Ruh pegunungan dengan kekasihnya
Dalam keriuhan alam raya tempat burung burung terbang
mengangkasa, kawah kawah menggelegar dalam amarah..
Hari ini aku hanya ingin
bertutur, tidak perduli apa kalian menyukainya atau tidak.
Aku ingin bebicara tentang gunung
dan para kekasihnya, puncak puncak tanah tinggi dan orang orang yang menaruh
hati padanya.
Aku ingin bercerita tentang ruh
gunung dan kekasihnya.
Sementara kita lupakan sebentar
carut marutnya keriuhan yang ada, kita lupakan sejenak sampah yang menjadi
masalah di setiap gunung yang dikunjungi, kita lupakan pula barang sebentar
Ranukumbolo yang seolah menjadi pasar dadakan di bulan Ramadhan, atau mari kita
berkedip sedikit dari Segara Anakan
Gunung Rinjani yang seolah telah berubah menjadi tempat kemping yang jorok di atas mayapadanya yang cantik, dan pula
mari kita istirahatkan sejenak pikiran kita dengan kabar Merbabu yang terbakar,
Lawu yang membara, Raung yang meraung, ataupun Bawakaraeng yang menjadi saksi percobaan
perkosaan dan kebiadaban seorang anak muda yang berdandan ala pendaki gunung.
Dan kita juga coba rehat
sejenak dari mendengar lengkingan
Mahameru yang kabarnya kembali berurai air mata, kala seorang dara terkapar di
punggungnya, bersimbah darah, di hempas oleh bebatuan yang tanpa sengaja
menimpanya.
Sekarang mari kita coba memutar
kembali beberapa kisah tentang
pegunungan, mengapa tempat tinggi ini terasa begitu menarik hati, mengapa
puncak puncak terasa begitu terpatri di sanubari. Kita memang bukan orang suci,
namun tempat “suci” ini dan belaian kabut jingganya, dalam garis nirwana yang
membelah, dalam batas horizon yang seolah tidak tergapai, dan dalam lirik lirik
angin kasturi di kibasan angin angin padang tinggi, kita menemukan seolah diri kita
mandi dalam rasa yang khusyu’, kita berkubang dalam keriangan pengabdian, dan
kita menyiram wajah kita dengan air mata penghambaan yang penuh.
Merindukan kawan yang senasib,
yang duduk duduk di puncak batu pegunungan dengan pikiran jauh menerawang, melanglang
buana, menari nari di atas hamparan jagad raya. Ataupun para pendaki yang
bertasbih dalam tiap langkah kaki mereka, bertahmid dalam hembusan nafas yang
lelah, dan juga berdoa dalam kelelahan dan dalam kekurangan kekuatan.
Tidak mudah lagi menemukan jiwa
jiwa luka yang kesembuhannya hanya di atas awan, menemukan jiwa jiwa kesepian
yang menikmati kesendiriannya di balik angin pegunungan, atau mendapatkan tubuh
tubuh kuat dengan ransel besar yang menggelayut di punggungnya, dengan wajah
laksana rampok dari hutan Roban, namun memiliki sebuah hati samudra seperti
Cinderella.
Kami mulai terkikis di tempat di
mana kami dicumbu rayu dulu, kami mulai tersingkir di tanah tanah di mana kami
bermain dengan pikiran seriang remaja, mulai terdorong di mana kami biasa
menghabiskan secangkir kopi sambil membiarkan rambut kami yang lembab oleh
kabut di sapu angin yang kadang kencang dan kadang gemulai.
Mari kita bernostalgia wahai para
penjelajah dengan kemeja berkotak kotak.
Kamukah dulu yang mendaki gunung
hanya untuk membuat gadis cantik ayu seolah kagum melihatmu..?
Atau kamukah dulu yang mendaki
gunung hanya untuk menemani salah satu orang yang diam diam kamu sukai…?
Dan mungkin kamu juga dulu yang
memanggul ransel, menyandang gitar konyol, hanya untuk menikmati malam dingin
di atas puncak beku.
Bahkan aku sendiri masih ingat
dulu, ketika untuk pertama kalinya memanggul ransel, mendaki punggungan bukit
di daerah Datar Lebar hutan gunung Bengkulu, menggunakan celana jeans, dengan
baju kemeja yang dimasukkan, rambut tersisir rapi, dan bau parfum yang bikin
norak, yang semuanya itu aku lakukan, karena ingin menemani seorang gadis
remaja manis yang aku suka.
Aku menggunakan sepatu putih
untuk berolahraga, yang harganya hanya sekitar lima puluh ribu rupiah saat itu,
tanpa kaos kaki, aku berusaha mengikuti langkah langkah orang yang telah ada di
depanku. Kakiku lecet, badanku lelah, tapi aku senang, aku riang, karena hampir
dua harian aku bisa bersama dengan gadis remaja yang aku sukai..
Itu cerita indah dan menggelikan
kawan untuk ku kenang lagi saat ini.
Sebuah perkenalan yang tidak
tulus untuk sebuah perjalanan dan tempat yang telah banyak membuatku banyak
berpikir.
Aku saat itu mungkin tidak banyak
berbeda dengan anak anak kekinian yang mendaki hanya untuk pamer poto di sosial
media , perbedaannya sederhana saja. Jika mereka mendaki untuk menunjukkan
eksistensi diri mereka di dunia maya, maka aku merayap di bukit basah pegunungan
barisan hanya untuk menemani gadis muda yang dulu aku suka..
Kita semua pembelajar kawan, orang
yang mampu berpikir dan berkembang.
Kita boleh berkenalan dengan cara
apa saja dengan ketinggian gunung, dengan motivasi dan tujuan yang beragam
pula.
Namun pesanku, bukalah mata
hatimu.., tarian tarian gunung gunung akan memberimu lebih dari sekedar gambar
yang terekam dalam cameramu, ia akan memberimu jiwa yang terus tumbuh, jiwa
yang banyak berpikir tentang syukur dan pengabdian, jiwa yang syahdu dalam
kepasrahan kepada Yang Maha Satu.
Tempat “sembahyang” kita mungkin
memang sudah berisik, batu pertapaan kita mungkin sudah penuh coretan, dahan
tempat hinggap kita memang mungkin sudah dipatahkan…
Namun kita tidak akan tersingkir
kawan..
Tidak ada yang dapat
menyingkirkan seseorang dengan jiwa dan ruh gunung ada di dalam dirinya, jiwa
damai ketinggian kabut akan tetap bersama dirinya, ruh ruh nyayian terjal bebatuan
akan terus membelai hatinya, walau mungkin, mereka telah lama tidak berjumpa..
Tidak ada yang dapat
menyingkirkan pegunungan dengan kekasihnya..
Salam.
Membaca ini membuatku ingin menanggis... Aku merindukan heningnya tempatku bertafakur... Merindukan damainya tempatku berebah.. Merindukan indahnya tempatku merindukanMU...
BalasHapus