PARA PENDAKI SOSIAL MEDIA, BANYAK GAYA, MISKIN PRESTASI, BENARKAH ???
Sudah hampir dua bulan ini saya
libur mendaki gunung.
Terakhir saya
sempat menziarahi jalur misteri Babadan Merapi, bulan Desember 2016 silam, dan
hingga bulan Maret awal saat ini, saya belum ada lagi mendekati kaki gunung
manapun, utamanya gunung Merapi Merbabu, yang notabene merupakan “halaman
rumah” untuk saya sekarang ini.
Jika tidak
salah, belakangan ini ada sekitar tiga kali saya pernah mengepak ransel buat
mendaki lagi, namun begitu selesai sholat subuh keesokan harinya, tiba-tiba
keinginan mendaki itu sirna, tersapu rasa enggan melawan kekhawatiran yang
tidak jelas.
Pun pula di
Minggu pagi yang cerah di kota Muntilan ini, kemarin saya telah mempersiapkan
beberapa perlengkapan untuk mendaki jalur Merapi via Klatakan, sebuah jalur tebing
murni yang belum tersentuh kaki para pendaki dari sisi selatan, namun seperti
sebelumnya, tiba-tiba pagi ini saya merasa enggan saja, raga seolah menolak
keinginan menyisir hutan pinus terbakar di lereng Babadan sebelum masuk pintu
rute Klatakan.
Apa yang
aneh..?, apakah raga yang mungkin saja telah memasuki masa separuh usia, atau
tekad saja yang belum sungguh-sungguh bulat untuk melakukannya, atau mungkin
alasan cuaca dan hujan deras yang sering mengguyur, yang menjadikan mengapa
semangat untuk berjalan ini seolah dengan mudah dapat ditekan begitu saja…?
Sebagai
seseorang yang terbiasa menekan diri hingga titik terjauh yang bisa digapai,
saya berkesimpulan apa yang terjadi ini sebagai sebuah gambaran masih kurangnya
tekad dan semangat untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya begitu saya
inginkan, jadi bukan karena cuaca, bukan pula karena usia, namun tekad yang
belum sepenuhnya membaja-lah yang menjadi penyebab sesungguhnya. Dan hal ini
jauh lebih mengkhawatirkan daripada badai gunung yang mengamuk, juga lebih
berbahaya dari gigir jurang yang meluruhkan batu batu, kehilangan tekad juga
semangat, adalah sesuatu yang lebih buruk daripada kedua hal itu.
Kadang saya jadi
merenung juga dengan kondisi seperti ini, bertanya kedalam diri, jangan-jangan
saya juga telah masuk jauh kedalam perangkap pesakitan sosial media, ketika
melakukan sesuatu bisa menjadi tidak bermakna, jika tidak meng-upload dan
memamerkannya disosial media.
Saya masih ingat
beberapa tahun lalu, mungkin sekitar lima belasan tahun silam, saya menjelalahi
rimba raya Bukit Barisan Sumatera sendirian, dengan perlengkapan dan logistik
seadanya, bukan dengan gear-gear bermerek berharga lumayan menguras kantong,
yang beberapa diantaranya Allhamdulillah dapat saya miliki saat ini.
Tak ada rasa
takut saat itu, tak ada ragu, just do it,
seperti slogan merek Nike, saya melangkahkan kaki membelah hutan Bukit Barisan
yang rapat, tidur dalam tenda ala kadarnya, ditengah ladang perburuan banyak
babi hutan, melakukan susuatu yang bagi
saya sangat menyenangkan, namun bagi sebagian besar orang justru dianggap
sebagai sebuah perbuatan bodoh. Menyaksikan mayapada pulau Sumatera, kampung
halaman saya, dari tempat-tempat yang tinggi dan jarang terjamah, adalah
sesuatu yang terasa sangat spektakuler, sangat mendamaikan, tidak perduli orang
lain mau berkata apa.
Anehnya
sekarang, segala sesuatu yang berhubungan dengan petualangan, baik itu mendaki
gunung, jelajah hutan, dan lain sebagainya, tampaknya akan terasa hambar jika hal
tersebut tidak dibagikan ke sosial media. Padahal dulu tidak ada sosial media,
tidak ada yang namanya facebook, twitter, istagram, dimana kita bisa memamerkan
foto paling keren yang kita punya. Hanya ada petualangan di alam liar dulunya, go in wild, and find the way.
