Perjalanan Ke Puncak Sulawesi : Bagian Dua
Untuk membaca cerita sebelumnya klik disini
Setelah sebelumnya saya menceritakan mengenai persiapan pendakian, perjalanan menggunakan kapal laut Queen Soya menuju kota Pare Pare, saya akan melanjutkan cerita ini saat kami telah tiba di kampung Karangan, desa tertinggi di kaki gunung Latimojong.
***
Setelah sebelumnya saya menceritakan mengenai persiapan pendakian, perjalanan menggunakan kapal laut Queen Soya menuju kota Pare Pare, saya akan melanjutkan cerita ini saat kami telah tiba di kampung Karangan, desa tertinggi di kaki gunung Latimojong.
***
Sekitar
pukul 14:00 WITA kami memulai pendakian, bertolak dari kampung Karangan menuju
Pos I, sebelumnya telah diputuskan bahwa kami harus menambah satu orang porter
sekaligus bertindak sebagai guide, keputusan ini diambil setelah melihat
kondisi barang yang harus kami bawa dan juga stamina beberapa anggota yang
sepertinya butuh back up jika terjadi sesuatu di atas sana. Maka salah satu
penduduk yang sangat mengenal kondisi medan dan gunung Latimojong pun ikut
bersama team kami, bang Ipang, demikian kami semua memanggilnya.
Bang
Ipang adalah salah satu penduduk kampung Karangan, dibalik badannya yang tegap
dan kekar, bang Ipang memiliki sikap yang ramah,dan suka menolong, meskipun
bang Ipang sendiri bukan penduduk asli
kampung ini, namun karena isterinya adalah asli keturunan kampung Karangan dan
memiliki beberapa ladang kopi di sini, bang Ipang pun memutuskan untuk tinggal
di kampung Karangan ini, dan serius menekuni pekerjaannya sebagai seorang
petani kopi. Disamping kesibukan beliau berkebun dan berladang, bang Ipang pun
terkadang mencari rotan atau berburu ke hutan Latimojong. Karena seringnya
beliau melakukan hal itu, tidak mengherankan kalau mas Ipang sangat mengetahui
seluk beluk rimba belantara Latimojong ini, hingga beberapa regu pendaki yang
berkunjung ke gunung Latimojong seperti kami, membutuhkan jasa bang Ipang untuk
membantu mengantarkan ke puncak tanah Sulawesi ini.
“
tidak bisa kita berangkat besok pagi Sabtu dan menginap langsung di pos 7 mas
Anton,, jauh lho itu...” ujar mas Ipang mengkoreksi rencana pendakian kami
dengan logat bugisnya yang kental.
“
sebaiknya, menurutku.. kita berangkat saja siang ini sampai pos 2 dan bermalam
disitu, besok pagi baru kita lanjutkan sampai pos 7..” lanjut mas Ipang lagi
memberi usul.
Setelah
banyak berdiskusi dengan bang Ipang sebelum memulai pendakian, ditambah lagi
dengan evaluasi saat hiking dari kampung Rante Lemo ke Kampung Karangan tadi
pagi, maka diputuskan target hari ini adalah bisa mencapai Pos dua dan menginap di sana, seperti saran mas
Ipang.
Serangan
Sekumpulan Tawon
Pendakian
berjalan sangat lambat, beberapa anggota team bahkan bergerak sangat pelan dan
lambat, setelah hampir satu setengah jam kami baru bisa mencapai Pos satu, Pos
satu gunung Latimojong ini letaknya di perbatasan antara perkebunan kopi
penduduk dan hutan kaki gunung, memang mayoritas penduduk daerah ini bermata
pencaharian sebagai petani kopi, sehingga tidak mengherankan perjalanan dari
desa Karangan hingga pos 1 sekelilingnya di dominasi oleh hamparan tanaman kopi. Jalur
yang di lalui adalah jalan setapak yang bagus, yang sering digunakan penduduk
berlalu lalang, di beberapa tempat mengalir memotong jalan setapak beberapa
aliran kecil air yang jernih dan segar.
Sesaat sebelum memulai pendakian
Selanjutnya
perjalanan dari pos satu menuju pos dua memakan waktu lebih lama lagi, sehingga
tibanya di pos dua hari sudah sangat sore, bahkan sudah nyaris gelap. Kami
tidak memiliki banyak waktu untuk mendirikan tenda. Ada juga kejadian yang
kurang baik ketika perjalanan dari pos satu menuju pos dua ini, pada sebuah
lintasan yang mendaki terdapat sebatang pohon yang sudah tumbang besar
merintangi jalan, kayu ini sudah lapuk, dan entah bagaimana kejadiannya ketika
lima orang pendaki pertama melintasinya tak ada masalah, namun ketika dua orang
pendaki terakhir melintas di dekat pohon tumbang ini, segombolan tawon tanah
tiba tiba saja menyerang, dan alhasil, dua anggota itu berlari secepat mungkin
meninggalkan tempat itu sehingga daypack salah satu anggota team tertinggal di
situ. Saya berusaha mengambil tas tersebut, bukannya berhasil malah saya juga
ikut disengat. Akhirnya tas itu bisa diambil oleh mas Anto kembali dengan mengorbankan
beberapa bagian badannya bengkak disengat tawon.
