Lima alasan mengapa mendaki secara solo layak untuk dicoba sekaligus dihindari
Pertanyaan ini sebenarnya
bukanlah sebuah pertanyaan yang mesti sungguh sungguh dijawab dengan segala
analisa teknikal dan indikasi yang njelimet.
Ketika sebuah peranyaan,
“ who is the best one, solo climber or team climber..?”
Maka tentu, jawaban pertanyaan
tersebut akan beragam pula, tergantung dari sudut pandang mana si penjawab
pertanyaan melihat kedua objek tersebut.
Jika yang ditanya melihat hal
tersebut dari kacamata rekor, prestasi, prestisius, kesulitan, dan resiko,
tentu ia akan menjawab bahwa pendaki solo adalah yang terbaik, the solo climber is the best.
Namun jika yang ditanya
melihatnya dari faktor dampak kepemimpinan atau leadership, manajerial
perjalanan, serta kemampuan untuk mengakomodasi semua kepentingan anggota dalam
sebuah perjalanan pendakian gunung, maka sudah barang tentu ia akan memilih
pendaki tim sebagai yang terbaik.
Dan tulisan kita kali ini sama
sekali bukan untuk membenturkan kedua pendapat tersebut.
Setiap orang dapat memilih gaya
dan stylenya sendiri sendiri dalam melakukan sebuah perjalanan pendakian
gunung, tanpa harus terpengaruh dan tertekan dengan pendapat dan asumsi orang
lain.
Yang memang merasa memiliki
kemampuan dan kualifikasi sebagai pendaki solo, yang yakin mampu solving
problem secara mandiri selama perjalanan, tentu sangat dianjurkan untuk
mencobat teknik solo.
Sementara yang ingin melatih diri
dalam sebuah tim, kemampuan leadership, juga merasa lebih nyaman dengan
beberapa teman dalam menghadapi potensi resiko dan keadaan, tentu menjadi
bagian dari sebuah tim pendaki adalah pilihan yang lebih tepat baginya.
Dan kedua pilihan tersebut sama
bagusnya, sama sama memiliki keunggulan pada satu sisinya, dan juga sama sama
memiliki kekurangan pada sisi lainnya.
Namun, kali ini saya mungkin akan
menulis khusus tentang pendaki solo saja.
Dan sekarang apa saja yang
menjadi keunggulan dan juga kekurangan dari seseorang yang memilih style
mendaki solo dalam perjalanan pendakiannya, saya memiliki beberapa alasan untuk
hal ini sebagai berikut ;
Pertama, Kemandirian.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
mendaki gunung sendirian adalah sebuah bentuk kemandirian yang jelas, sebuah
manifestasi dari kayakinan akan kemampuan diri sendiri dalam menghadapi dan
mengeliminir semua resiko dan tantangan yang akan dihadapi nantinya.
Seorang pendaki solo tentu tidak
dapat mengandalkan orang lain atau sekedar mengharapkan bantuan orang lain
dalam membantu mendirikan shelternya, dalam membantu membetulkan nyala
kompornya, atau yang lebih jauh lagi, ia juga sudah semestinya mempersiapkan
diri sebaik mungkin untuk menghadapi kemungkinan resiko terburuk dalam
perjalanannya, seumpama terjatuh, kehilangan arah atau lost directions, atau tersasar, bertemu binatang buas, atau pun hal
yang lebih buruk daripada itu.
Jika pernah mendengar sebuah
ungkapan yang mengatakan ;
“…butuh setengah usia untuk menyadari dengan sepenuhnya, bahwa tidak
ada yang dapat kita andalkan selain diri kita sendiri…”
Maka mendaki gunung secara solo
atau sendiri adalah sebuah exercise,
adalah sebuah pelatihan yang cukup bagus untuk sedini mungkin mempersiapkan
diri dalam kaitannya dengan kemandirian.
Kedua, Memiliki keberanian di atas rata rata.
Untuk menyisir gigir gunung
seorang diri, menuruni tebing terjal tanpa teman diskusi, membelah hutan pekat
tanpa ada kawan yang akan menambah nyali, tentu keberanian adalah sesuatu yang
mutlak diperlukan, dan seperti kita tahu para pendaki solo sebagian besar
mungkin telah memilikinya.
Pada beberapa orang mungkin saja
jenis keberanian yang mereka miliki, berada pada tingkatan yang berbeda beda.
Ada yang sungguh sungguh berani dalam hal yang sebenarnya, sebuah keberanian
yang teratur, terukur, dan terencana dengan baik. Namun ada pula keberanian
yang memiliki persentase tidak lebih besar dari rasa takut mereka sendiri, atau
mungkin berada pada garis yang sama. Namun faktor kenekadan lah yang membuat
seorang pendaki solo tetap mendaki, tentu saya yakin ada juga yang demikian.
Nama nama seperti Reinhold Meisnerr, Ueli Steck, Dean Potter,
Allex Honnold, Jerzy Kukuczka, Sarah Marquiz, dan yang lainnya, dalam petualangan
besar mereka yang dilakukan secara solo atau sendiri, tentu keberanian yang
mereka miliki sudah berada pada titik yang terukur, teratur, dan terencana.
Kenekadan tanpa perhitungan yang matang bukanlah bagian dari pengembaraan
mereka selama ini.
Menjadi pendaki solo, berarti siap menghadapi segala kemungkinan seorang diri
Ketiga, One hundred percent success, one hundred percent fail.
Menjadi pendaki solo adalah
mutlak keputusan berada ditangan sendiri, dan tentunya diputuskan dengan sendiri
pula.
