://en.wikipedia.org/wiki/Lhotse
Setelah
memperoleh kisah garis besar tentang Jurek secara lengkap, terutama mengenai
pendakiannya yang berujung pada kematian, juga pendakian signifikannya yang lain.
Saya kemudian merumuskan sebuah konsep tulisan yang lebih familiar dan akrab
dengan pembaca tanah air. Umumnya setiap tulisan saya bagi dalam tiga bagian
besar yaitu profil, pendakian signifikan, dan pendakian terakhir yang kemudian
berujung pada tewasnya sang pendaki itu (dalam contoh ini adalah Jurek).
Jika
dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Jurek tewas karena terjatuh di Dinding
Selatan Gunung Lhotse saat sedang berupaya menciptakan rute fisrt ascent
ditempat itu bersama Ryszard Pawlowski karena tali bekas yang ia gunakan
terputus. Maka saya kemudian harus mendeskripsikan itu secara detail dengan
mencari pula sumber yang mengungkapkan garis pendakian yang ia lakukan di
Lhotse, berapa ketinggian ia terjatuh, mengapa talinya bisa putus, berapa
ukuran tali itu hingga ia putus, dan lain sebagainya. Bahkan saya juga kadang
menggunakan google map untuk dapat menambah imajinasi saya bahwa sebenarnya
dimana Jurek terjatuh, dan over hang mana yang sedang ia panjat saat itu.
Dan
ini mungkin adalah bagian yang perlu digaris bawahi; Bahwa untuk membuat
penceritaan lebih menarik dan lebih mudah untuk difahami pembaca yang memiliki
keragaman latar belakang, saya kemudian menambahkan beberapa point berdasarkan
imajinasi saya dalam mencernai dan melihat layar cerita yang disampaikan oleh
sumber.
Namun
saya menjamin bahwa penambahan ini sama sekali tidak akan mengubah,
membelokkan, atau mengaburkan alur cerita sebenarnya yang saya rumuskan dari
berbagai sumber tersebut. Penambahan ini sifatnya hanya deskripsi, sub detail
dan daya tarik. Dan pada banyak kisahnya, umumnya saya menambahkan dialog yang
terjadi dalam cerita tersebut. Dialog tersebut sifatnya untuk memperkuat kesan
dari data yang disampaikan oleh sumber. Sehingga tercipta pemahaman yang
konkret dan utuh dari pembaca, selain tentu saja membuat jalan ceritanya
menjadi lebih dramatis.
Misalnya
ambil contoh lagi tentang salah satu penulisan sumber yang mengatakan: Sebelum
melakukan upaya pemuncakan ke Puncak Makalu, Jean Christophe Lafaille sempat
menelpon isterinya di Perancis. Lafaille mengatakan bahwa ia kesal karena alarm
pada gelang ditangannya tidak berbunyi hingga ia terlambat dari jadwal, dan
berjanji akan menelpon Katia (isterinya) lagi setelah ia mencapai Frenc Couloir.
Dalam penjabarannya pada buku yang
saya tulis, saya mendeskripsikan semua ini dalam drama percakapan telepon yang
dilakukan oleh Lafaille dan Katia. Semua keterangan yang disebutkan sumber
dalam kalimat tersebut, kemudian saya imajinasikan, saya lukiskan kembali dalam
sebuah penjelasan berupa dialog.
Saya
gambarkan kira-kira bagaimana seorang pendaki berpengalaman yang konsisten dan
penuh pencapaian merasa kesal karena alarm ditangannya tidak berfungsi sehingga
jadwalnya jadi kacau. Saya gambarkan kira-kira bagaimana pula seorang suami
yang sedang berusaha mencapai puncak gunung tertinggi kelima di dunia pada
musim dingin secara solo berbicara kepada isterinya melalui telepon menjelang
hari pemuncakan yang telah ia tunggu hampir selama dua bulan. Saya perkirakan
apakah pendaki seperti itu akan bertanya tentang kondisi anak mereka di rumah.
Saya kemudian juga mengimajinasikan prihal sang isteri, kira-kira apa yang akan
ia sampaikan kepada suaminya menjelang saat yang menentukan tersebut. Apakah ia
khawatir, apakah ia mendorong dan memberi semangat dan semacamnya.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa
penambahasan unsur fiksi dalam kisah-kisah yang saya angkat ini hanya bersifat
deskriptif alias penjelasan, sama sekali tidak bersifat data yang berdiri
sebagai tonggak bagian utama cerita semacam statistik, demografis atau data
unsur utama lainnya.