Perjalanan
dari pos satu ke pos dua ini sebenarnya tidak banyak menanjak, mungkin hanya sekitar
di tujuh ratus meter pertama selepas pos satu perkebunan kopi tadi, jalurnya
menanjak hingga dua ratus meter diatas
kayu besar tempat sarang tawon pemarah itu berada. Selepas tanjakan itu, jalur
lebih banyak melipir menyusuri sisi jurang, dan saya juga tidak tahu persis
mengapa kami membutuhkan waktu sangat lama sekali melewatinya, hampir tiga jam
lebih. Salah satu tanda yang mengisyaratkan bahwa kami telah mencapai pos dua
adalah bunyi arus sungai yang deras, serta jalur melipir yang mulai terus
menurun, hingga akhirnya kami tiba di pos dua menjelang magrib itu.
POS DUA
Pos
dua gunung latimojong ini letaknya di tepi sungai yang berair sangat dingin,
pernah kami coba ukur dengan thermometer suhu airnya nyaris mencapai minus 5C’
di subuh hari. Tidak banyak tempat tersedia di pos dua ini untuk mendirikan
tenda, bahkan jika kita membawa tenda regu dengan kapasitas tujuh orang lebih,
maka kita tak akan bisa menggunakannya dengan leluasa di sini, karena hanya ada
tiga tempat datar yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda di Pos dua ini,
semuanya berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m, bahkan di tempat satunya yang berada persis di tepi sungai, semua
permukaan adalah bebatuan keras yang jika tenda dengan pondasi penguat pasak,
kondisi ini akan cukup menyulitkan. Dua tempat lainnya lumayan datar dengan
permukaan tanah di atasnya, dua camping ground ini persis berada di bawah batu
besar legendaris diatas pos dua, hanya bisa satu tenda berdiri di masing masing camp ground
tersebut.
Setelah
makan malam semua anggota team berkumpul lagi untuk evaluasi pencapaian
pendakian hari ini tadi, mas Ipang banyak memberi masukan teknis agar kami
semua dapat mencapai puncak, juga sekaligus bisa bergerak lebih cepat. Setelah
evaluasi dan ada beberapa perubahan strategi mengenai pendakian besok, hampir
semua anggota team terlelap kelelahan di tenda masing masing, hanya saya dan
mas Sugeng yang sukar memejamkan mata, ini bisa dipahami karena tenda kami di dirikan
di atas permukaan batu yang tidak rata, juga tenda ini kapasitas satu orang
namun kami isi berdua, kenyamanan tidur dan mimpi indah hanya ada dalam angan
kami saat itu.
Menyiapkan tenda di hari yang hampir gelap di pos dua
Lintasan Pos Tiga
Sesuai
kesepakatan evaluasi tadi malam, maka pendakian hari ini akan dimulai lebih
pagi dan lebih “memaksa”, sekitar pukul 07:00 WITA kami semua sudah selesai
sarapan dan bersiap melanjutkan perjalanan menuju pos tiga. Menurut banyak
sumber yang kami terima sebelum melakukan pendakian ini, jalur terberat pada
pendakian gunung Latimojong adalah pos dua menuju pos tiga ini, karena sejak
lepas dari pos dua tanjakan akan langsung menyambut. Dan, benar saja lima belas
menit selepas dari pos dua, sekujur tubuh kami sudah mandi keringat, tanjakan
ini nyaris tegak lurus, di samping banyak sekali menguras tenaga, menempuh
jalur semacam ini di pagi hari, juga sekaligus sangat menyehatkan.
Sekitar
dua ratus meter dari pos dua, jalur mulai berbelok ke kiri dan tetap saja
menanjak terjal, hanya akar akar pohon dan tanaman liar yang menjadi pegangan
kami selama menempuh jalur ini, selain cadas berbatu jalur ini juga berbahaya
apalagi pada musim hujan yang licin, harus ekstra hati hati melewatinya, jalur
yang di tempuh ini bukanlah punggungan gunung, tapi benar benar melipir
melewati sisi terjal tebing, seperti teknik traverse pada kegiatan rock
climbing, ataupun via verrata tanpa dilengkapi safety line, sebelah kanan kita
adalah tebing dan sebelah kiri adalah jurang lepas, namun perbedaannya,
terdapat banyak pegangan berupa akar pohon, tanaman dan bebatuan, dan jurangnya
pun tidak terlihat “lapar” karena tertutup kanopi hutan yang lebat.
