KEMBALI MENJAWAB PERTANYAAN KLASIK, MENGAPA MENDAKI GUNUNG..?
Pertanyaan yang masih
relevan
Beberapa tokoh dalam dunia
pendakian gunung internasional memiliki jawaban yang unik dalam menjawab
pertanyaan klise yang paling sering ditanyakan berikut.
Mengapa anda mendaki gunung, apa
alasan utama anda melakukannya..?
“… Because Mountain is there… “ kata Mallory
“.. Is Not Mountain our conquer, but ourselves… “ kata Edmund
Hillary
“… I don’t know, I just do it…”mengikuti slogan Nike
Pertanyaan tentang alasan mengapa
seseorang bersusah payah berusaha memuncaki sebuah gundukan besar yang disebut
gunung telah ada sejak lama, sejak keinginan untuk menjangkau gunung itu
sendiri hadir dalam jiwa manusia. Pertanyaan ini adalah pertanyaan tua yang
berumur panjang, namun pada situasi dan saat yang tepat, hingga saat ini pun
kita masih butuh untuk mengajukannya.
Saya tergoda untuk membahas lagi
tentang hal yang tampaknya sudak lapuk ini bukan karena tidak memiliki
pertimbangan, atau sekedar iseng saja menulis rentetan kata sekedar pengisi
blog. Saya menulis ini dengan sebuah kesengajaan, yang berangkat dari penilaian
bahwa pertanyaan ini tidak segampang mengajukannya untuk menjawabnya.
Kita tidak perlu menjiplak ucapan
pendaki kesohor, tokoh terkenal, atau pun petualang legendaris untuk menjawab
pertanyaan ini. karena jawaban yang merupakan hasil dari jiplakan untuk sekedar
meniru bukanlah seseuatu yang bisa dibanggakan dan mempunyai inti jati diri, meniru ucapan seseorang agar terdengar
filosofis dan bijaksana tidak akan berdampak apa apa bagi seseorang yang bahkan
tidak memahami artinya.
Kita perlu melongok ke dalam diri
kita sendiri untuk menemukan jawaban pertanyaan ini, kita perlu jujur kepada
hati kita sendiri mengenai hakikat dan tujuan pendakian yang kita lakukan.
Ditengah gelombang animo anak
muda untuk mendaki gunung yang demikian dahsyat, maka aneka ragam motivasi dan
tujuan melakukan kegiatan ini pun semakin beragam. Dan pada dasarnya hal
ini-lah yang menurut saya menimbulkan sebuah kegelisahan untuk bertanya, ketika
menyaksikan sebuah gelombang generasi yang berbondong bondong memanggul tas dan
ransel lalu menuju puncak gunung, apa sih sebenarnya tujuan mereka, apa yang
mereka cari..?
Kita, saya khususnya, tidak dapat
menyamakan diri saya seumpama palu, lantas memandang fenomena ini hanya sebagai
sebuah barisan paku semata. Kita sama sekali tidak adil saya pikir, jika
mengambil keputusan dengan men-generalisir motivasi gelombang ini.
Tentu setiap individu memiliki
alasannya sendiri sendiri, jika ditanyakan mengapa mereka mendaki gunung, dan
kita tentu tidak dapat menyamaratakan semua jawaban mereka.
Setiap orang dapat beretorika
dalam memberi jawaban mereka, namun sikap dan attitude mereka ketika
mendaki-lah yang paling jujur mengutarakan maksud dan tujuan mereka.
Ada yang mendaki gunung benar
benar untuk tujuan olahraga, untuk prestasi, untuk mengukur batas kemampuan
diri, ada pula yang mendaki gunung sekedar untuk berwisata, melepas jenuh dari
penatnya pekerjaan dan rutinitas kesehariannya. Kemudian ada pula yang mendaki karena
mengikuti trend, mengikuti laju kekinian, megikuti arus gaya hidup dan
kebiasaan jaman. Namun di sisi yang lain, ada pula yang mendaki guna mencari
diri sendiri, mendengarkan riuhnya nyayian alam dalam hembusan angin yang
hening, menikmati ke-eksistensian Tuhan dalam bentang horizon dan lebatnya
pepohonan.
