MEREKA PRIBADI YANG TANGGUH
Mas Chrisna melewati Jembatan Setan Gunung Merbabu pada perjalanan MMA Trail sebelum memasuki bulan Ramadhan tempo hari.(foto: Ryan Hidayat)
Orang-orang menyebutnya sebagai Jembatan Setan, salah satu titik
paling berbahaya dan berisiko untuk dilewati pada pendakian Gunung Merbabu. Jembatan
Setan adalah lintasan traversing sepanjang sekitar lima meter dengan bagian
sisi kanannya adalah tebing, yang walaupun tidak begitu dalam, namun tetap
harus dilalui dengan sangat hati-hati.
Bagi para
pendaki Gunung Merbabu yang mendaki melalui rute Selo atau Suwanting, mereka
tidak akan menemui Jembatan Setan. Itu karena
rute eksotis dan indah ini adalah bagian perjalanan menuju puncak Merbabu yang dimiliki
oleh rute pendakian yang berada pada bagian sisi utara gunung. Dalam hal ini,
jalur pendakian Wekas, jalur pendakian Kopeng Thekelan, jalur pendakian Cunthel
dapat berbangga hati karena memiliki spot yang bernama Jembatan Setan ini.
Sebelumnya tidak
ada tali yang terpasang sebagai pegangan saat melewati Jembatan Setan. Para
pendaki yang traversing diatasnya harus mencengkram batu-batu sebagai pegangan.
Namun sekarang seutas tali yang kuat
telah terpasang untuk membantu para pendaki melewati tempat ini, dan ini sangat
mempermudah prosesnya. Walau pada sisi yang lain, kita telah melihat pula
berkurangnya nilai orisinalitas yang sebelumnya dihadirkan secara utuh oleh
Jembatan Setan Gunung Merbabu ini.
Pada perjalanan
MMA Trail tempo hari, kami melewati Jembatan Setan ini dengan mudah. Meskipun
harus bergantian dan satu persatu, tapi secara umum tak ada kendala bagi saya,
mas Chrisna, dan mas Ryan untuk melewatinya. Kejadian tak terduga justru
terjadi ketika kami sudah beberapa saat meninggalkan tempat yang indah itu.
Selepas melewati bagian
pangkal dari puncak Syarif, kabut turun dengan pekat memenuhi udara. Semua
memutih, tertutup oleh kabut yang tiba-tiba datang dan membuat pemandangan
indah yang sebelumnya terhampar luas, kini tak lebih dari tirai uap yang tebal.
Saya berjalan paling depan, disusul oleh mas Chrisna dan mas Ryan. Jarak
antara saya dan mas Chrisna mungkin sekitar 50 meter kurang lebih. Sementara
mas Chrisna dan mas Ryan berjalan beriringan.
Tiba disebuah
punggungan yang agak nyaman untuk tempat istirahat, saya meletakkan ransel warna
biru tosca tipe Ceeta 50 + 5 yang merupakan salah satu produk terbaru dari
brand Akasaka. Di tempat itu saya memutuskan untuk menunggu mas Ryan dan mas
Chrisna, untuk kemudian melanjutkan kembali perjalanan menuju Base Camp Wekas
yang menjadi target perjalanan kami pada hari ketiga MMA Trail tersebut.
Hampir lima belas
menit kemudian baru saya melihat sosok mas Chrisna muncul dari balik rimbunan
kabut pada sebuah sadel yang menghubungkan punggungan Puncak Syarif menuju
tempat dimana saya beristirahat. Beberapa saat kemudian mas Chrisna juga sudah
sampai ditempat saya duduk, dan meletakkan pula ransel Akasaka Ceeta 50 + 5 warna
merah yang menempel dipunggungnya.
“Mana mas
Ryan?” tanya saya setelah mas Chrisna minum beberapa teguk air dari botol
merah transparan yang ia ambil dari samping ranselnya.
“Dibelakang...” jawabnya
sambil mengatur napas yang memburu karena kelelahan.
Sambil menunggu
kedatangan mas Ryan, saya dan mas Chrisna mengobrol membahas perjalanan yang
telah kami lewati sejauh ini.
Lima belas
menit berlalu, namun belum ada tanda-tanda mas Ryan terihat pada sadel
punggungan, sementara itu kabut kian pekat saja. Jika sesaat ada jendela kabut
tersibak saya memanfaatkan sebaik mungkin itu melihat posisi mas Ryan. Namun
sejauh ini fotografer perjalanan pembuatan rute MMA Trail itu belum juga
terlihat.
Dua puluh menit selanjutnya
berlalu lagi, dan masih juga belum ada tanda-tanda ataupun suaranya. Terus
terang ini membuat saya mulai dihinggapi rasa agak khawatir. Kondisi kabut yang tebal, jalanan berbatu
yang terjal menghadirkan berbagai pikiran skenario buruk yang bisa saja terjadi
pada mas Ryan.
