BABADAN DAN NGARAI BERKABUT DARI LERENG MERAPI
Jalur Piknik Dari New Selo
Dalam upaya menziarahi kembali
jalur pendakian gunung Merapi via kampung Babadan pada hari Minggu lalu, banyak
sekali kami, secara pribadi saya khususnya menemukan hal hal yang baru dan
menarik sepanjang trek pendakian ini.
Berbeda 180 derajat dengan
mendaki Merapi via New Selo, ternyata rute Babadan menyimpan begitu banyak
pesona yang membuat saya kaget, kagum, dan juga senang.
Hampir semua pendaki yang
mendatangi puncak gunung Merapi pada sepuluh tahun terakhir ini kurang lebih,
pasti mendakinya melalui jalur New Selo, sebuah jalur tol menuju Pasar Bubrah
dan puncak gunung Merapi. Memang sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa New
Selo adalah satu satunya jalur pendakian gunung Merapi yang resmi saat ini,
sekaligus juga sebagai rute yang paling singkat dan tercepat, untuk pendaki
yang sudah terbiasa turun naik gunung, mungkin hanya dibutuhkan dua hingga tiga
jam saja untuk bisa tiba di pasar Bubrah dan mulai mendirikan tenda. Sedangkan
para pendaki pemula pun tidak menemukan banyak kesulitan mencoba jalur ini,
akses, rute, shelter, dan segala faktor penunjang lainnya telah ada disini,
bahkan sekitar dua bulan lalu sebuah pondok wisata di atas pos New Selo baru
saja didirikan dan telah dikunjungi ratusan pelancong.
Pondok wisata yang diberi nama
omah bamboo New Selo ini dibuat hampir seratus persen menggunakan material
dasar bambu, dengan berbagai ornament dan kelengkapan yang cantik, tempat ini
telah menjadi salah satu magnet kuat bagi para pelancong untuk mengunjungi kaki
gunung Merapi. Pondok pondok untuk rest area, dua menara untuk selfie ( selfie
mungkin telah menjadi semacam kebutuhan pokok dewasa ini, dan ini dibaca dengan
baik oleh pengelola omah bamboo ), sebuah café kecil, didesain sedemikian rupa
untuk memanjakan para pengunjung sekaligus memuaskan dahaga narsisme mereka,
berlatar badan Merapi yang kokoh, dengan panorama Merbabu yang mempesona,
sungguh tempat ini sangat menggoda untuk didatangi oleh siapa saja.
Kondisi New Selo yang sudah
sedemikian ramai dengan predikat sebagai trek yang mudah untuk mencapai puncak
Merapi, ditambah lagi dengan kehadiran tempat wisata Omah Bamboo yang
pengunjungnya membludak dari hari ke hari, semakin memantapkan citra bahwa
jalur pendakian gunung Merapi via New Selo adalah jalur milik hampir semua
jenis orang, baik ia pendaki atau bukan, baik ia petualang atau bukan, baik ia
sungguh sungguh merindukan menyatu dengan alam, atau ia yang hanya menginginkan
ikut dalam laju paradigma pergaulan zaman.
Dengan kata lain saya mungkin
harus menyampaikan bahwa jalur pendakian gunung Merapi via New Selo semakin
jauh dari unsur unsur dan nilai petualangannya, dan semakin jauh juga dari kriteria
sebagai tempat yang dapat membantu mengasah jiwa para pendaki yang semestinya
memang menyukai tantangan, keheningan, dan menyatunya jiwa dan alam dalam
sebuah langkah di alam bebas. Keramaian, keriuhan, hiruk pikuk, dan trek yang
terlampau mudah menjadikan pendakian gunung Merapi via New Selo tak banyak
berbeda seperti perjalanan wisata dan piknik semata, nilai nilai petualangan sudah
tidak mudah lagi ditemukan didalamnya.
