Nasib Jon Krakauer setelah Everest vs Simon Yates setelah Touching The Void
Mari kita ngobrol lagi tentang
film Everest, mumpung masih ramai, dan masih banyak jadi bahan perbincangan. Jika
kita bicarakan sebulan lagi, mungkin topik ini sudah basi, jadi ya, lets talk again about Everest movie.
Sebelumnya, saya telah menulis
tiga postingan yang berbicara tentang film yang telah menyedot perhatian banyak
orang ini. Yang pertama ada Tragedi 1996, antara Everest dan Into Thin Air, kemudian yang kedua, Everest movie 2015, antara Rob Hall danJohn Krakauer, siapa yang benar, dan yang ketiga, Doug Hansen di Everest 2015, alasan mendaki gunung yang ingin didengar banyak orang.
Pada postingan tentang Everest
yang ke empat ini, kita akan mencoba secara khusus menyoroti tokoh Jon
Krakauer, yang tidak bisa kita tolak, sejak film ini dirilis, banyak persepsi negative
tentang peran sertanya dalam musibah Everest 1996 tersebut.
Saya ingin mengatakan sekali
lagi, bahwa saya belum pernah membaca buku The Climb yang ditulis oleh Anatoli
Boukreev, seorang legenda mountaineering yang pada tragedi 10 Mei 1996 di
gunung Everest itu, memiliki kontribusi besar dalam menyelamatkan pendaki yang
terjebak badai sebelum bisa turun dan mencapai Camp IV. Namun meskipun saya
belum berkesempatan membaca buku tersebut, saya telah membaca beberapa pendapat
teman teman yang kebetulan sudah pernah membaca buku itu.
Dan di buku The Climb,
diceritakan banyak kronologis kejadian terburuk sepanjang sejarah pendakian
gunung tertinggi di dunia itu, yang berseberangan dengan apa yang dituturkan
oleh Jon Krakauer dalam bukunya yang berjudul Into Thin Air, buku yang juga menjadi data basis pembuatan film
berjudul sama beberapa tahun yang lalu.
“ The Climb merupakan sanggahan dari apa yang ditulis Krakauer dalam
Into Thin Air”, kalimat tersebut sempat saya baca pada sebuah blog sahabat
yang lain, yang juga sedang bertutur tentang film ini.
Selanjutnya sejak diketahui secara benar apa
yang terjadi di Everest pada saat tragedi tersebut berlangsung, dan diketahui
pula bahwa Krakauer menolak memberi kontribusi lebih dalam upaya penyelamatan
para korban, kabarnya ia mendapat banyak hujatan dan kritikan dari dunia
mountaineering karena prilakunya tersebut. Sikap Krakauer dinilai bukan sifat
seorang mountaineer sejati, ia seolah hanya menjadi seorang yang egois dan
tidak mau membantu teman yang kesusahan, dan dalam dunia pendakian gunung,
sifat ini bukanlah sifat mulia, dan tentunya tidak dapat diterima.
Seringkali kita mendengar, dalam
banyak kesempatan, Krakauer yang seorang jurnalis dari sebuah media besar di dunia
outdoor, mengatakan bahwa kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan sepanjang hidupnya adalah memutuskan untuk mendaki
gunung Everest.
Jika dulu sebelum menyaksikan
film Everest di 2015 ini, saya menduga Krakauer mengatakan hal itu, karena
didorong oleh rasa kehilangan yang mendalam atas kematian rekan rekannya dalam
musibah besar Everest tersebut, yang juga membuka mata dunia tentang komersialisasi
gunung. Namun belakangan sejak menyaksikan film Everest ini, film yang
diklaim banyak orang sebagai yang paling mendekati kenyataan sesungguhnya, saya
malah kemudian berpikir, bahwa Krakauer mengatakan bahwa kesalahan terbesarnya
adalah mendaki gunung Everest, adalah sebagai wujud penyesalan dan permintaan maafnya
yang terselubung, atas tindakan egoisnya yang enggan membantu Anatoli Boukreev
untuk turut serta mengevakuasi para korban saat itu.
Dengan banyaknya serangan dan
kritikan terhadap dirinya dalam musibah besar tesebut, tentunya akan
berpengaruh juga terhadap diri Krakauer. Dan bisa jadi untuk menunjukkan betapa
ia menyesal dengan sikapnya kala itu, maka tesebarlah perkataannya yang banyak
menjadi timeline media outdoor dunia, “...Climbing Everest is the biggest mistake I've ever made in my life…”.
Saya tidak tahu pasti, itu hanya
dugaan saja.