Suara saya dan
mas Chrisna mulai menggema diseantero sadel antara Puncak Syarif dan punggungan
dimana kami beristirahat. Tak ada jawaban sama sekali. Kami berteriak
memanggil, meniup peluit yang memang sudah built in pada strap dada
ransel Akasaka Ceeta yang masing-masing kami kenakan. Dan hasilnya tetap saja,
tidak ada sahutan ataupun suara peluit balik dari Mas Ryan.
Hal ini semakin
membuat beberapa kekhawatiran yang terbersit dalam pikiran berlanjut.
Jangan-jangan mas Ryan terjatuh dan dia tidak bisa berteriak meminta tolong? Jangan-jangan
mas Ryan tidak bisa menyahuti panggilan kami karena dia pingsan karena
tergelincir kemudian menghamtam batu-batu yang cadas dan tajam itu? Atau
jangan-jangan ia salah memilih jalan turun? Atau ada apa sebenarnya yang telah
terjadi?
“Saya susul mas
Ryan ke atas mas ya, mas Chrisna tunggu disini saja...” ujar saya
kemudian sambil bersiap-siap untuk mendaki lagi ke arah persimpangan Puncak
Syarif, dimana mas Chrisna terakhir kali berjalan beriringan dengan mas Ryan.
Namun sebelum
saya benar-benar berangkat menyusul, saya dan mas Chrisna masih menyempatkan diri
untuk berteriak memanggil beberapa kali lagi.
“Mas Ryaaan!!!”
“Yaaan..!!!”
Dan sesaat
kemudian terdengar suara balasan dari atas sadel punggungan.
“Ndisek’0!!!”
‘Ndisek’o’ adalah kosa
kata bahasa jawa yang artinya ‘duluan saja!’.
Sialan! pikir
saya dalam hati. Apa mas Ryan tidak tahu saya dan mas Chrisna sempat sangat
mengkhawatirkannya barusan. Namun Allhamdulillah, tidak ada hal yang buruk
terjadi padanya, seperti yang sempat terlintas dalam benak saya. Dan itu adalah
yang terpenting.
“Darimana?
Kenapa kok nggak jawab dipanggil-panggil?” tanya saya dan mas Chrisna begitu
mas Ryan sampai ditempat kami yang menunggunya.
Mas Ryan
tersenyum cengengesan sambil duduk diatas sebuah batu.
“Nggak apa-apa,
saya tadi naik dan ambil foto di Puncak Syarif..” katanya
kemudian.
“Kok nggak
jawab dipanggil-panggil?”
“Nggak apa-apa.
Males aja”
Jangkrik dah!
Ini anak nggak tau apa jika orang mengkhawatirkan dia. Jawabannya ngeri-ngeri
sedap lagi. Namun demikianlah mas Ryan, salah satu pendaki gunung dan petualang
yang saya kenal, dan saya pikir memiliki banyak bakat bagus. Hanya saja untuk
beberapa hal ia tentu masih harus banyak belajar guna mengalahkan perasaan, ego,
dan emosi dalam dirinya sendiri.
Saya sempat
agak jengkel dan ‘memarahinya’ dengan keputusannya untuk tidak menyahut
panggilan saya dan mas Chrisna. Dan setelah menyadari kesalahannya, mas Ryan
segera meminta maaf. Dan ini adalah salah satu sikap dan hal yang saya kagumi
pada para petualang muda seperti mas Ryan dan mas Chrisna ini. mereka dengan
cepat meminta maaf jika merasa membuat kesalahan. Walau pada beberapa
kesempatan, justru sebenarnya tidak ada kesalahan yang mereka lakukan.
Sekitar lima
belas menit setelah itu, kami kembali melanjutkan perjalanan. Saya sekarang
berada di tengah, mas Ryan didepan, dan mas Chrisna di belakang.
Pada punggungan
menjelang bertemunya antara rute Wekas dan rute Thekelan terdapat beberapa
cabang jalan setapak kecil ke kiri dan ke kanan. Jalan-jalan setapak kecil ini
adalah jalan yang digunakan para pendaki untuk menuju sumber air atau menuju
kawah-kawah belerang kecil yang ada ditempat itu.
Pada sebuah
turunan yang tidak terlalu curam selepas punggungan dimana sebuah tenda milik
satu-satunya tim pendaki yang kami temui dari Wekas berdiri. Saya dan mas Ryan
duduk-duduk mengobrol sambil menunggu mas Chrisna yang seharusnya datang
belakangan. Namun entah mengapa setelah seperempat jam kemudian, sosok mas
Chrisna juga tak kunjung muncul. Padahal saat terakhir melihatnya, saya memastikan
mas Chrisna hanya berjarak sekitar 35 meter dibelakang saya.