Melihat puncak Merapi yang menjulang dari lembah Pelana Kuda jalur Babadan
Menara di Jantung Pulau Jawa
Jika saja gunung Merapi ini
berdiri di ujung Aceh sana, atau dipedalaman Kalimantan sana, atau di belantara
Papua sana, atau jauh di tengah tengah pulau Maluku sana, maka jalur New
Selonya, atau jalur pendakiannya yang seperti New Selo bukanlah menjadi sesuatu
yang dapat membuat kita gelisah. Karena lokasinya sendiri yang berada di Aceh,
atau ada di Papua, atau ada di Kalimantan merupakan sebuah tantangan tersendiri
untuk mendatanginya, yang tentu tidak semua orang memiliki kesempatan dan
kemampuan untuk mengunjunginya.
Namun kita tahu gunung Merapi
yang juga menyandang gelar sebagai gunung teraktif di dunia tidaklah berada di
Kalimantan, di Papua, di Aceh, atau pun di Maluku, gunung yang kadang kadang
berubah menjadi pemarah ini ada di jantung pulau Jawa, ada di jantung pulau
yang memiliki kepadatan penduduk paling tinggi di seantero Indonesia, memiliki
jumlah kunjungan yang selalu tinggi dari hari ke hari.
Ini sebenarnya menjadi semacam
kebutuhan para pendaki yang memang mencari keheningan dan tantangan, saya juga
pernah menuliskan tema terkait dalam sebuah bahasan yang menyebutkan mengapa
banyak para pendaki gunung yang menganut faham gaya lama berangsur angsur
meninggalkan Everest karena kekecewaan mereka akan kondisinya sekarang yang
lebih menonjol dari sisi komersialisme, mengesampingkan banyak unsur lain, yang
hal tersebut dipandang sebagai sebuah ketidaknyamanan oleh para pendaki gunung
gaya lama, yang lebih banyak mengedepankan unsur adventure, misterius,
tantangan, serta keterasingan.
Dan hal ini juga terbaca dalam
kancah dunia petualangan tanah air, khususnya dalam dunia pendakian gunung
Indonesia. Beberapa waktu terakhir semenjak geliat back to nature yang seolah
menjadi pandemic dan wabah pada sebagian style anak muda Indonesia, ada
sebagian orang orang yang merasa hal ini tidak saja berdampak baik, namun juga
seperti dua sisi mata uang, juga memiliki dampak yang kurang menyenangkan pada
sisi lainnya.
Semeru yang telah berubah menjadi
pasar setiap akhir pekan, Rinjani yang telah berubah menjadi antrian panjang di
jalur jalurnya, Merapi yang telah membludak, Merbabu yang telah menjadi arena
narsisme, Kerinci yang telah menjelma lokasi wisata biasa, dan banyak gunung
lain juga yang mengalami hal serupa, pada kenyataannya hal ini juga menimbulkan
kekecewaan mendalam pada sebagian besar pendaki. Kekecewaan ini juga yang
akhirnya melecut rasa nelangsa juga kehilangan akan rumah dan tempat bermain
mereka selama ini.
Didasari oleh rasa kehilangan
itulah yang kemudian membuat orang orang ini mencari tempat tempat bermain baru
yang masih mewakili gaya yang mereka dambakan, penuh tantangan, misterius, juga
terasing dan jauh dari hiruk pikuk kebisingan. Sehingga kemudian banyak yang
mulai mengumpulkan uang untuk bisa menziarahi puncak Binaiya di jantung pulau
Maluku, Bukit Raya di jantung pulau Kalimantan, Latimojong di jantung pulau
Sulawesi, serta tempat tempat dan puncak tersembunyi lagi yang jauh lainnya.
Sedangkan untuk pengobat hati di
menara menara pulau Jawa, hadir juga beberapa jalur baru yang harapannya dapat
menjadi pelipur lara untuk para petualang, pendaki gunung, dan peziarah yang
masih mencari keheningan alam raya ini. Seperti Merbabu yang membuka diri dengan
jalur Grendennya yang menjadi rute paling berat saat ini, kemudian Raung yang
notabene sebagai gunung paling sulit didaki di pulau Jawa, juga mulai ramai
kedatangan pendaki, serta gunung gunung di pulau Jawa lain yang mulai juga
ramai bermunculan jalur jalur baru yang diklaim lebih sulit, lebih ekstrem, dan
lebih menantang untuk disambangi.
