SYNDROME ANTI - EVEREST DITENGAH KECAMUK PENDAKI GUNUNG
Bukan hanya dinegara kita
Indonesia tercinta saja yang tiba tiba anak anak selfish dengan berbagai
atribut eksistensi menyerbu puncak gunung.
Jika kita mengikuti beberapa
portal media outdoor luar negeri, tidak jauh jauh dulu, Malaysia lah yang juga
masih hitungan satu kawasan dengan kita, demam outdoor dan adventure juga
menjangkit dengan hebat disana.
Saya kebetulan mengikuti sebuah
group facebook yang nama dan anggotanya merupakan dominansi kawan kawan dari
Malaysia, dan jika diperhatikan dari hari hari, kronologi timelinenya juga
tidak jauh berbeda dengan kondisi kita saat ini, saat hampir semua orang begitu
tertarik untuk go in wild, bertualang ke alam bebas, menjejakkan kaki di puncak
gunung, menyemplungkan diri di danau, menyelam di pinggiran pantai, masuk di
antara semak semak hutan, Yang kesemuanya itu tampak jelas terbukti dengan antusiasmenya
mereka meng-upload aktivitas tersebut di sosial media, dan mungkin bisa saja,
tanpa sosial media, inti dari semua jerih payah yang mereka lakukan akan terasa
hambar dan tidak berarti.
Itu mungkin saja.,
Sebenarnya demam ini tidak hanya
terjadi di negara kita Indonesia, negara tetangga kita Malaysia, dan yang
lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Jauh lebih ke atas, hal ini juga
juga marak terjadi di lokasi lokasi terfavorit adventurer dunia, sebut saja
Everest, sebagai puncak tertinggi di dunia. Tempat prestisius ini pun tidak
selamat dari jangkauan orang orang yang pada awal mulanya sama sekali tidak
tertarik dengan dunia mountaineering dan pendakian gunung.
Bahkan si Dewa gunung Reinhold Messner pernah menunjukkan kekhawatiran
terkait hal ini
“… Semua sudah sangat jauh berubah, Everest tidak seperti dulu lagi,
sekarang tidak ubahnya seperti areal taman bermain untuk anak anak…, uang dan
bisnis jauh lebih mendominasi daripada atmosfer pendakiannya sendiri…”
Jika itu pendapat dari Reinhold
Messner, maka coba sekarang kita dengar juga apa komentar dari Conrad Anker, kapten The North Face, yang juga melejit
namanya saat berhasil menemukan mayat dua orang mayat pendaki pertama gunung
Everest, Mallory dan Irving.
“… Saya sering ke Everest, banyak menghabiskan waktu di sana, namun itu
total karena bisnis, karena jika ingin mendaki saya tidak ke sana, saya menantang lagi kemampuan
saya di Meru…”
Lahirnya syndrome anti – Everest
Istilah syndrome anti – everest ini
sebenarnya lahir dari ucapan John
Krakauer saat ikut berpartisipasi dalam pembuatan film Meru besutan Jimmy Chin.
Dalam majalah Alpinis Magazine kalau saya tidak salah
ingat, Jimmy Chin pernah ditanya ;
“ ..Manurut anda sebenarnya apa maksud dari istilah anti – everest ini,
John Krakauer mengatakan hal itu dalam film anda ..?”
Jimmy Chin adalah sosok yang
pandai dan bijak, ia menjawab hal tersebut sembari balik bertanya ;
“.. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita juga perlu bertanya, pernahkah
anda mendaki Everest..? dan saya sudah mendaki gunung ini dalam empat atau lima
kesempatan, dan mencapai puncaknya sebanyak dua kali. Tentu orang orang yang
memiliki jiwa explore sejati seperti Conrad, mendiang Dean Potter, Krakauer, dan yang lainnya, tidak dapat menyebut ini
sebuah tantangan yang menantang lagi..”
“.. Jadi apa maksudnya..?”
“.. Anti–everest menurut saya menjadi sebuah istilah yang dapat
digunakan sebagai ungkapan kekecewaan pada kondisi Everest saat ini sekaligus
juga menjadi ungkapan model petualangan dalam dunia mountaineering yang masih
memuja tingkat kesulitan dan tantangan…”
“.. Seperti yang anda, Conrad, dan Renan lakukan di Meru…? “
“.. John Krakauer menganggapnya demikian…”
Penuh sesak di jalur Everest, beberapa orang menganggap ini sebagai sebuah momok
Benih kekecewaan
Sebelum saya sempat membaca
tentang istilah syndrome anti-everest ini, saya juga sempat membaca sebuah
expedisi yang dilakukan oleh Renan Osturk, Emily Harrington dan beberapa teman
mereka yang lainnya, Ekspedisi ini bertujuan untuk mendaki puncak Hkakabo Razi
yang merupakan puncak tertinggi Asia
Tenggara.