Saya jadi takut
juga, jangan-jangan saya juga sudah tertular virus pesakitan sosial media ini,
khususnya yang berkenaan dengan kegiatan bertualang dan mendaki gunung, dua
kegiatan yang telah menjadi jalan yang
sangat saya senangi sejak belasan tahun silam. Padahal untuk saat ini semestinya saya dapat lebih
leluasa menyalurkan hasrat saya mendaki gunung, saya tinggal di jantung pulau
Jawa saat ini, belakang rumah saya ada Merapi dan Merbabu, diseberang jalan
sana ada gunung Sumbing Sindoro, jika ditambah yang kecil-kecil, ada gunung
Andong, Bukit Menoreh, Prau, dan yang lainnya. Semuanya menunggu untuk
dijelajahi dan dicumbui dari sudut-sudut yang jarang bagi orang lain untuk
menjamahnya.
Generasi Para Pioneer
Belum
lama ini, ada sebuah kabar cukup menyenangkan saya baca, bahwa ada salah satu
sahabat di Jawa Timur sana, merilis sebuah rute pendakian gunung Argopuro via
jalur Semeru, it’s something, kalau
kata Syahrini, ini baru sesuatu.
Ketika orang-orang hanya sibuk menjadi follower dengan menambah ramainya
antrian gunung Semeru, Gede Pangrango, Merapi, Merbabu, dan Argopuro itu
sendiri, sahabat dari kota Surabaya malah membukukan sebuah terobosan dengan
merilis jalur yang lebih menantang.
Pada
dasarnya, memang agak sedikit miris sih, membiarkan diri dan team berjibaku
dalam medan-medan berbahaya guna menemukan sebuah spot baru yang lebih memiliki
nilai-nilai menantang dalam petualangan, namun kemudian karya tersebut dengan
cepat dilupakan dan dipinggirkan. Akan tetapi, kurangnya apresiasi dari
khalayak pendaki gunung, tidak semestinya menyulutkan semangat dan jiwa pioneer
seorang penjelajah.
Mungkin
memang generasi para pionir telah lama berlalu, generasi ketika Norman Edwin
memprakarsai dan memulai debut seven summit untuk Indonesia, generasi ketika
pegunungan Leuser di Aceh dijelajahi hingga berminggu-minggu oleh Mapala dari
Banda Aceh untuk menemukan rute ke puncaknya, atau generasi ketika orang-orang
muda dengan ransel butut, celana gunung, dan rambut gondrongnya berjibaku dalam
alar liar guna mencari dunia baru yang pantas untuk dijadikan taman surga
bertualang.
Mungkin
saja era generasi tersebut telah berlalu…
Namun
semestinya ini juga tidak menjadikan kita sebagai generasi petualang yang hanya
hobby copy paste saja, generasi petualang yang hanya mengikuti jejak aman,
tanpa terinspirasi untuk menciptakan jejak – jejak sejarah yang baru. Meskipun
dunia mendaki gunung hiruk pikuk oleh para pendaki, meskipun hutan menjadi
gemuruh oleh sorak sorai para petualang, tetapi, jika generasi ini menjadi
generasi yang hanya melakukan repeat rute saja, hanya menjadi sekumpulan
penerus yang tidak berani mengambil resiko lebih jauh, tampaknya dunia
bertualang kita terasa miskin dan sepi.
Yang
menjadi tampak kontras dan terasa miris juga adalah, ketika ribuan gambar,
caption, kata-kata bijak, dan sederet puisi berbahasa langit yang dibingkai
dalam suasana petualangan diupload ke sosial media setiap harinya, ketika itu
pula prestasi prestasi penjelajahan, tonggak tonggak baru dalam dunia
petualangan, sepi terkubur oleh gaya gaya selfish yang haus pujian dan
pengakuan.
Naluri seorang perintis
Usia
saya sudah jauh dari kata belia, bahkan jika saya menyandarkan kepala saya
diatas pangkuan isteri saya, maka beliau dengan mudah dapat menemukan lembar
lembar uban yang telah menyerbak dikepala saya.
“… Jika saya tidak melakukan ini, mungkin
saya akan menyesal sepanjang hidup…” pernah saya mengucapkan kalimat
tersebut kepada isteri saya, berkenaan dengan niat dan keinginan untuk memanjat scrambling
tebing selatan gunung Merapi secara solo, isteri saya tak menjawab, hanya
mengangguk saja, karena ia tahu, saya keras kepala, tak mudah melarang sesuatu
yang saya inginkan, meskipun itu berbahaya.
Para petualang yang sesungguhnya jutru menemukan kedamaian di alam liar yang masih penuh misteri dan murni.