“Mas Chrisnaaa!!!”
“Kaaang!!!”
Dan seperti mas
Ryan sebelumnya, ini juga sama sekali tidak ada sahutan.
Saya mengulang
kembali drama sebelumnya, memanggil, berteriak dan meniup peluit. Jika
sebelumnya yang menjadi objek panggilan dan teriakan adalah mas Ryan, maka
sekarang objeknya berganti menjadi mas Chrisna. Dan bagaimanapun respon
keduanya juga sama, sepi dan hening. Hanya ada kabut berarak diantara tiupan
angin Merbabu yang lengang.
“Biar saya
susul ke atas Bang...” usul mas Ryan yang meletakkan ranselnya dan langsung naik lagi ke
punggungan tebing setengah berlari.
Kali ini saya
sendiri lagi menghabiskan waktu menunggu dua petualang muda itu. Cukup lama
juga saya duduk dan menantikan mereka sampai kemudian saya merasa bosan dan
memutuskan untuk ikut menyusul. Ketika saya menyusul dan nyaris mencapai
punggungan dimana sebuah tenda milik tim pendaki dari rute Wekas berada, mata
saya menangkap sosok mas Ryan yang bergerak ke arah saya. Mas Ryan telah
mengambil alih ransel merah dipunggung mas Chrisna. Sementara mas Chrisna
berjalan dibelakangnya dengan ekspresi nampak sangat lelah.
“Ada apa?” tanya saya.
“Nyasar
bang...” jawab mas Ryan sambil terus berjalan melewati saya menuruni
punggungan yang sebelumnya sudah kami lewati.
“Nyasar?”
“Saya ambil simpangan
kiri tadi bang, ternyata jalannya buntu. Dan saya naik lagi setelah sadar kalau
sudah kesasar...” jelas mas Chrisna sambil terus berjalan dengan perlahan mengikuti
langkah mas Ryan didepannya.
Dua kejadian
yang kami alami barusan membuat kami melakukan evaluasi dalam hal ritme dan
susunan hiking. Selanjutnya diputuskan mass Chrisna berjalan paling depan,
kemudian disusul oleh mas Ryan, dan saya paling belakang. Kami tidak hanya
kelelahan dan kehilangan waktu hampir dua jam dari jadwal, namun entah mengapa
rasanya situasi ini benar-benar membuat kami ditekan secara emosional. Rasa
lapar, haus, dan juga kelelahan telah membuat kami melangkah dengan rasa berat
dan penat. Sungguh tidak sabar rasanya ingin tiba di pos Wekas yang mata airnya
melimpah itu.
Kerjasama,
sinergi, setia kawan adalah bagian-bagian penting dalam sebuah tim. Dan semua
ini hanya bisa dicapai jika setiap anggota tim sadar dan mampu menyesuaikan
diri untuk membaur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menghadapi kesulitan
bersama-sama, menuai keberhasilan dan riang gembira juga bersama. Sebuah tim
yang baik akan senantiasa bekerjasama dengan penuh integritas dan tanggung
jawab.
Pada perjalanan
making route MMA Trail ini, mas Ryan dan mas Chrisna telah menunjukkan
bakat yang luar biasa. Selain bakat fisik dan ketahanan, karakterlah yang
paling menentukan segalanya.
Dan ketika mas
Ryan juga mas Chrisna sama-sama meminta maaf saat merasa membuat salah hingga
menyebabkan jadwal hiking menjadi terlambat, saya pikir mereka telah
menunjukkan karakter yang kuat. Tidak semua orang memiliki keberanian untuk
meminta maaf, meskipun pada dasarnya mereka tidak bersalah. Dan jika ada yang
melakukan hal tersebut dangan lapang dan lantang, mereka layak untuk dijadikan teman
perjalanan yang panjang. Mereka akan sabar dan teguh hingga titik akhir. Saya pikir
mereka pribadi yang tangguh!
Note:
Proses perjalanan MMA Trail dan pembuatan rute selama sembilan hari kemarin didukung sepenuhnya oleh Akasaka Outdoor Gear. Profil, informasi, produk dan lain sebagainya dari Akasaka dapat dilihat melalui link berikut: https://akasakaoutdoor.co.id/
Proses perjalanan MMA Trail dan pembuatan rute selama sembilan hari kemarin didukung sepenuhnya oleh Akasaka Outdoor Gear. Profil, informasi, produk dan lain sebagainya dari Akasaka dapat dilihat melalui link berikut: https://akasakaoutdoor.co.id/
Posting Komentar untuk "MEREKA PRIBADI YANG TANGGUH"