Dan juga tidak ada kepentingan
sama sekali secara pribadi kita ikut berargumentasi, apalagi sampai berdebat mengenai masalah yang telah
lama terjadi ini, namun, seperti yang telah saya katakan dalam postingan
sebelumnya bahwa saya memang belum pernah mengunjungi Everest, bahkan saya belum
pernah mendaki gunung di atas 4000 Mdpl
sekalipun, namun, cerita tentang Everest, K2, Seven summits, Amadablam,
Nangaparbat, fourteen eight thiusanders, adalah cerita yang special, kita tak
bisa menghentikan untuk membicarakannya, semua itu adalah topik yang menarik
untuk semua orang yang gemar menggendong ransel seperti kita.
Namun bisa jadi juga film Everest
yang dibintangi oleh actor terbaik Hollywood ini juga tidak seakurat dan
seobjektif yang dikatakan banyak orang, bisa juga kan..?. Apalagi kita tahu Hollywood adalah
sebuah power yang bisa merubah persepsi banyak orang, jadi bisa saja ini
merupakan sebuah upaya untuk mengubah persepsi public selama ini tentang
musibah Everest tahun 1996 itu. Apalagi dalam film ini tampaknya tokoh Scott Fischer yang diperankan oleh Jake Gylenhall, tidak senegatif apa yang
banyak kita temukan dalam jurnal jurnal analisa musibah Everest dalam berbagai
media lainnya.
Hollywood adalah media Amerika, Rob Hall meskipun lahir di New Zealand, ia menjadi bintang
mountaineering di Amerika. Kemudian Scott
Fischer adalah asli warga Amerika, kemudian Doug Hansen, Beck Weathers, Andy Harris, juga sama, mereka adalah people of Amerika. Dan seperti kita
lihat sepanjang jalan cerita dalam film itu, nama nama tersebut adalah tokoh “kanan” semua, berbeda dengan Jon
Krakauer yang berasal dari Kanada, dalam film itu kita lihat sendiri
karakternya digores dengan sikap
egois dan tidak perduli orang lain.
Sekali lagi itu hanya opini, bisa
benar bisa juga salah, dan tidak ada faedahnya sama sekali jika kita memperdebatkan
hal itu.
Dan sekarang jika memang benar
apa yang digambarkan dalam Everest adalah sungguh sungguh yang mendekati
kenyataan sebenarnya, maka kemungkinan besar Jon Krakauer akan panen hujatan
dan kritikan lagi. Atau malah orang orang yang membanggakannya, memfollownya di facebook, istagram, twitter, akan sedikit mendapatkan kecacatan
pada tokoh idola mereka. Wallahu’alam.
Dan Krakauer akan semakin
terbenam dalam rasa sesal dan bersalahnya, yang sudah tidak dapat lagi ia
tutupi dengan kalimat “… Kesahahan
terbesar dalam hidup saya adalah mendaki Everest..”.
***
Nasib Simon Yates dan kisah Ramboo
Tidak jauh berbeda dengan nasib
Krakauer, kita mungkin masih ingat dengan hujan kritikan yang menimpa Simon Yates, sehubungan dengan keputusannya
memotong tali yang menjadi penghubung antara dirinya dengan Joe Simpson yang patah kaki saat menuruni
gunung maut Siula Grande.
Cerita singkat tentang gambaran
kejadian tersebut pernah saya tulis dalam artikel yang berjudul lima kisah survival paling terkenal di alam bebas.
Simon Yates menghadapi banyak kritikan atas tindakan di Siula Grande
Sekembali mereka ke Inggris
setelah hampir menjemput maut di Siula Grande, Simon Yates dikritik habis
habisan dengan keputusannya tersebut. Untungnya Joe Simpson masih hidup, dan ia
pula yang menuliskan. dan menyampaikan banyak pembelaan untuk Simon dalam
bukunya Touching The Void.
Kisah yang telah menjadi legenda
dalam dunia mountaineering ini, menyisakan trauma justru kepada sosok Simon
Yates-nya, terbukti setelah kejadian itu ia mulai mengurangi aktifitas
mendakinya, bahkan beberapa sumber mengatakan ia malah totally quit.
Dan yang terus mendaki dan terus
menggapai puncak tinggi malah adalah Joe Simpson, orang yang hampir mati di
Siula Grande dan menjadi subjek survival.
Atau sedikit pembanding lain, mungkin kita pernah menonton Cliffhanger, sebuah drama film rock
climbing di kawasan Rocky Mountain yang
dibintangi oleh si Ramboo Sylvester
Stallone, bagaimana ia begitu merasa trauma dan menghukum dirinya sendiri,
saat seorang perempuan yang berupaya ia tolong terjatuh ke jurang setinggi
ratusan meter saat proses penyeberangan dari tebing ke helicopter rescue
mnggunakan tali.