Secara
pribadi saya juga heran, senang dan kagum dengan semua anggota team pendaki
hari ini. Jauh berbeda dengan kemarin, pagi ini kami mendaki dengan cepat dan
tangkas, laki laki, perempuan, pendaki yang sudah terbiasa mendaki, maupun pendaki
yang baru saja memulai gunung pertamanya
disini melangkah dengan lincah dan cekatan, saya pikir anggota team telah
menemukan ritme langkah masing masing. hingga setelah satu setengah jam beranjak
dari pos dua, kami sudah tiba di pos tiga dan beristirahat.
Merayapi lintasan terjal selepas pos dua
Pos Tiga dan Gelang Rotan
Tak
ingin banyak membuang waktu di pos 3, setelah rasa lelah berkurang kami segera
melanjutkan pendakian menuju pos 4, jarak tempuh dari pos 3 ke pos 4 tidak
terlalu jauh, selain itu juga medannya sangat bervariasi, kadang terjal dan kadang
banyak juga landainya.
Ada
satu hal yang menarik saat beristirahat di pos tiga ini, bang Ipang dalam
kepulan asap rokoknya, sibuk membersihkan rotan dan menggulungnya menjadi
semacam gelang..
“
Buat apa bang rotannya..? “ beberapa teman tak dapat menahan rasa ingin tahunya
segera mengajukan petanyaan.
“ Ini
rotan, menurut kepercayaan masyarakat disini, sebagai tanda kita untuk masuk
kawasan hutan Latimojong agar tidak diganggu penjaga daerah sini to...
“ jawab bang Ipang sambil terus meraut rotan ditangannya.
“
Ya boleh percaya, boleh juga tidak tho., tapi ini sudah jadi kepercayaan orang
sini “ sambung bang Ipang lagi menambahkan.
“
ya nggak ada salahnya juga kok,
gelangnya juga bagus.. “ sambung beberapa teman yang lain sambil mengambil
beberapa gulungan gelang rotan yang telah dibuat oleh bang Ipang.
Kepercayaan tentang mitos,
mistis, tabu, pamali, atau apapun sebutan yang biasa digunakan untuk sebuah
kepercayaan masyarakat yang kaitannya erat dengan dunia gaib yang tidak
dapat dijangkau logika, memang merupakan
sesuatu yang menarik dan menggelitik untuk disimak. Pada umumnya memang setiap
daerah di Indonesia, khususnya sebuah gunung, selalu memiliki cerita mistisnya
sendiri sendiri. Seperti gunung Latimojong ini yang juga banyak menyimpan
cerita mistis dan cukup untuk membuat bulu kuduk merinding, contoh jelasnya
persis seperti yang barusan bang Ipang praktekkan tentang gelang rotan itu.
Bahwa berkembang kepercayaan
dari masyarakat kaki gunung Latimojong ini yang diwariskan secara turun
temurun, bahwa jika seseorang ingin memasuki kawasan belantara yang lebat
gunung ini harus menandai dirinya dengan sebuah rotan yang biasanya dibuat
dalam bentuk gelang. Gelang rotan menurut kepercayaan masyarakat dapat menjadi sebuah
tanda bahwa orang yang mengenakannya tersebut adalah bukan orang asing, dan
merupakan sahabat bagi para penunggu
gunung Latimojong, dengan demikian para penunggu
gunung yang merupakan mahluk – mahluk tak kasat mata diharapkan tidak akan
bertindak jahat kepada orang tersebut, demikian kepercayaan yang berkembang.
Dan masih menurut bang Ipang, kepercayaan ini diperkuat dengan beberapa
kejadian tentang orang-orang yang hilang, tersesat, terluka, kesurupan atau
kejadian tidak baik lainnya saat mengunjungi gunung ini, karena orang orang
tersebut menolak menggunakan gelang rotan, Wallahu’alam.
Sebagai seorang pendaki gunung
dan penjelajah, hendaknya kita dapat menyikapi hal semacam ini dengan bijaksana
dan arif. Kegiatan mendaki gunung, melintas rimba, menembus belantara dan
savana, tentu saja adalah sangat banyak bersinggungan secara langsung dengan
berbagai kepercayaan pada daerah daerah yang dikunjungi tersebut, sehingga
kebijaksanaan kita dalam bersikap sangat dituntut. Kebijaksanaan yang dapat
ditoleransi
Kembali
ke jalur pendakian...
Team
pendaki bergerak tak kenal menyerah, meski kadang harus jatuh dan terseok seok melangkah.
Sepanjang jalur suara dan aroma hutan yang khas menemani, karena tidak seperti
pegunungan di Jawa, yang jalurnya sudah banyak terbuka sehingga menghadirkan
view yang luas membentang di sepanjang perjalanan, di gunung Latimojong ini
kita tidak akan dapat memperoleh panorama yang memukau sebelum kita mencapai
pos tujuh, jadi selama perjalanan dari pos satu hingga pos tujuh perjalanan
kita hanya akan menyusuri hutan dengan kanopi tebal dan basah.
Istirahat di pos tiga
***
Bersambung ke Bagian Tiga
Posting Komentar untuk "Perjalanan Ke Puncak Sulawesi : Bagian Dua"