Setiap orang punya alasannya
sendiri sendiri. Kita tidak punyak hak, sama sekali tidak punya hak untuk
menghakimi fenomena ini.
Tidak bisa kita katakan bahwa
seseorang yang mendaki untuk tujuan spiritualisme jauh lebih mulia daripada
yang sekedar hanya ingin mencari eksistensi dan kepopuleran, kita tidak bisa
mengatakan itu meskipun pada kenyataannya demikian. Kita juga tidak dibenarkan
untuk mengatakan bahwa para pendaki masa kini yang rela bersusah payah hanya
untuk mengejar foto yang bisa ia bagi di sosial media, adalah lebih buruk
daripada para petualang yang mengujungi alam hanya untuk melepas penat dan
lelah rutinitas dari pekerjaannya.
Kita tidak dapat mengjustifikasi
mereka dengan pemikiran pemikiran kita sendiri, meskipun secara kasat mata
pemikiran kita itu jelas terbukti. Gunung dan puncak bukan milik seseorang,
bukan milik suatu kelompok,karena itu-lah setiap orang merasa berhak untuk boleh
melakukan apa pun di atasnya.
Selain hanya untuk menikmati panorama, untuk apa lagikah seseorang mendaki gunung
Puncak juga penting
Puncak adalah tujuan fisik dalam
pendakian, menyentuh puncak dalam arti yang sebenarnya adalah sesuatu yang
sangat penting, setidaknya untuk sebagian orang, dan puncak juga menjadi kata kunci serta
parameter kesuksesan dalam pendakian gunung. Beberapa orang boleh saja
beretorika dengan mengatakan puncak tidak-lah penting, prosesnya-lah yang lebih
penting, atau juga ada yang mengatakan puncak hanyalah bonus, perjalanan menuju
puncaknya-lah inti dari pendakian.
Kalimat seperti itu terdengar
sangat bijaksana, tapi tidak seratus persen benar, dan juga tidak seratus
persen salah.
Tanya kepada Conrad Anker, Jimmy Chin, dan Renan
Osturk, mengapa mereka bersusah payah kembali memanjat Shark Fin Route di gunung Meru…?
Itu karena pendakian mereka yang
pertama tahun 2008 tidak berhasil mencapai puncak.
Tanya kepada ruh Mallory, kepada ruh Irvine, mengapa bukan nama mereka yang
terpahat dalam prasasti mountaineering dunia sebagai pemuncak Everest yang pertama…?
Itu karena tidak ada bukti yang
valid jika mereka telah menyentuh puncak tertinggi di dunia itu.
Tanya kepada Dick Bass, mengapa nama Patt
Morrow yang diukir dalam tinta pencapaian seven summit dunia yang pertama,
mengapa bukan namanya..?
Itu karena Dick Bass menggapai
puncak yang salah, setidaknya versi puncak yang salah, dan itu secara tidak
langsung, tidak dapat diakui oleh dunia mountaineering.
Atau tanya lagi pada Renan Osturk
dan Emily Harrington, mengapa mereka
bisa tersiksa hampir dua bulan lamanya di belantara Myanmar, menggigil
kedinginan di gigir Hkakabo Razi,
namun nama mereka belum bisa dimasukkan dalam list sukses climber Hkakabo Razi…?
Itu karena merek gagal mencapai
puncak, meskipun setelah mengerahkan semua kemampuan yang mereka miliki.
Akan masih banyak nama, masih
banyak orang yang bisa kita tanyakan, kita minta pendapatnya tentang arti
mencapai sebuah puncak dalam pendakian gunung.
Betul sekali, bahwa proses tidak
kalah lebih penting dari mencapai puncak, proses adalah sebuah ritme yang
mengajarkan arti sebuah puncak, proses adalah sebuah guru yang memaknai arti
dalam setiap langkah, proses adalah desir angin yang menyapu telinga lalu
membisikkan pelajaran – pelajaran dan hikmah dalam sebuah pendakian.
Proses mendaki gunung adalah
sangat penting, namun puncak juga penting, ia menjadi parameter kesuksesan
sebuah pendakian. Dan pada sebagian orang, itu adalah sebuah gol dan tujuan
yang harus dicapai.
