MEMBURU PENERUS SANG LEGENDA, NORMAN EDWIN
Dua legenda dari dua dunia
Tentu tidak lengkap rasanya
membahas sejarah pendakian gunung di Indonesia, jika nama yang satu ini tidak
disebut. Ia telah menjadi semacam ikon untuk para pioneer pendakian gunung dan
juga petualang tanah air, keberaniannya untuk menempatkan sebuat mimpi menjadi
visi nyata ditengah segala keterbatasan, tentu merupakan sesuatu yang sangat
patut untuk ditiru, dan juga diacungi jempol.
Kali ini kita akan mengobrol
sedikit tentang nama besar mountaineer Indonesia, Norman Edwin.
Sebuah nama yang tentu tidak
asing lagi para pegiat alam Indonesia, sebuah nama yang rasanya masih hidup
saja hingga saat ini karena persembahan totalitasnya pada dunia petualangan
yang ia geluti. Bagi yang mungkin pernah membaca biografinya, catatan catatan petualangannya,
mungkin sudah sangat memahami mengapa hingga saat ini nama Norman Edwin tetap
memiliki tempat tersendiri dalam sejarah dunia pendakian gunung di Indonesia.
Harus saya akui, saya sendiri
belum tahu banyak tentang sang legenda ini, satu satunya sumber yang saya
miliki untuk mengenal beliau adalah sebuah buku setebal sekitar 250 halaman
berjudul Jejak Sang Beruang Gunung, yang ditulis oleh Ganesh.
Sumber lainnya mungkin adalah
beberapa artikel yang terpisah dalam bagian bagian kecil yang kadangkala saya
temukan pada sebuah blog atau pun website yang ditulis bebas oleh para pegiat
alam yang lain.
Berbicara mengenai sosok Norman
Edwin di Indonesia, tak banyak bedanya jika kalangan pendaki internasional
membicarakan sosok si dewa gunung, Reinhold Messner dalam kancah
mountaineering dunia. Meskipun jauh terpaut dalam sisi pencapaian dan prestasi
di puncak puncak tertinggi, namun kedua sosok memiliki jenis penghormatan yang
sama dari orang orang yang mengaguminya, sebuah jenis penghormatan untuk
seorang perintis, seorang pioneer, seorang yang mengajukan diri melawan berbagai
jenis arus, melawan berbagai jenis keterbatasan, untuk kemudian bisa
menginspirasi yang lain, mengubah segala sesuatu yang sebelumnya terlihat
imposible menjadi sebuah tujuan jelas untuk diraih dan dilakukan.
Kita tentu tidak asing lagi
dengan kiprah Reinhold Messner dalam kancah mountaineering dunia, dengan segala
totalitasnya menjadi seorang pendaki gunung, ia telah dinobatkan sebagai
seorang climber paling berpengaruh abad ini. Messner mencatatkan diri dengan
rekor rekor yang saat ini bahkan beberapa diantaranya menjadi semacam tonggak
parameter dalam dunia mountaineering.
Lihat saja dengan istilah
Fourteen Eight Thousanders, sebuah sebutan untuk orang orang yang telah
berhasil menjejakkan kaki mereka di empat belas puncak mematikan di dunia
dengan ketinggian di atas 8000 mdpl. Hingga saat ini, Fourteen Eight Thousanders-lah
yang di gadang gadang sebagai pencapaian tertinggi dalam dunia mountaineering,
dan ini memang terbukti, karena sampai hari ini baru sekitar kurang dari 30
orang di seluruh dunia yang berhasil mencapai prestasi itu.
Dan jika ditanya
siapakah orang pertama yang membukukan jenis prestasi semacam ini, maka
jawabannya tidak lain adalah Reinhold Messner.
Kemudian saat prestasi mencapai
puncak gunung, tingkat kesulitannya ditambah lagi dengan ukuran apakah membawa
tabung oksigen atau tidak, maka nama Messner kembali melejit, ia juga
mempopulerkan mendaki puncak puncak tertinggi tanpa dukungan tabung oksigen.
Legenda gunung tanah air kita,
Norman Edwin, memang ia tidak “segila” Messner dalam pencapaian yang
ditorehkan, namun usaha dan pengabdiannya dalam usaha mengharumkan nama
Indonesia dalam kancah pendakian gunung dunia, juga bukan sesuatu yang dapat
dipandang sebelah mata.
Apa yang Norman lakukan mungkin
tidak akan terdengar dahsyat jika dilakukan saat ini, saat dukungan gears dan
teknologi sudah sangat memadai, saat kompas bidik sudah digantikan oleh GPS
dengan tingkat keakuratan yang lebih presisi, serta lebih mudah pula untuk
dioperasikan. Ketika Norman Edwin dan kawan kawannya memutuskan untuk menjadi yang
pertama membawa sang merah putih ke tujuh puncak benua dunia, keadaan tidak
sama seperti sekarang, saat itu tingkat kematian di gunung masih sangat tinggi,
informasi tentang gunung masih terbatas, dan peralatan
pendukung pendakian pun masih jauh dari praktis, efisien, dan multifungsi seperti
saat ini.