Melihat gaya bercerita semacam
ini saya kemudian menemukan benang merah yang memiliki persamaan dengan buku
(misalnya) Strategi Hideyoshi karya Tim Clark dan Mark Cunningham. Tokoh
Jiro, Gensuke, Gonzaemon, percakapan yang terjadi diantara mereka, sekolah dan
puri tempat mereka belajar, semua adalah berdasar pada imajinasi sang penulis
untuk menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang kemudian dilekatkan kepada tokoh
utama yang diceritakan, yaitu Toyotomi Hideyoshi. Artinya percakapannya adalah
fiksi, namun pesannya realitas. Bahwa nama lakonnya adalah fiksi, namun sifat
yang diajarkan, nilai yang disampaikan, makna hidup yang dituturkan adalah
sebuah realitas yang merupakan ciri pribadi besar seorang Hideyoshi, sang
pemersatu Jepang.
Lalu kita ambil lagi benang
merah dari buku lain, misalnya Jengis Khan karya penulis besar Inggris,
John Mann. Ada banyak dialog dalam buku tersebut, ada banyak asumsi dalam buku
tersebut yang didasarkan pada imajinasi dan logika seorang John Mann. Namun
tentu sebagai penulis dengan reputasi internasional beliau juga tetap menjaga
bahwa semua asumsinya, semua imajinasinya untuk menggambarkan seorang penguasa
abad pertengahan dari Mongol bernama Jengis Khan disandarkan pada sumber-sumber
ia jadikan referensi mahakaryanya tersebut.
Dengan memperhatikan cara
penulisan yang saya lakukan untuk buku saya yang Insya Allah akan terbit bulan
Agustus 2019 ini nanti (jilid pertama). Dengan melihat saya menyusul
puzzle-puzzle dari berbagai sumber untuk mendapatkan sebuah konsep kisah yang
utuh dan dapat diceritakan sesuai dengan gaya membaca di tanah air. Dengan melihat
bahwa saya telah memasukkan unsur imajinasi saya sendiri untuk memperkuat pesan
dan kesan cerita didalamnya tanpa membelokkan, mengubah atau mengaburkan fakta
yang bersifat tiang-tiang dalam cerita itu sendiri. Maka pertanyaan saya
adalah; apakah saya telah melakukan pelanggaran plagiarisme? Apakah saya telah
melakukan sebuah tindakan penjiplakan? Jika ia maka sumber mana yang saya
jiplak, mengingat ada banyak sumber yang saya gunakan untuk dapat merumuskan
konsep cerita sebelum dapat memulai penulisan secara menyeluruh?
Jika kemudian ini disebut
penyaduran, maka kemudian pertanyaan juga sama. Sumber mana yang saya sadur,
mengingat sumber adalah potongan-potongan lego yang harus saya kumpulkan, saya
analisa terlebih dahulu, sebelum dapat dibentuk sebuah kerangka cerita yang
tepat dan otentik? Karena dalam pengetahuan saya yang terbatas, umumnya
penyaduran hanya bersumber pada satu tulisan utama.
Kemudian jika metode penulisan
saya ini disebut sebagai sebuah kesalahan, maka apakah saya telah berada
dibelakang nama-nama besar seperti John Mann, Mark Cunningham, Tom Clark dan
penulis lainnya karena mungkin metode pengumpulan dan penceritaanya memiliki
kesamaan?
Terus terang saya membutuhkan
bimbingan untuk dapat menulis dengan baik dan benar, tentu saja. Karena saya
sendiri belajar menulis secara otodidak, secara mandiri, pelajaran Bahasa
Indonesia yang saya terima terakhir kali adalah saat berumur delapan belas
tahun, ketika saya kelas tiga Madrasah Aliyah di Bengkulu. Dan itu sekaligus
adalah pendidikan formal terakhir yang saya tempuh.
Saya sungguh menghargai kritik.
Kritik yang jujur selalu akan membawa perbaikan jika disikapi dengan bijak. Berbeda
dengan pujian yang kadang malah dapat menjerumuskan kedalam kealpaan dan
kelenaan. Namun meskipun saya suka kritik, saya sama sekali tidak senang
berdebat, apalagi di sosial media. Perdebatan kadang lebih banyak menguras
emosi dan waktu. Alih-alih mencapai mufakat yang membawa manfaat.
Demikian saya menjelaskan ini
untuk menjawab salah satu kritik yang berkomentar tentang mengapa saya tidak
mencantumkan sumber dalam beberapa status saya di timeline akun facebook saya
yang status tersebut adalah kutipan dari draff buku yang sudah saya tulis. Dan sekarang
dalam proses penerbitan.
Semoga penjelasan ini dapat
membantu.
Informasi
kontak dan pemesanan pre order buku Maut di Gunung Terakhir:
WA:
081254355648
IG
dan BL : arcopodostore
Posting Komentar untuk "APAKAH SAYA TELAH MELAKUKAN PLAGIAT?"