MENGHILANG DAN KEMATIAN, CERITA USANG DARI PUNCAK GUNUNG
Belum hilang gaung cerita tentang
musibah yang terjadi di gunung Rinjani, kini ditambah lagi dengan kabar tidak
menyenangkan yang datang dari gunung Semeru.
Jika di Rinjani beberapa waktu
yang lalu kabar duka berhembus karena meninggalnya salah satu pendaki perempuan
yang berasal dari kota Sumatera Selatan, maka kali ini kota Cirebon yang ikut
dibicarakan di gunung Semeru.
Dua orang pendaki dari kota
Cirebon sejak kemarin, 21 Mei 2016 dikabarkan menghilang di sekitar puncak
gunung Semeru. Dua orang yang dinyatakan hilang tersebut adalah Supriadi ( 26
tahun ) dan Zirli Gita Ayu Safitri ( 16 tahun ). Mereka mendaki gunung Semeru
bersama ke empat temannya yang lain, yaitu Sukron yang bertindak sebagai
leader, Achmad Khairudin, Lindianasari, dan Rizatul Rizki.
Dalam kronologi kejadian yang
sempat saya baca dibeberapa media online, dituliskan bahwa keenam teman pendaki
kita ini mencoba meraih puncak Semeru pada tanggal 19 Mei kemarin. Dua orang
diantara mereka dikatakan menghentikan perjalanannya saat tiba di batas
vegetasi ( mungkin yang dimaksud adalah areal dibawah Cemoro Tunggal, atau
sekitaran Blank 75 diatas Pos Arcopodo ) karena alasan fisik dan kesehatan. Kemudian
dua lagi menyerah di sekitaran Watugedhe ( Saya tidak begitu persis tahu lokasi
yang dimaksud Watugedhe ini, namun jika medannya masih tidak berbeda saat saya
mengunjungi Semeru 2010 silam, maka perkiraan saya lokasi Watugedhe adalah
kurang lebih 20 menitan dari puncak Mahameru jika ditempuh dari perjalanan
naik).
Kemudian hanya dua orang yang
melanjutkan pendakian menuju puncak Mahameru, dan dua orang ini pulalah yang
belakangan dikabarkan menghilang.
Catatan waktu yang ditulis ketika
dua orang pendaki ini melanjutkan pendakian menuju puncak adalah jam 08:00 pagi
WIB. Dan informasi tambahan mengatakan jika pendakian hanya diperbolehkan
hingga Kalimati saja, semua pendaki yang melakukan reservasi melalui pos pendakian
Ranupane menandatangi sebuah surat pernyataan di atas materai sebagai bukti
menyetujui persyaratan tersebut.
Hingga kini proses pencarian
masih terus dilanjutkan, dan untuk sementara gunung Semeru ditutup guna
mendukung upaya keras kinerja tim SAR lebih agar lebih fokus dan tidak terganggu
oleh hiruk pikuk pengunjung gunung Semeru lainnya.
Semua bisa merasa lebih hebat
Apa yang telah terjadi dengan
teman kita tersebut, kedua pendaki dari kota Cirebon itu, dan pula yang terjadi
dengan pendaki yang mengalami musibah di gunung Rinjani. Tentu menuai berbagai
macam komentar dari masyarakat luas, khususnya yang menaruh minat dan perhatian
terhadap dunia pendakian gunung.
Sosial media terutama facebook
menjadi ajang komentar yang palng viral dan beraneka ragam, dari sekedar ucapan
bela sungkawa, bahkan hingga yang nyinyir dengan segala macam justifikasi dan
penghakiman terhadap salah satu pihak.
Ada yang menyalahkan pendaki yang
tidak patuh aturan, ada pula yang cenderung mengkritisi kurangnya penegakan
aturan ketat dalam gunung gunung konservasi kita, bahkan ada pula yang
cenderung terlihat “berkhotbah”, tampak menggurui, menulis beberapa kata kata
yang terlihat bijaksana namun penuh dengan narsisme dan keegoan diri sendiri
semata.
Dan kita tak bisa melarang hal
itu, ini sosial media, dimana setiap orang merasa memilikinya dan bebas menulis
dan mengatakan apa yang mereka mau.