Jika puncak adalah titik tujuan
dalam fisik sebuah pendakian gunung, maka apakah yang menjadi tujuan psikologis
melakukan kegiatan tersebut, apa tujuan yang bersandarkan pada mental dan
kejiwaan seseorang untuk melakukannya.
Kembali kita ke beberapa kalimat
sebelumnya, bahwa sikap dan attitude-lah yang menjelaskan dengan gamblang mengapa
seseorang mendaki sebuah gunung, alasan apa yang melatarbelakanginya..
Ada yang sungguh sungguh berusaha
menyatu dengan alam, mencari keheningan, mencari ketenangan, menjadikan setiap
langkahnya untuk introspeksi, menjadikan setiap tarikan nafasnya adalah
istigfar memohon ampunan. Sebaliknya pada masa sekarang ini juga, tidak sedikit
pula yang melakukannya untuk sebuah alasan yang susah dimengerti, mengenakan
atribut yang tampak norak, hanya untuk mencari perhatian, mengabaikan segala
macam bentuk dan norma juga aturan hanya untuk mengikuti laju kekinian.
Dan mirisnya tak ada yang bisa
kita lakukan untuk itu, selain mengelus dada dan menundukkan muka, lalu
bergunam ;
“ dunia memang sudah semakin tua…”
Tidak ada yang menyepelekan arti proses sebuah pendakian gunung, namun kemudian puncaklah yang menjadi ukuran keberhasilannya
Kembali ke akar
Orang orang yang mungkin menganut
faham konservatif dalam pendakian gunung, menganut faham bahwa gunung adalah “tempat
suci” yang sudah sangat selayaknya dihormati, tidak dapat melakukan apa apa
dengan kenyataan seperti saat ini.
Hanya kekecewaan akhirnya yang menyelimuti
hati beberapa para pendaki gunung, ketika banyak orang berdatangan ke gunung,
mengambil alih “rumah” mereka, dan menjadikannya sebagai sebuah panggung untuk
saling beradu gaya. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, tak ada yang bisa
mereka lakukan untuk menghentikan hal itu, gunung bukan milik mereka, itu milik
Allah SWT, dan karena itulah setiap orang yang mendatanginya merasa boleh untuk
melakukan apapun sesuka hati mereka.
Saya hanya ingin menutup tulisan
sederhana ini dengan mengajak kita kembali merenung, mengevaluasi diri, apalagi
saat ini masih dalam suasana bulan suci Ramadhan,
waktu yang sangat tepat untuk kita berpikir ulang, spesialnya berkenaan dengan
sesuatu yang sering kita lakukan, yaitu mendaki gunung.
Mari kita tanya lagi kepada diri
kita sendiri, dan jawablah dengan sejujurnya…
Untuk apakah saya selama ini mendaki gunung..?
Sekedar untuk mencari perhatian kah, sekedar untuk menunjukkan
eksistensi kah ?
Apakah pendakian gunung yang saya lakukan menjadikan saya lebih dekat
kepada Tuhan, lebih dekat kepada kebijaksanaan, lebih arif dalam mengarungi
kehidupan…?
Atau kah ini hanya sekedar hura hura, sekedar mengikuti laju gaya dunia
semata…?
Bagaimanakah jika laju gaya mendaki gunung ini berakhir, berakhir juga
kah pendakian saya…?
Bagaimana jika kematian menjemput saya di gunung, apakah saya sudah
siap menyambutnya…?
Sudah tepatkah alasan saya mendaki gunung selama ini..?
…
Untuk mencari perhatian, menunjukkan eksistensi, atau untuk apakah sebenarnya saya mendaki gunung ini..?
Pada muaranya, tiada yang dapat
menjawab semua pertanyaan tersebut, kecuali hanya Tuhan dan diri kita sendiri. Orang
orang diluar hanya bisa menilai dengan begini dan begitu, hanya bisa melihat
karena ini dan itu, tetapi pada hakikatnya, hanya diri kita sendirilah yang
mengetahui jawaban sebenarnya.
Dan kita butuh menjawabnya dengan
penuh kejujuran supaya jawabannya menenangkan dan memberi dampak yang baik
dalam kehidupan.
Jadi sekali lagi, jika boleh saya
bertanya ;
Untuk apakah anda mendaki gunung…?
Salam.
Luar biasa. Salam lestari
BalasHapus