Passion
dalam bertualang kadang dapat menjadi sebuah langkah besar yang mesti diambil,
dan akan meninggalkan penyesalan mendalam jika hanya diabaikan. Passion ini
kadang menjadi ajang pembuktian diri, dan kadang pula menjadi sebuah batasan
titik aman untuk meng-upgrade keberanian dan kemampuan seseorang. Menjadi
sebuah pilihan pada akhirnya, apakah seseorang tersebut mengikuti passionnya,
atau hanya akan menjadikan hal itu sebagai bunga diantara khayalannya semata.
Kegagalan
saat mencoba sesuatu yang diinginkan, jauh lebih baik daripada membiarkan
keinginan tersebut hanya sebagai pelengkap mimpi.
Jadi,
jika saat ini banyak para petualang sosial media yang memiliki naluri
mengembara sungguh sungguh hebat seperti puisi langit yang biasa mereka tulis di
dinding istagram atau facebooknya, semua itu akan menjadi hampa dan kurang
bermakna, jika hanya memilih titik-titik gunung cuma sebagai spot untuk bergaya
di depan kamera saja.
Sekali-kali
ikutilah naluri yang sesungguhnya, naluri seorang perintis, naluri sang
petualang, naluri sang pengembara…
Salam
Note : Catatan ini sebagian besar ditulis sekitar dua bulan yang lalu.
Ngena banget tulisannya Mas, suka cara penyampaiannya..
BalasHapusMudah2an banyak yg baca dan bisa merenungkan..
Merasa terwakili dengan tulisan ini, terimakasih banyak.
BalasHapusTerimakasih kembali Mas.
HapusMohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
sedikit kritik dan saran,
BalasHapusNggak nyambung bro antara tittle dan isi blognya... Bila memang ingin mengangkat tema sesuai tittle.. sebaiknya isinya juga diarahkan ke pembahasan yang sama..
Oya terimakasih banyak Mas, sudah berkenan memberi saran juga kritik...
HapusIseng doang Mas, tulisan lama.
Mohon maaf jika kurang berkenan..
saya termasuk yg miskin dalam hal pendakian jgunung
BalasHapusYang Pro biasanya memang sering merendah...
HapusTerimakasih sudah merespon Mas, mohon maaf jika kurang berkenan.
Saya kurang setuju soal membuka jalur mas. Membayangkan semakin banyak jalur pendakian dibuka dan dampaknya pada ekosistem sekitaran gunung.
BalasHapusSaya lebih pro terhadap edukasi pendaki dan perbaikan jalur menjadi lebih pro lingkungan seperti misalnya di apalachian trail :)
Btw, tulisan yg menggugah mas, nice sharing thx.
contoh: https://en.wikipedia.org/wiki/Appalachian_Trail
Terimakasih atensi dan pendapatnya Mas Indra...
Hapusiya juga Mas ya, jika berpikir lebih jauh, malah lebih besar berpotensi merusak lingkungan jika munculnya jalur jalur baru..
Sekali lagi, terimakasih Mas Indra
Setuju dengan om kelana, btw sifat yang bagus mas untuk seorang petualang nice share.
BalasHapusAlhamdulilah bener-bener menyampaikan apa yg ada dipikiran saya saat ini karena masih duduk di bangku SMA. Beryukur bisa baca artikel di blog ini. Nambah ilmu dan wawaasan saya ..salut deh !!! Top !
BalasHapusSetuju sekali perjalanan yang sesungguhnya adalah proses pengenalan diri sebagai Manusia,sebelum berproses menuju pengenalan yang lainnya,
BalasHapus"Ketika engkau mendaki dengan banyak orang maka kamu tidak membutuhkan banyak hal,namun ketika kamu berjalan sendiri nilai manusiamu akan sadar bahwa kamu kekurangan banyak hal
Seorang penanjak yang baik adalah mereka yang dibesarkan di Alam bebas,tidak dibesarkan di media sosial..
Keren bang tulisannya banyak pelajaran yang bisa diambil , salam dari saya anak muda 18th yang baru mulai mengenal gunung ✌💪
HapusKeren tulisannya bang saya anak mudah umur 17tahun yang baru mau mengenal gunung , manfaat bangat tulisannya respect buat abang 💪✌
BalasHapusArtikel yang bagus sekali pak, salut. Akhir th 2017 kemarin saya juga baru saja bernostalgia merapi via sapuangin setelah kurang lebih 16th lalu pernah turun lewat jalur ini yg dulu cuma kami jadikan jalur evakuasi. Tapi betul kata sampean pak Anton, disinipun saya menyadari betapa melemahnya diri saya secara fisik dan mental, hanya selalu menjadi penggiat yg bisa melakukan segala sesuatu sendirian untuk ketenangan, meskipun sekarang ada adik2 yg mengikuti jejak saya. Terus berkarya pak, salam gremat gremet slamet
BalasHapus