Yang justru paling berat memikul beban
kejadian itu adalah Walker, nama yang
digunakan Sylvester dalam film itu. Ia yang paling mempersalahkan dirinya
sendiri.
Jadi jika menghubungkan antara
tokoh Jon Krakauer, Simon Yates, dan Walker dalam kisah fiksi
Cliffhanger. Bisa kita sedikit mengambil
kesimpulan, bahwa seseorang yang mengambil keputusan krusial pada sebuah drama
detik detik yang mempertaruhkan nyawa orang lain, kemudian keputusan yang ia
ambil itu salah, dan berakibat kegagalan.
Maka orang tersebut selain dihujani kritik dan kecaman, akan juga turut
terbenam dengan sesalnya sendiri.
***
Selamatkan yang terkuat, itu hukum gunung.
Melihat apa yang melanda Krakauer
sehubungan dengan tragedi Everest ini, dan juga Simon Yates setelah pristiwa di
Siula Grande. Teringat kembali kita dengan kisah David Sharp dan tas Berghausnya yang meringkuk kaku menemui
kematian di jalur pendakian Everest pada tahun 2006, selama masa sekaratnya, setidaknya
hampir 40 orang pendaki yang melewati tubuhnya, dan hanya sebagian kecil yang
berusaha memberi pertolongan.
Hal ini membuat dunia pendakian
menjadi ramai oleh kritikan dan perdebatan, tentang mengapa semakin tipisnya
jiwa sosial dan keinginan membantu satu sama lain di antara para pendaki gunung.
Namun ada sebuah pendapat yang
juga menarik pada saat itu, yang didasarkan pada kemampuan dan skill individu
masing masing pendaki. Pendapat ini tampaknya lebih membela banyak orang yang
dituding tidak ingin membantu kondisi David Sharp, pendapat ini banyak juga
dibenarkan oleh para pendaki professional, dam paramedic yang terbiasa
bersinggungan dengan ketinggian dan oksigen yang tipis.
Pendapat tersebut kurang lebih
menyatakan begini ;
“… Musibah yang terjadi pada ketinggian di atas 6000 Mdpl adalah sebuah
kondisi serius, tidak sembarang orang dapat melakukan tindakan penyelamatan
dalam kondisi tersebut. Dibutuhkan kemampuan, skill, dan pengalaman yang cukup.
Jika ada seseorang yang memaksakan diri berusaha membantu orang lain pada medan
seperti itu, tanpa memikirkan kondisi dia sendiri, maka kemungkinan besar ialah yang akan menjadi
objek penyelamatan selanjutnya…”
Anatoli Boukreev saat mendampingi tim kopassus Indonesia mencapai puncak Everest
Jadi bisa jadi ke-40 an orang
yang sempat melewati David Sharp yang sekarat itu adalah para pendaki yang tidak
memiliki kemampuan rescue di gunung tinggi, sehingga tindakan mereka tidak
membantu Sharp, tidak dapat juga disalahkan secara sepihak.
Dan mungkin pembelaan itu juga
bisa dialamatkan untuk Krakauer, namun seperti banyak diketahui, Krakauer
adalah pendaki berpengalaman, orang yang termasuk memiliki kondisi fisik yang
prima sehingga mampu menjadi yang pertama meraih puncak Everest bersama Anatoli
Boukreev dan Andi “ Harold” Harris. Karena
itu, penolakannya terhadap ajakan Anatoli untuk membantu para korban yang
terjebak di badai Everest tetap dicap sebagai tindakan egoisme.
Namun jika ingin sedikit membuka
mata lebih lebar, apa yang terjadi dengan Andi Harris adalah contoh nyata,
bahwa yang paling berpengalaman sekalipun dapat menjumpai nasib naas dan tak
terselamatkan ketika berusaha menyelamatkan yang lainnya, jika menghadapi amukan
alam yang sedang marah.
Hampir sejalan dengan apa yang
Anatoli ucapkan dalam film Into Thin Air sebelumnya “… selamatkan yang terkuat, itu hukum gunung…”.
Maka sebaliknya, mungkin hanya
yang terkuat jugalah yang mampu melakukan aksi penyelamatan di ketinggian, terkuat
yang diukur dari kemampuan fisik, skill, dan juga pengalaman.
Salam
Please share and coment if you
like this article
Baca juga : 10 pendaki gunung terbaik sepanjang masa
Posting Komentar untuk "Nasib Jon Krakauer setelah Everest vs Simon Yates setelah Touching The Void"