INDONESIAN Piolet d'Or, Upaya Menggugah Penghargaan Bagi Para Penjelajah Tanah Air
Sekilas tentang
Piolet d’Or
Bagi kawan-kawan
yang telah terbiasa dengan dunia mountaineering (baik sebagai pegiat, maupun
hanya sebagai peminat dan penggemar), istilah Piolet d’Or tentu bukan hal yang
asing untuk didengar, akan tetapi, beberapa sahabat yang lain mungkin saja
belum mengetahui istilah ini lebih jauh.
Piolet d’Or
adalah sebuah penghargaan tahunan yang diberikan kepada insan-insan pelaku
pendakian gunung. Dalam bahasa Perancis, Piolet d’Or diartikan sebagai Kapak Es
Emas, yang merupakan sebuah perwujudan penghargaan tertinggi kepada para
alpinis yang telah berhasil melakukan sesuatu yang mengagumkan serta berharga
dalam dunia mountaineering.
Perancis
Montagnes dan The Groupe De Haute Montagne (GHM) adalah dua majalah yang
memprakarsai Piolet d’Or ini sejak tahun 1991, pada pelaksanaannya Piolet d’Or
tidak hanya menjadi sebuah ajang kompetisi antara alpinis Perancis saja, namun
arus perkembangannya malah membuat Piolet d’Or menjadi semacam award tertinggi
untuk para alpinis dari seluruh dunia, dan justru kemudian orang-orang yang
berdiri di podium Piolet d’Or lebih banyak bukan dari Perancis, namun menyebar
dari seluruh penjuru negeri, mulai Rusia, Austria, Italia, Jerman, hingga
Amerika Serikat.
Seperti halnya
penghargaan –penghargaan sejenis dalam bidang lain, seperti Ballon d’Or untuk
sepakbola, Oscar untuk perfilman, maka Piolet d’Or juga memiliki tahta dan
kriterianya tersendiri dalam kancah alpinisme dunia. Seorang alpinis yang
dinobatkan sebagai pemenang Piolet d’Or bukan hanya dinilai dari prestasinya
yang luar biasa, namun juga terpenuhinya beberapa unsur lain yang menjadi
sebuah nilai-nilai dasar dalam penetapan podium Piolet ‘dOr.
Dewan juri
Piolet d’Or adalah pemimpin redaksi Montagnes, president direktur GHM, editor
Montagnes, pemenang tahun sebelumnya, dan beberapa juri kehormatan lain yang
diundang. Adapun kriteria yang ditetapkan antara lain sebagai berikut ;
Yang pertama
adalah tingkat konsistensi dan komitmen teknis yang tinggi dalam dunia alpinis,
yang sesuai dengan nilai-nilai awal yang diusung oleh Montagnes dan GHM. Hal
kedua yang menjadi dasar pertimbangan adalah, originalitas dalam memilih objek
pendakian, yang meliputi tujuan, motivasi, dan teknis yang digunakan dalam
pendakian, hal ini juga sebagai sebuah pertimbangan akan perubahan dunia
alpinisme yang abadi, sesuatu yang masa dulu dianggap mustahil untuk dilakukan,
saat ini bisa menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah.
Persyaratan
ketiga dan yang paling fundamental adalah menghormati dan respect terhadap
gunung, antusiasme dalam dunia alpinisme disertai semangat melestarikan yang
tinggi, seorang yang melakukan pendakian sulit namun merusak lintasan
pendakiannya, tidak memenuhi syarat untuk dijadikan pemenang dalam Piolet d’Or.
Meskipun
demikian ajang Piolet d’Or bukanlah tanpa kontroversi, beberapa alpinis menilai
ajang ini sebagai persaingan para alpinis semata, absurdnya pengertian akan
alpinisme, penghormatan terhadap gunung menjadi pokok dasar biasnya penilaian
bagi seorang pemenang. Pada perkembangannya, kontroversi ini diperparah lagi
dengan banyak para alpinis yang mendaki dengan Heavy Rock Style, sebuah istilah untuk gaya – gaya berat, sulit,
dan berbahaya dalam pendakian gunung, juga banyaknya peralatan yang tertinggal
sebagai jejak kotor dalam sebuah lintasan pendakian.