Ngarai berkabut di jalur Babadan
Jawaban Dari Lereng Merapi
Bagi para pendaki di pulau Jawa
yang memiliki kantong tebal dan financial mapan mungkin tak mengalami kesulitan
untuk memilih destinasi medan pendakian luar pulau yang mereka suka, mereka
dapat dengan mudah mengepak ransel dan melangkah menuju Leuser, mereka dapat
dengan mudah pula melipat sleeping bag dan mulai memesan tiket menuju Carstenz Pyramid
dan Puncak Jaya Wiyaya, dan mereka sama sekali tak menemui kesulitan saat
membereskan seperangkat cooking set kemudian melangkahkan menuju pesawat
terbang yang akan mengudara menuju pulau Maluku.
Namun bagaimana dengan para
pendaki gunung dan peziarah di pulau Jawa yang belum memiliki kemapanan seperti
itu, akankah mereka hanya bisa diam dalam kecewa, memendam keinginan untuk menjelajah
puncak puncak tinggi Nusantara, memendam kekecewaan karena Merapi telah
terlampau ramai, Merbabu terlampaui berisik, Gede Pangrango terlalu kisruh,
Lawu yang terlampau hingar bingar, hingga kepada Slamet, Sumbing, Sindoro, dan
Semeru yang telah menjelma menjadi arena bermain alias play ground untuk semua orang.
Untuk alasan demikianlah saya
pikir, kita perlu menemukan jalur jalur baru pendakian gunung yang ada
diseantero pulau Jawa, sebuah jalur yang fresh, yang segar, yang masih sepi,
yang masih memiliki banyak nilai misterius, yang memiliki beragam macam
tantangan, dan yang juga terasing dari hiruk pikuk para pelancong.
Dengan hadirnya jalur jalur baru tersebut
kita harapkan para pendaki gunung yang masih menjunjung tinggi hakikat
pendakian gaya lama, tetap memiliki tempat untuk menjadikan mereka senantiasa
segar, keinginan mereka tersalurkan, harapan mereka mendaki dengan segala unsur
pendukung yang penuh tantangan tetap bisa dilakukan, tanpa harus keluar dari
pulau Jawa ini.
Saya telah menyusuri rute
Grenden, jalur terbaru gunung Merbabu yang digadang gadang sebagai yang
terberat diantara lainnya, saya menyusuri Grenden saat bulan Ramadhan kemarin bahkan
ketika jalur tesebut belum dibuka untuk umum. Kemudian kemarin saya bersama
teman teman dari group Campala Dhemit Gunung kota Muntilan juga berkesempatan
menelisik kembali jalur kuno Merapi via Babadan, dan saya kira, juga saya yakin
ini adalah jawaban yang disodorkan Merapi untuk para pecinta sejatinya yang
dilanda gulana lantaran rute New Selo yang sudah terlalu penuh hiruk pikuk.
Pendakian gunung Merapi dari
jalur Babadan adalah sebuah jawaban terhadap keresahan dan kegelisahan pada
pendaki yang masih mengharapkan Merapi dapat dikunjungi seperti dulu, masih
hening, sepi, indah, misterius, dan penuh dengan nilai petualangan.
Hutan pinus yang merangas bekas terpapar awan panas saat erupsi Merapi di jalur Babadan
Tresno alam manunggal kelawan Gusti
Apa yang saya dan teman teman
dari Dhemit Gunung temui sepanjang lintasan Babadan adalah sebuah jawaban yang
menyenangkan mengenai harapan ini, mulai dari rimba yang masih rimbun,
menyusuri jalur bekas aliran lahar dingin yang curam, menyisir sisi lereng yang
berbatasan langsung dengan jurang, mendaki arena sabana kemuning dalam hembusan
angin pegunungan yang gemulai, pun juga menikmati sisa sisa air yang mulai mengering
diantara batu batu cadas punggung Merapi. Semua ini tampaknya akan menjadi
parade sempurna untuk mengobati kerinduan para pecinta sejati Merapi untuk
kembali mencumbunya dalam sisi lain yang masih rahasia dan misterius.