Harus kita akui juga bahwa
pengaruh sosial media dalam ekploitasi tempat tempat wisata sungguh besar
dampaknya, termasuk juga gunung gunung. Saya pernah menulis menyangkut hal ini
dibeberapa postingan sebelumnya, seperti pada postingan : Penganut slogan my trip my adventure perlu belajar dari pemuda ini,
atau juga postingan yang berjudul : God
News and Bad News ketika demam mendaki gunung berangsur sembuh.
Ketika sebuah musibah di gunung terjadi, seseorang yang bahkan tidak tahu sama sekali tentang gunung bisa berkomentar seolah orang paling berpengalaman dalam urusan pendakian
Intinya selalu ada sisi yang
berlawanan pada model perubahan gaya hidup anak muda saat ini, yang erat
kaitannya dengan dampak sosial media.
Khusus untuk gunung gunung,
dampak posistif dengan semakin ramainya pengunjung tentu kita berharap dapat
menggairahkan denyut perekonomian masyarakat sekitar yang lokasinya mendapat
animo besar dari sektor pariwitasa dan kunjungan.
Sedangkan dampak negatif pun
tentu juga ada, mulai dari terganggunya keseimbangan ekosistem, pencemaran oleh
sampah para pengunjung, hingga pada hal hal yang spesifik lagi semacam
lunturnya kultur dan persaudaraan dalam dunia pendakian gunung itu sendiri.
Kabanggaan dan Kehormatan serta resiko yang berimbang
“… Mendaki gunung itu memiliki kelasnya sendiri, sebuah model gaya
hidup yang layak untuk diperjuangkan, jika kita mendaki dengan sukses, turun
dengan selamat, disambut oleh teman teman dan sanak keluarga, tentu ini sebuah
hal yang layak untuk dilakukan. Namun kan kita tau sendiri mendaki gunung tidak
begitu, tidak semua orang bisa pulang dengan selamat…”
Anda masih ingat dengan kalimat itu..?
Ya itu kalimat yang diucapkan
oleh John Krakauer dalam sedikit
narasinya di film Meru saat
menerangkan trauma yang melanda Conrad
Anker setelah kematian rekan terbaiknya di Annapurna, Alex Lowe.
Begitu juga lebih kurang yang
mungkin harus kita aplikasikan untuk melihat banyaknya kasus kecelakaan gunung
di negeri kita Indonesia ini. Adalah sesuatu yang wajar bukan, jika semakin
banyaknya pengunjung yang berusaha meraih puncak gunung, maka rasio akan
tingginya resiko yang akan terjadi pun ikut meningkat..?
Kita mungkin harus pelan pelan
mengurangi reaksi “ lebay” ketika memperoleh kabar seperti ini di dinding
sosial media kita. Reaksi yang berupa penghakiman, menggurui, merasa diri lebih
hebat ada baiknya untuk dikurangi. Sudah merupakan sebuah resiko yang harus
dipersiapkan oleh setiap pendaki gunung untuk menghadapi situasi terburuk apa
pun yang akan menimpanya di tempat yang ia datangi.
Dibalik itu tentu kita berharap
yang terbaik, semoga kejadian kejadian semacam itu tidak berulang, yang hilang
semoga segera diketemukan, dan yang meninggal semoga memperoleh ampunan.
Namun memandang segala bentuk
kejadian ini selain harus menggunakan sebuah cara pandang yang ideal, bahwa
mendaki gunung adalah kegiatan berisiko tinggi, anda melakukannya artinya anda
siap dengan segala resikonya. Juga di samping itu, baiknya dapat dipandang pula
dari sudut keyakinan dan religius, bahwa kematian, musibah akan menjumpai
seseorang di manapun saja, jika Allah telah mentakdirkannya.
Tidak perduli di gunung, di lembah,
di ngarai, di lautan, di tebing, bahkan di tempat tidur sekalipun, jika takdir
Allah sudah digariskan, maka hal itu pulalah yang pasti akan berlaku.
Dugaan mis-oriented dan kamera teknologi tinggi
Kembali sedikit ke kasus yang
terjadi dengan kedua teman pendaki dari Cirebon yang hilang di gunung Semeru
tadi, secara pribadi jika boleh berpendapat, saya menduga kemungkinan besar kedua
pendaki mengalami mis – oriented ( saya nggak tahu istilahnya benar atau tidak
). Yang pasti itu semacam kehilangan kemampuan untuk mengenali medan, saya
berpendapat begini karena saya pernah mengalaminya, dan itu juga di puncak
Mahameru.