Rolando Garibotti mungkin adalah nama
yang paling tenar mengenai kontroversial ini, pendakiannya disisi utara Cerro
Torre yang diklaim sebagai sebuah first ascent tidak dapat dimasukkan dalam kriteria penghargaan Piolet d'Or, dan Garibotti cs pun dengan penuh rasa hormat menarik nominasinya, karena pendakian mereka di Cerro Torre yang meninggalkan banyak bekas berupa bolt, lebih lanjut Garibotti juga meminta dewan juri untuk tidak mempertimbangkan keberhasilannya dan Colin Haley melakukan traverse yang pertama di dinding Cerro Torre.
Nama lain yang
cukup mengesankan berkenaan dengan tahta Piolet d’Or adalah Marko Perzelj dan Marmier, yang secara tegas menolak piala bergengsi itu, dan mengatakan
dengan berani bahwa Piolet d’Or adalah sebuah persaingan di alpinisme, tak ada
garis finish dalam persaingan tersebut, selain membuat para alpinis semakin
jauh dari konsep penghormatan terhadap gunung.
Rolando Garibotti, sosok leader dalam first acent The North Face of Cerro Torre
Penghargaan Untuk Petualang Nusantara
Menarik
bagi saya untuk mengulas hal ini dan memikirkan sebuah gagasan mengenai adanya
semacam penghargaan tertinggi dalam lingkup nasional terhadap para penjelajah
tanah air yang dinilai pantas mendapatkannya.
Pemikiran
ini memang berangkat dari ide semacam Piolet d’Or, National Geographic
adventure of the years atau penghargaan dengan deskripsi sejenis, namun selain
memang sebagai sebuah bentuk penghargaan kepada para petualang yang memiliki
dedikasi tinggi dari tanah air Indonesia, ide untuk menciptakan sebuah
penghargaan serupa untuk para petualang nusantara berangkat pula karena
kekhawatiran akan tumbuh kembang dunia petualangan itu sendiri.
Mengapa demikian…?
Kekhawatiran
Marko Perzelj dan Marmeir memang beralasan disatu sisi, apalagi untuk medan
tempur Alpinis dengan kontur khas pendakian gunung es, memang tampaknya
beberapa hal sudah mencapai titik sangat jauh, sehingga untuk mengarah ke titik
yang lebih jauh lagi, sebagian besar orang masih belum memiliki gambaran
bagaimana rinciannya, hanya sekilas diketahui bahwa perlombaan para alpinis di
Piolet d’Or adalah untuk menciptakan rekam pendakian yang lebih sulit, lebih
berbahaya, ataupun lebih bombastis (viral) secara effect media, itu setidaknya
pendapat yang dikemukakan Duane Raleight,
salah satu professional rock climber dari Amerika Serikat.
Namun
khusus di tanah air Indonesia, mungkin kita dapat memperhatikan bersama, bahwa
tidaklah banyak (jika tidak mau mengatakan tidak ada) inovasi, gebrakan,
gagasan, dan rekam jejak baru dalam dunia petualangan dan penjelajahan. Para
petualang yang ada, yang tampil dari berbagai disiplin bidang masing –masing
cenderung lebih banyak menjadi follower ketimbang menjadi pionir dalam
menciptakan rute baru, orisinalitas objek baru, atau inovasi baru dalam teknis
aplikasinya.
Dan
ini bukanlah sebuah kabar yang menyenangkan, ketika melihat generasi muda kita
dari Indonesia cenderung lebih banyak menjadi follower saja daripada memilih
untuk menjadi perintis, meskipun pada permukaannya, dunia pendakian gunung,
dunia petualangan, penjelajahan, dan outdoor tanah air tampak begitu semarak,
yang ini dapat kita lihat dengan meningkat pesatnya peminat dari kalangan muda
yang menjadikan media sosial sebagai etalase kegiatan mereka.
