Everest vs Into Thin Air : Duo film tragedi kematian di puncak dunia tahun 1996
The first one, this is the same movie.., Everest and Into Thin Air is a
movie who tell us about what happen in Everest Expedition in 1996.
Ini adalah dua film yang
menceritakan kejadian yang sama, yakni tragedi Everest yang menewaskan 11 orang
pendaki dalam satu hari, di tempat tertinggi di dunia, gunung Everest pada
tahun 1996.
Pada tulisan kali ini kita akan
mencoba mengobrol tentang dua film ini, dua film yang sama sama memiliki latar
belakang cerita yang sama, sebuah drama kematian para pecandu ketinggian di
puncak tertinggi di dunia.
Namun sebelum kita ngobrol banyak
tentang hal ini, ada sebuah hal yang ingin saya sampaikan, tentang tulisan ini, yang
bisa saja tidak akurat mengenai Everest
movie nya, di karenakan kita belum dapat menonton filmnya secara langsung, karena jadwalnya seperti yang di beritakan akan dilaunching pada 18 September
2015, masih ada sekitar dua minggu lagi dari sekarang, sebelum kita dapat
menyaksikan film tersebut secara langsung.
Ada beberapa hal yang akan sangat
menarik, if we compare between Into thin
air and Everest movie, sebuah perbandingan yang mungkin saja bisa saja
mengubah jalan cerita yang sebenarnya.
Yang pertama, Into Thin Air, we know this movie based of
the novel by John Krakauer, one climber who survived in Everest disaster in
1996.
Dan tentu saja akan banyak hal hal yang sesuai dengan jalan cerita yang sebenarnya, pada tragedy naas tersebut terjadi, karena Krakauer sendiri adalah salah satu pelakunya, yang menjadi saksi hidup bagaimana kematian merenggut nyawa teman- temannya, di depan mata kepalanya sendiri.
Dan tentu saja akan banyak hal hal yang sesuai dengan jalan cerita yang sebenarnya, pada tragedy naas tersebut terjadi, karena Krakauer sendiri adalah salah satu pelakunya, yang menjadi saksi hidup bagaimana kematian merenggut nyawa teman- temannya, di depan mata kepalanya sendiri.
Dalam banyak kesempatan, Krakauer says “ the big mistake in my life,
is climbing Everest ..”.
Kalimat ini tentunya keluar dari
Krakauer karena begitu besar dampak psikologis yang ia rasakan saat kematian
merenggut teman temannya di puncak tersebut.
Dan dalam film Everest yang akan datang, dari berbagai sumber yang saya
baca, John Krakauer bukanlah bagian dari penulis skenarionya, si saksi hidup,
orang yang tampaknya paling terpukul dengan kejadian itu, he didn’t join for writing a script in Everest scenario. Jadi yang
paling menonjol perbedaan dari Into thin air dan Everest adalah sudut pandangnya,
point of view-nya.
Jika into thin air merupakan
sudut pandang dari seorang John Krakauer, seorang pendaki yang juga merasakan
angin badai kematian mengamuk di hari itu, seseorang yang juga ikut merasakan
menangkat kapak esnya di puncak dengan ketinggian 8850 mtr from sea level, dan seorang yang juga membacakan doa mendalam untuk
kematian para sahabatnya di bawah puncak gunung raksasa Everest.
Beberapa waktu terakhir mungkin kita melihat Krakauer malah
banyak terlibat dalam sebuah film semi dokumenter karya seorang fotographer
dari The North Face asal Hongkong, Jimmy Chin yang berjudul “Meru”. Dan di sana Krakauer bertindak
sebagai author alias penulisnya.
Namun untuk Everest movie, ada dua
penulis skenarionya, William Nicholson
dan Simon Beaufoy, dua duanya penulis
scenario untuk film film besar Hollywood.
Jadi kemungkinan besar, sudut pandang Everest movie adalah sebuah sudut pandang Hollywood, yang harus dramatis, menegangkan, mengaduk emosi, penuh intrik, dan mempunyai daya jual yang tinggi, walaupun mungkin akan ada banyak jalan ceritanya yang tidak sesuai lagi dengan kejadian yang sebenarnya.