Tentang Expedisi Hkakabo Razi ini
sahabat bisa membacanya dalam tulisan saya sebelumnya di sini : Puncak tak terkalahkan dan pertarungan
pendaki gunung gaya lama.
Dalam tulisan Renan Osturk untuk
majalah National Geographic ini ia
sempat menyinggung kondisi Everest saat ini yang tampaknya memang menyemai
benih kekecewaan pada sebagian orang, termasuk orang orang seperti Renan.
Dengan banyaknya pengunjung yang
membludak, panjang antrian di jalur yang melewati batas kewajaran, mendaki
puncak tertinggi menjadi tidak begitu menarik lagi.
Orang orang yang menganggap
Everest sebagai rumah mereka merasa terganggu, ketenangan dan keheningan gigir
Himalaya seakan mengepul dalam kebisingan dan hiruk pikuk, mereka tidak lagi
merasa nyaman untuk tinggal di sana.
Sebenarnya saya juga tidak merasa
nyaman menulis semacam ini, saya bukan orang berpengalaman dalam hal ini, saya
bahkan belum pernah melihat Everest secara langsung. Namun Allhamdulillah saya
banyak membaca berbagai sumber berita, dan tentang gunung merupakan sebuah
informasi yang menarik bagi saya.
Tentu saya tidak ingin dicap sok
tahu dengan menulis seperti ini, pengalaman dan pengetahuan saya masih jauh
sekali, saya baru mulai belajar berkenalan dengan gunung mulai tahun 2000,
ketika legenda legenda kita seperti Norman Edwin, Didiek Syamsu, Soe Hok Gie,
dll telah mencetak segunung prestasi dalam petualangan mereka.
Namun berbagi, sekecil apa pun
itu, menjadi sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan, berbagi sedikit apa yang kita ketahui kepada
orang lain tanpa bermaksud menggurui adalah sesuatu yang layak untuk dilakukan.
Jadi jika ada sahabat pembaca
yang menilai penulis blog ini sok tahu, maka saya sunggu memohon maaf.
Kehilangan rumah karena kebanyakan tamu
Sebagai seorang yang juga suka
mendaki gunung, mungkin saya adalah orang yang menggangap gunung sebagai suatu
tempat yang sakral, yang damai, dan yang ikut memberi dampak positif khususnya
dalam hal spiritulitas, yang mesti dijaga, dan juga harus dipelihara dengan
sepenuh hati.
Jadi kekecewaan seperti yang
dirasakan oleh Reinhold Messner, Renan Osturk, Conrad Anker, Jimmy Chin, dan
yang lainya karena merasa kehilangan Everest, juga sebenarnya bisa dirasakan
oleh kita kita yang mungkin merasa kehilangan Semeru, kehilangan Rinjani,
kehilangan Merapi, Kehilangan Kerinci, Sumbing, Sindoro, Slamet, Gede Pangrango
dan kehilangan puncak puncak lainnya.
Kita tidak bisa menemukan lagi
kedamaian saat mendakinya, kita tidak dapat menemukan lagi ketenangan saat
menziarahinya, dan hal itu tentu membuat sebagian orang yang menganggap gunung
sebagai sesuatu yang saya sebut rumah, akan merasakan kekecewaan.
Ketika puncak gunung telah penuh dipenuhi oleh para pendaki, ketenangan mungkin hanya sekedar mimpi
Jadi apa yang bisa kita lakukan
untuk melawan arus ini…?
Tidak ada, tidak ada yang bisa
kita lakukan. Meskipun kita menganggap gunung sebagai rumah, namun itu bukan
jenis kata yang memiliki arti kata sebenarnya, yang didukung dengan sertifikat
hak milik, sehingga kita bisa membatasi siapa saja yang boleh memasuki rumah tersebut.
Gunung dan alam raya adalah milik
Allah SWT, semua orang merasa boleh melakukan apa pun padanya, bahkan oleh
orang orang yang tidak mengenal Pemiliknya sekalipun.
Tidak semua orang menyadari,
bahwa semua perbuatan akan selalu ada konsekuensinya, akan selalu ada
permintaan pertanggung jawabannya, bahkan, meskipun perbuatan itu dilakukan
pada sebuah gunung.
Jadi siapa pun kita, semoga kita
hanya melakukan hal hal yang baik dan mulia saat mengunjungi dan mendaki
gunung.
Salam.
Mungkin klo di jawa ada istilah anti mahameru klo di lombok ada anti rinjani bukan bermaksud mengintimidasi tpi ya itu sebuah rasa kekecewaan
BalasHapusiya mungkin mas Michail ya..
HapusTerimakasih notenya mas