Akan tetapi
euphoria semacam ini tidak jauh beda seperti buih ditengah lautan, atau
fatamorgana semu ditengah gurun pasir yang gersang, ketika sangat sedikit
bahkan nyaris tidak ada dari para aktivis penjelajahan ini yang mengambil
inisiatif baru, gagasan baru, dan lebih jauh mengambil resiko dalam menciptakan
sebuah pencapaian orisinalitas baru dalam dunia penjelajahan dan petualangan
tanah air.
Kita
mengingat bersama bahwa kita pernah memiliki seorang sosok bernama Norman Edwin, sosok yang memberi nuansa
baru dalam atmosfer dunia pendakian gunung tanah air pada masanya.
Antusiasmenya, konsistensinya, keberaniannya untuk menetapkan sebuah target
baru jauh diatas standard kebiasaan selama ini patut menjadi nilai teladan bagi
kita semua. Meskipun raksasa Aconcagua telah menelan dua petualang terbaik
Indonesia masa awal, Norman Edwin dan Didiek
Syamsu, namun semangat dan upaya mereka telah menjadi inspirasi dunia
pendakian Bangsa Indonesia, dan spirit itu seharusnya tetap terjaga hingga saat
ini.
Dan
kenyataan ini menjadi salah satu pertimbangan mengapa ide dan gagasan mengenai
pentingnya sebuah award tahunan semacam Piolet d’Or khusus bagi penjelajah dan
petualang Indonesia memiliki skala cukup urgent untuk segera ditetaskan. Award
ini nanti, apapun nama dan sebutannya, diharapkan mampu menjadi sebauh
motivasi, menjadi sebuah daya dorong bagi para penjelajah tanah air untuk
memilih, melakukan, dan mencapai sebuah tonggak baru dalam khazanah dunia
penjelajahan nusantara.
Selain
sebagai sebuah rangsangan, kehadiran award tahunan secara kontinyu untuk para
penjelajah Indonesia akan juga memiliki efek positif lain, perkembangan
kreatifitas para petualang, inovasi dalam memilih objek, juga sebagai sebuah
pupuk untuk mendidik generasi muda (khususnya yang memiliki minat dalam dunia
petualangan, apapun jenisnya) untuk lebih berani dalam mengambil resiko sebagai
pionir dan inovator, alih-alih hanya menjadi seorang follower semata-mata.
Disamping
itu juga, award ini juga nantinya akan menjadi sebuah kebanggaan, sebuah podium
pencapaian yang mengesankan, serta pada beberapa bagian dapat saja menjadi
sebuah standar baru dalam dunia penjelajahan dan petualangan Nusantara.
Kebanggaan ini tidak hanya ada pada pemenang award, namun juga pada bangsa
Indonesia karena berhasil menelurkan para penjelajah yang kreatif, berani, dan
berjiwa leader. Pun karena secara territorial asean, hal ini juga belum pernah
ada, maka award ini pun akan menjadi pendongkrak kebanggaan bangsa Indonesia
sebagai pencetus, bahkan kita adalah yang pertama di Asean yang memiliki sebuah
award untuk memberi penghormatan kepada para petualang.
Norman Edwin, salah satu sosok petualang Indonesia yang memiliki jiwa pioneering
Mekanisme dan Kriteria
Kita
mungkin tidak dapat memimpikan award petualang nusantara akan sama seperti
Piolet d’Or, terutama dari sisi penyelenggara dan kepanitiannya. Indonesia
belum benar- benar memiliki sebuah media yang sungguh-sungguh concern dibidang
petualangan dan penjelajahan, memang pernah ada media bulanan semacam Wanadri, Jayagiri, dan beberapa yang
lain, yang mendedikasikan kehadirannya untuk berbagi manfaat dan pengetahuan
mengenai alam dan penjelajahan, namun beberapa tantangan dan hambatan, membuat
media-media ini tidak dapat diterbitkan lagi, dan sebagai salah satu pembaca setianya,
hal ini sungguh sangat saya sayangkan.