Jadi kemungkinan besar, sudut pandang Everest movie adalah sebuah sudut pandang Hollywood, yang harus dramatis, menegangkan, mengaduk emosi, penuh intrik, dan mempunyai daya jual yang tinggi, walaupun mungkin akan ada banyak jalan ceritanya yang tidak sesuai lagi dengan kejadian yang sebenarnya.
That’s Hollywood movie man, they can change your opinion about everythings…
Namun ada satu hal yang menarik juga
menurut saya dalam Everest Movie ini, yaitu hadirnya tokoh Ed Viesturs, the best one of American mountaineers, seorang
mountaineer Amerika Serikat paling berprestasi. Entah apa peran yang ingin
disampaikan penokohan Ed di sana, namun tentu nama besarnya yang di ikut
sertakan, membuat daya tarik lebih besar dari film besutan sutradara asal Islandia, Baltazar Komakur ini.
Satu lagi yang mungkin akan
menguras air mata penonton, adalah adegan ketika Rob Hall yang dalam film ini nanti di perankan oleh Jason Clarke, menelepon isterinya, Jane Hall yang di perankan si cantik dalam
Pirates of Caribbean, Keira Knightley.
Dari beberapa trailer yang saya saksikan melalui youtube, sepertinya adegan the last phone call ini akan mendapat
porsi lebih banyak, dibandingkan adegan yang sama pada into thin air.
Beberapa penambahan juga banyak
terlihat di sini, tentunya untuk menambah efek dramatis filmnya, adegan Josh Brolin yang tergelincir saat
menyeberangi jembatan di Khumbu ice fall,
dalam perannya sebagi Beck Weathers,
salah satu tokoh yang selamat dalam musibah Everest 1996, yang pada Into thin
air digambarkan seolah bangkit dari kematian ketika turun dari puncak, semua
pendaki mengiranya ikut tewas, namun kemudian ia berjalan menuju tenda seperti
mayat hidup, dengan sebelah tangan yang mati rasa terserang frossbite.
Dalam into thin air kita tidak menemukan adegan tersebut di khumbu ice fall, kecuali adegan saat Yasuko Namba terbelit tali ketika melewati tangga untuk memanjat sebuah tebing es, dengan di belay oleh Scott Fischer dari atas tebing.
Dalam into thin air kita tidak menemukan adegan tersebut di khumbu ice fall, kecuali adegan saat Yasuko Namba terbelit tali ketika melewati tangga untuk memanjat sebuah tebing es, dengan di belay oleh Scott Fischer dari atas tebing.
Berbeda dari Into thin air yang menjadikan Krakauer sebagai peran sentral, kali ini saya pikir Rob Hall adalah tokoh
yang paling berpengaruh dalam film Everest, bahkan sebelum film ini rilis pun, quote dari Rob Hall
sudah bertebaran di internet, dengan penambahan beberapa gambar trailer filmnya.
Dan tokoh Scott Fischer yang kali ini di mainkan oleh si Prince of Persia, Jake Gyllenhall, mungkin akan banyak melambangkan sisi lainnya, sisi gaya amerika yang urakan.
Dan tokoh Scott Fischer yang kali ini di mainkan oleh si Prince of Persia, Jake Gyllenhall, mungkin akan banyak melambangkan sisi lainnya, sisi gaya amerika yang urakan.
Dari sisi penggunaan gears pun
mungkin akan ada perbedaan, tentunya gears yang di gunakan pada Everest adalah
lebih up to date dan canggih ketimbang pada Into thin air.
Insya Allah saya akan menulis
lebih banyak tentang Everest ini, jika sudah menonton filmnya nanti.
Sekali lagi, Everest adalah film
yang pantas kita tunggu tunggu, dari segi tokoh, efek, tampilan, dramatisasinya pasti bagus, walau
mungkin film ini sudah tidak lagi menggambarkan kejadian yang sebenarnya.
Salam.
Please share if you like this
article
Artikel terkait : Lima film pendakian gunung terbaik sepanjang masa.
Artikel terkait : Lima film pendakian gunung terbaik sepanjang masa.
Posting Komentar untuk "Everest vs Into Thin Air : Duo film tragedi kematian di puncak dunia tahun 1996"