Jadi jelas tantangan Norman Edwin
untuk mencapai puncak puncak dunia pada saat itu, jauh lebih berat jika kita
bandingkan dengan kondisi saat ini.
Dibutuhkan lebih dari sekedar keinginan untuk berani memimpikan dan meraih hal hal yang terlihat mustahil
Siapa kah penerusnya
Sekarang menjadi hal yang mungkin
pantas kita perbincangkan adalah, siapakah yang akan meneruskan tongkat estafet
yang telah digenggam oleh Norman Edwin..?
Untuk pencapaian seven summit,
Allhamdulillah kita sangat bersyukur, karena sang dwiwarna telah berkibar
diatasnya. Project seven summit yang dirintis oleh sang legenda Norman Edwin
dan kawan kawan akhirnya tercapai dengan torehan prestasi yang diukir oleh
salah satu group mahasiswa pecinta alam di Indonesia, kemudian salah satu
perkumpulan pendaki gunung paling populer di Indonesia juga ikut berpartisipasi
sangat besar dalam usaha pencapai misi Norman Edwin ini.
Setelah seven summit terlaksana,
dwiwarna sudah pernah berkibar di atas ketujuh puncaknya. Pertanyaannya kemudian
adalah, apa lagi..?
Dan untuk menjawab pertanyaan
simple ini kita membutuhkan orang orang yang berpikiran seperti Norman Edwin,
orang orang yang mampu membidik sebuah mimpi besar menjadi sebuah visi nyata,
orang orang yang keterbatasan situasi dan kondisi tidak menghentikannya untuk
memilih target yang mungkin saat ini terlihat imposible.
Lalu, siapakah penerus Norman Edwin
selanjutnya..?
Tidak mudah mungkin menemukan
seseorang yang setotalitas Norman Edwin saat ini, seseorang yang rela masuk
parit dan tidak takut diinjak gajah hanya untuk mengambil foto dari sudut yang
tidak biasa, seseorang yang merelakan
nafas dan jiwanya berhembus melayang bersama angin iblis Aconcagua.
Namun tentu ini juga bukan
sesuatu yang mustahil, saya optimis masih banyak anak negeri ini yang mampu dan
bisa seberani Norman Edwin, dan saya juga yakin masih ada sosok sosok pemuda
bangsa ini yang berani menetapkan sebuah mimpi besar sebagai visinya, sebuah
mimpi dan visi yang bukan hanya berorientasi pada keegoan dan kehebatan diri sendiri
semata, namun sebuah visi yang dicetuskan juga untuk harumnya nama bangsa
Indonesia.
Jika Norman menetapkan seven
summit sebagai visi besarnya saat itu, kemudian setelah kematiannya bersama
Didiek Syamsu di Aconcagua, mimpi dan visi itu kembali diteruskan oleh generasi
setelahnya. Maka siapa saat ini yang berani bermimpi dan berbuat nyata untuk
sesuatu yang seperti itu lagi, umpamanya menetapkan Fourteen Eight Thousander
sebagai visi dan berusaha mulai meraihnya dengan sepenuh upaya dan kerja keras.
Atau siapa penerus yang kemudian berani menjadikan mimpinya melintasi kutup
utara dan selatan, menyeberangi gurun sahara, atau berkayak melintasi samudra,
sebagai suatu visi yang ia dedikasikan untuk negeri.
Mungkin bagi beberapa orang hal
ini terdengar mustahil dan mengada ada, namun justru karena kelihatannya
mustahil-lah sesuatu itu bisa kita sebut sebagai sebuah mimpi dan cita cita, sebagai
sesuatu yang membutuhkan totalitas dan integritas tingkat tinggi, karena jika
hanya menetapkan sesuatu yang tampaknya mudah dan sudah pasti bisa, itu mungkin
tidak tepat disebut mimpi dan cita cita, itu hanyalah sebuah rencana.
Jadi siapakah saat ini penerus
yang berani bermimpi dan berpikiran seperti Norman Edwin, saya sungguh
berharap, anda-lah salah satunya, ya anda, anda yang menyempatkan diri membaca
tulisan sederhana ini…
Salam.
Punya keinginan itu tapi terbentur biaya transpor juga perlengkapan yg masih seadanya...
BalasHapusApalagi saat ini saya masih berjuang untuk memulihkan kaki yg masih cidera pasca kecelakaan...
Pengen tapi terbentur biaya transport n perlengkapan yg kurang memadai..
BalasHapusmungkin kang Hendra Wijaya bisa jd salah satu calon penerus (IMHO)
BalasHapus