Jadi
jika gagasan tentang award ini bisa benar –benar terealisasikan, boleh saja
nanti penyelenggara bukanlah sebuah bonafit company atau semacamnya, disamping
memiliki tantangannya sendiri, hal ini juga memberi keleluasaan dan kemerdekaan
dalam memberikan keputusan bagi para dewan juri nantinya, karena tidak terikat
dengan nilai-nilai wajib dari wadah penyelenggara (stake holder). Akan tetapi,
kenyataan seperti ini dapat saja juga menjadi celah untuk melakukan tindakan
nepotisme dalam penetapan pemenang award bagi dewan juri yang mungkin saja
kurang memiliki nilai keadilan dan objektivitas.
Selain
mengadopsi kriteria-kriteria penilaian seperti yang diterapkan Piolet d’Or,
seperti penghormatan terhadap gunung (alam), orisinalitas dalam memilih medan
jelajah, manuver dan inovasi pada upaya eksplorasi (pendakian), konsistensi dan
komitmen yang tinggi dalam dunia petualangan, para penyelenggara Indonesia
Exploring Award dapat juga menetapkan nilai-nilai lain sebagai sebuah standard
penilaian, dan yang terbayang dalam benak saya adalah memasukkan nilai edukasi
dan manfaat dalam list penilaian, jadi seorang pemenang tidak hanya dinilai
dari kriteria seperti Piolet d’Or saja, akan tetapi juga, dari seberapa
influence (berpengaruhkah) penjelajahan yang ia lakukan terhadap nilai-nilai
edukasi anak bangsa, dan lebih jauh seberapa bermanfaatkah apa yang ia lakukan
dalam pengabdian kepada alam dan masyarakat sekitar.
Jika
award ini dapat terwujud dalam waktu dekat, mungkin kita telah mengantongi
beberapa nama yang bisa dijadikan sebagai nominator peraih award, diantaranya
mungkin adalah Tedy Ixdiana yang
konsen dalam dunia panjat tebing, dan ekspedisinya dalam membangun jembatan
gantung untuk negeri didaerah-daerah yang terisolasi, kemudian ada nama Sofyan Arief Fesa, seorang mounataineer
jebolan Mahitala Unpar, seorang seven summiter pertama Indonesia, yang juga
konsen dalam dunia pendakian gunung, dan membentuk sebuah agensi ekspedisi
puncak –puncak dunia (seven summit khususnya), mungkin juga ada nama Williem Tasiam, seorang hiker yang
beberapa kali memecahkan rekor dirinya sendiri dengan mendaki gunung-gunung
pulau Jawa, Bali, Sumbawa, Sumatra secara estafet dalam kurun waktu yang
ditetapkan.
Kemudian
masih banyak nama-nama lain lagi yang belum bisa kita tulis satu persatu,
berkenaan dengan hal lain, penetapan nominator dan pemenang juga memiliki
pekerjaan rumahnya sendiri, yaitu kepopuleran di media tidak dapat dijadikan
sebagai acuan dasar seleksi . Penilaian dan penetapan nominator tidak dapat
didasarkan saja pada kepopuleran sang nominator di media, tetapi harus juga
melihat secara seksama mengenai kriteria-kriteria seperti yang telah disebutkan
sebelumnya.
Akhirnya
saya sungguh berharap ide tentang award ini mendapat sambutan yang baik
khususnya dari kalangan sesama pegiat dan pemerhati dunia petualangan dan
penjelajahan di Indonesia. Prosesnya kedepan, baik berupa mekanisme lanjutan,
kriteria lengkap, hingga kepada aneka macam metode penilaian dan konsepsi,
dapat kita lanjutkan melalui diskusi dan dialog interaktif yang
berkesinambungan.
Kita
adalah generasi Indonesia, kita tidak boleh merasa puas hanya dengan menjadi
seorang follower semata, kita harus terpanggil menjadi generasi yang mampu
mempersembahkan yang terbaik untuk tanah air kita, apapun bidangnya.
Dan jika kita
memilih bidang sebagai petualang atau penjelajahan, maka kitapun harus
memberikan yang terbaik untuk tanah tumpah darah kita ini, semoga ide award
untuk hal tersebut, mampu menjadi salah satu pelecut bagi semangat kita semua.
Salam
Posting Komentar untuk "INDONESIAN Piolet d'Or, Upaya Menggugah Penghargaan Bagi Para Penjelajah Tanah Air "