Saya melangkah menapak diantara
batuan dan pasir yang bergelut bersama kabut minggu kemarin, membayangkan
betapa indah dan kayanya rute pendakian ini, betapa eksotis dan cantiknya sisi
lain Merapi dari sini, dan membayangkan betapa bahagianya jiwa jiwa pendaki
yang merindukan alam raya dalam keheningan dan petualangan akan terobati di
tempat ini.
Kabut di Sungai Gesik Babadan mendesis
untuk kemudian mulai menghilang tersibak oleh cahaya matahari siang.
Namun kemudian tidak lama, kabut
itu kembali hadir lagi menutupi pandangan, namun kemudian hilang lagi, dan
kemudian muncul kembali, berkali kali kejadian itu terulang, membuat saya
mengambil kesimpulan bahwa Sungai Gesik di jalur Babadan ini, sebuah bekas
aliran sungai besar berisi pasir dan batuan ini, memang memiliki pasangan dan
ikatan yang erat dengan kabut yang datang, kehadiran dan kepergian kabut yang
hanya dalam hitungan menit menang telah menjadi semacam janji diantara
keduanya, janji antara Sungai Gesik dan Kabut Merapi, tak mungkin mengharapkan
mereka berpisah dalam waktu yang lama.
Batu batu besar yang dingin,
butiran pasir lembut yang masuk kedalam celah celah sepatu, air sapuan embun
yang menetes di ujung daun juga di celah celah lumut, tak lupa beberapa tangkai
bunga berwarna orange terang yang juga bermekaran di pinggir jalan seolah mennyayikan
sebuah bisikan merdu yang mengalun dalam ayunan langkah.
Persaudaraan pendaki Dhemit Gunung, perkumpulan orang orang yang berupaya bermakrifat kepada Allah dengan jalan menyatu dengan alam
Saya semakin optimis dengan
segala sesuatu yang ditawarkan jalur kuno Babadan Merapi ini, panorama dan
mistisme jalur ini seakan menyerupai sebuah jalan kembali, jalan kembali bagi
sang pendaki yang masih rindu mengembara bersama kabut, yang masih ingin
merasakan betapa indahnya persatuan antara jiwa dan alam raya yang akan menghadirkan
rasa syukur kepada Allah SWT dalam setiap langkah. Irisan irisan ngarainya yang
berkabut di jalur Babadan ini seumpama sebuah langkah yang sungguh sungguh
menuntun kita pada sebuah ungkapan dan pengertian akan tresno alam manunggal kelawan Gusti, sebuah motto dan semboyan dari Dhemit
Gunung, klub pendaki yang menemani saya dalam perjalanan kali ini…
Salam.
TRISNO ALAM MANUNGGAL KELAWAN GUSTI artinya MENCINTAI ALAM BERSATU DENGAN TUHAN YME DHEMIT GUNUNG artinya DHEMi Tuhan GUsti kaNg agUNG
BalasHapusCAMPALA Comunitas Anak Muda Pecinta ALAm itu artinya CAMPALA CORPS DHEMIT GUNUNG jargonnya TRISNO ALAM MANUNGGAL KELAWAN GUSTI
Tanya om dhemit sekrenya dimana ya? Hehe ada cp yg bisa dihub kah?
HapusBasecamp Dhemit Gunung ada di Jl. Muntilan - Talum Km. 02 mas Pitoyo, contact personnya bisa di : 081393907987 atau 081804090501
HapusArtikelnya bagus mas..seneng bacanya..
BalasHapusSemakin sukses dhemit.. :)
BalasHapusManteb om anton artikelnya..membuat pengin melangkah via babadan
BalasHapusKeren paman anton artikelnya..
BalasHapus