Mengambil langkah untuk tetap
maju, bertahan, membuat shelter, mundur, atau pun menghubungi tim SAR adalah
keputusan lingkaran yang hanya ditetapkan sendiri. Jadi seorang pendaki solo
tidak perlu berunding untuk memutuskan langkahnya, jika situasi memungkinkan
dan ia yakin dapat meraih tujuan, maka tidak menunggu terlalu lama, ia dapat
langsung bergerak, dan seratus persen kemungkinan untuk sukses menjadi
miliknya.
Namun jika gagal ke puncak
umpamanya, seorang pendaki solo juga akan gagal dalam hitungan seratus persen,
saya katakan seratus persen, karena ia tidak memiliki partner atau rekan yang dapat
mewakilinya dalam pencapaian sebuah puncak. Tidak seperti pendakian tim kan,
sebuah pendakian tim sudah dapat disebut sukses
jika beberapa anggota mereka berhasil meraih puncak, meskipun tidak
semua anggota. Jadi kesuksesan beberapa orang dapat mengcover kegagalan yang
lainnya.
Dan itu tidak terjadi pada
pendaki solo.
Jika ia sukses maka ia one hundred percent success, dan jika ia
gagal, maka ia pun one hundred percent
fail, tidak ada yang akaan mewakili atau mengcover kegagalannya.
Ke empat, lebih dekat kepada Tuhan, kesepian, ketenaran, dan sekaligus
kematian.
Ini adalah aspek lain dari
keunggulan seorang pendaki solo, apalagi dari sisi inner sang pendaki adalah sosok dengan jiwa spiritualis yang
tinggi, maka aspek satu ini akan sangat mempengaruhi prilaku dan karakter sang
solo hiker.
Seseorang yang memilih untuk sendiri
dalam arungan lautan penuh bahaya dan resiko, tidak memiliki teman perjalanan
yang dapat dijadikan teman curhat atau sekedar diskusi memahami jalur dan
kondisi puncak, ditengah ketakutan akan badai yang mengancam, avalanche yang
akan menghilangkan nyawa, serta musibah dan kesulitan lain yang datang tiba
tiba, baik itu dari segi materiil maupun inmateriil, tentu akan bersandar
kepada kekuatan yang lebih besar dari semua kekhawatiran yang membayanginya.
Dan untuk orang yang beriman,
yang meyakini adanya kekuatan maha dahsyat tiada bandingan, yang disebut dengan
Tuhan. Kemana pula lah lagi ia akan menyadarkan hidupnya, mempasrahkan
takdirnya, kecuali kepada Dzat Yang Maha Perkasa, Maha Besar, Maha Segalanya,
Allah SWT.
Dan ini sekaligus menjadi ajang pendekatan
dalam langkahnya menuju keharibaan Allah, Sang Pemilik segala jiwa.
Di sisi yang lain, dalam
kepasrahan iktiar terbaik kepada Sang Khalik, pendaki yang memilih solo juga
berdekatan dengan kesepian, tiada yang menemaninya, hingga dalam sebuah tulisan
saya pernah menyebut kesepiannya seorang pendaki solo sebagai spiritualisme kepada Sang Mutlak,
sebagai pengembalian jiwa kepada Dzat
Yang Maha Membersihkan.
Penghormatan, rasa kagum,
publisitas juga menjadi sisi lain dari seorang pendaki solo yang mungkin berada
pada posisi bintang. Sehingga sisi ketenaran juga menjadi warna dalam
kegiatannya, bersenandung lirih bersama sisi kematian yang juga siap mengakhiri
kisahnya.
Dan ini alasan kelima, candu sebuah kesendirian.
Pernah mendengar sebuah pendapat berikut
;
“… Hati hati dengan kesendirian yang membuat anda merasa damai, karena
ia adalah sebuah kecanduan yang akan memerangkap jiwa anda, hingga membuat anda
hanya akan merasa damai dan tenang jika sendiri dan pada tempat tertentu, yang
pada akhirnya akan mempengaruhi cara bergaul anda dalam lingkungan dan orang
sekitar…”
Atau..,
“.. Loneliness causes addictions…”
Pendapat ini saya tidak tahu
valid atau tidak, namun saya kira ada benarnya. Sesorang yang telah terbiasa
dengan kesendirian, akan cenderung terbelenggu dalam kesendiriaannya, hingga ia
perlahan mulai merasa kehilangan kenyamanan dengan kehadiran orang di sisinya. Dan
jika itu terjadi kepada kita, maka kita sudah dalam fase yang berbahaya.
Jadi jika ada teman teman yang
selama ini berbangga hati dengan seringnya melakukan pendakian secara solo,
berhati hatilah jika hal itu sudah mencapai pada tingkat addicted atau kecanduan.
Penghambaan kita kepada Tuhan
adalah dengan berbakti dan beramal sebaik mungkin, juga berbuat baik kepada
yang lain. Dan menjadi seorang pertapa, dengan mengabaikan kehidupan dan lingkungan
sekitar kita nampaknya bukanlah sesuatu yang termasuk di dalamnya.
Muhasabah dan waktu sendiri untuk
merenung adalah perlu, namun jika kesendirian membuat anda menarik diri dari
silaturahmi, saya kira itu bukanlah sebuah hal yang baik.
Salam.
***
Lalu, bagaimana dengan sahabat
semua,
Apakah lebih suka mendaki secara solo
juga, atau lebih suka bersama team..?
Baca juga :
Posting Komentar untuk "Lima alasan mengapa mendaki secara solo layak untuk dicoba sekaligus dihindari"