Saat itu saya tiba lebih dulu di
puncak Mahameru, mendahului tiga rekan saya yang lain yang tiba 15 – 30 menit
kemudian. Waktu saat itu sekitar jam 04 : 30 pagi, dataran Mahameru masih
temaram dalam semburat fajar.
Karena terlampau gembira tiba
dipuncak saya melangkah saja terus ke arah bendera tidak jauh dari papan nama
Soe Hok Gie, tanpa menghiraukan keadaan sekeliling.
Kemudian ketika menunggu rekan
yang lain terasa begitu lama sampai ke puncak, saya memutuskan untuk melihat
mereka ke arah jalur pendakian.
Namun tahukah apa yang terjadi..?
saya lupa darimana saya masuk sebelumnya, semua terlihat sama dalam temaram
cahaya yang masih pekat dan dingin pagi itu.
Hal itu terjadi lantaran euphoria
yang membuat saya lupa memperhatikan jalan masuk saya, untungnya lah tidak
berapa lama kemudian ketiga rekan saya pun tiba juga di puncak, dan
Allhamdulillah lagi, sebelum meninggalkan areal Cemoro Tunggal, leader kami, mas Theo menyarankan untuk membuat
semacam penanda di jalur, kemudian dilepaskan rain cover tas berwarna merah menyala kemudian diikat
diatas sebuah tongkat kayu di tepi jalur pendakian.
Dan Allhamdulillah lagi, saya
membawa binocular saat summit, jadi ketika tim kami turun mendahului rombongan yang
lainnya, penglihatan dari binocular membantu memastikan bahwa kami meniti arah
yang benar dengan melihat sebuah titik merah kecil dijalur yang kami lewat
sebelumnya.
Saya kira mungkin itu pula yang
terjadi dengan teman kita tersebut, mereka lupa jalan masuk ke puncak, dan
kemudian turun melalui jalan yang lain, yang mereka pikir jalan mereka
sebelumnya, karena bentuknya yang sama.
Sekali lagi itu hanya dugaan
saya, bisa saja sangat salah dan keliru, untuk itu saya mohon maaf.
***
Menjadi gunung dan menerima reward di puncak tentu menyenangkan, karena itulah resiko yang menyertainya pun berimbang
Saya ingin menutup postingan kita
kali ini dengan kembali mengingatkan bahwa mendaki adalah sebuah olahraga dan
gaya hidup dengan resiko tinggi, namun juga sesuatu yang layak untuk
diperjuangkan. Melakukannya juga berarti bersiap dengan segala kemungkinan yang
akan terjadi.
Mendaki gunung tidak menjadi
cukup jika hanya bermodalkan uang dan kamera teknologi tinggi saja, yang
kemudian menambah deretan kebanggaan dengan memposting foto kita disosial
media, kita juga butuh dibekali kemampuan, pengetahuan dan rasa hormat kepada
gunung itu sendiri.
Sekali lagi kita sebaiknya
bertindak bijaksana dan arif saat menyikapi sebuah musibah yang terjadi di
gunung, baik itu hilang, terjatuh, atau pun kematian. Kita dituntut untuk
pandai dalam menentukan respon, tidak berlebihan, sekaligus juga tidak dengan
meremehkannya.
Dari puncak puncak yang kita
miliki seperti Semeru, Rinjani, Merapi, Kerinci, Latimojong, hingga Cartenz
Pyramid, sudah puluhan nyawa yang telah berakhir di sana. Lebih lebih lagi jika
kita mau melihat ke gunung yang lebih serius seperti K2, Everest, Matterhorn,
Shisapangma, Nangaparbat, Eiger, hingga
pegunungan Alpen lainnya, maka sudah tak terhitung berapa banyak nyawa melayang
dalam usaha mencapai puncaknya.
Pendek kata, cerita kematian dan
musibah di gunung adalah sebuah cerita klasik, cerita lama, juga cerita usang,
dan kita sungguh diharapkan untuk dapat bijaksana dalam menyikapinya…
Salam.
terus brkarya untuk negri ini mas #salamlestari
BalasHapussalam kembali mas @skideter ind
HapusWow...benar2 menginspirasi dan benar2 mengingatkan kita salah satu esensi dasar mendaki ..A great work of journalists. Best Regards
BalasHapusTerimakasih mas Didi...
HapusSalam kenal mas... postinganya keren
BalasHapus. Visit http://bna-backpack.blogspot.com
Salam kembali mas Havid,
HapusTerimakasih mas.