Kesombongan Membunuhku Di Mahameru : Bagian Enam
Baca cerita bagian sebelumnya disini
Tiba dipuncak bukanlah akhir dari kisah pendakian ini, saya akan menceritakan kembali proses perjalanan turun yang berat, juga beberapa hal yang menjadi inti dari kisah ini yang merupakan pelajaran pelajaran hidup yang Insya Allah akan bermanfaat untuk kita fahami.
Semoga pembaca tidak bosan membacanya ya...
***
Cerita perjalanan pendakian Mahameru selesai sampai disini.
Tiba dipuncak bukanlah akhir dari kisah pendakian ini, saya akan menceritakan kembali proses perjalanan turun yang berat, juga beberapa hal yang menjadi inti dari kisah ini yang merupakan pelajaran pelajaran hidup yang Insya Allah akan bermanfaat untuk kita fahami.
Semoga pembaca tidak bosan membacanya ya...
***
Diringkus
lelah di jalur Ayik Ayik
Perjalanan turun
dari puncak Mahameru berjalan cepat, sekitar jam 09:00 pagi kami sudah tiba
kembali di basecamp Kalimati, kami adalah tim yang pertama kali turun dari
puncak Mahameru, selama perjalanan turun sepanjang tanjakan terjal Mahameru
tadi, kami banyak berjumpa dengan pendaki pendaki lain yang masih berjuang
keras meraih puncak impian mereka, ada yang masih merangkak, ada yang terengah
engah tak dapat menjawab ketika kami menyemangatinya, dan ada juga memilih
menyerah, dan duduk di atas tanah di dekat tenda teman teman dari Bandung tadi.
Kelelahan yang amat
sangat langsung membuat kami terlelap sesampainya di Kalimati, bahkan saya, mas
Sugeng dan mas Theo, tergeletak di luar tenda karena kelelahan. Perubahan
drastis temperatur dari dinginnya puncak Mahameru ke Kalimati yang sedikit
lebih hangat membuat tubuh meriang dan
serasa akan demam. Kurang lebih satu jam kemudian kami terjaga, sambil
mempersiapkan makan pagi, kami packing untuk melanjutkan turun menuju Ranu
Kumbolo.
Langkah pulang
terasa lebih cepat, selalu saja begitu di setiap pendakian. Namun Allah SWT
yang maha menguasai segala sesuatu berkenan memberi kami kesan lain saat
perjalanan turun dari gunung Semeru. Dalam perjalanan turun kali ini, tepat di
Cemoro Lawang, hujan mengguyur dengan derasnya, kami tunggu cukup lama namun
tak reda juga. Diputuskan akhirnya, kami akan meneruskan perjalanan menuju Ranu
Kumbolo ditengah guyuran hujan.
Rain cover untuk carrier,
rain coat, segera dikenakan, namun itu tak banyak berarti, melewati Oro oro
Ombo yang jalannya seolah telah menjadi selokan, sepatu yang waterproof pun,
penuh air yang masuk dari bagian atasnya. Tiba di Ranu Kumbolo kami semua sudah
lumayan basah kuyup, rain coat dengan kualitas yang belum benar benar memenuhi harapan,
ditembus dengan sempurna oleh guyuran hujan yang luar biasa deras.
Di Ranu Kumbolo ada
sedikit perdebatan diantara kami, apakah akan terus menuju Ranupane ataukah
akan menginap di Ranu kumbolo. Melihat kondisi badan yang sudah basah kuyup,
beberapa bagian tas juga sudah ikut basah, sedangkan hari masih lumayan siang,
masih sekitar pukul 14:00 WIB saat itu, maka diputuskan kami akan melanjutkan
perjalanan turun menuju Ranu Pane setelah sholat dzuhur, dan sesuai usul mas
Theo, jalur turun kami tidak akan menempuh seperti jalur pendakian dari Watu
Rejeng tempo hari, namun akan melalui jalur Ayik Ayik, sebuah jalur spektakuler
yang singkat namun terjal. Sebelumnya di Ranu Kumbolo. Sholat dzuhur dilakukan
dalam shelter yang dilapisi matras dan dalam kondisi pakaian yang lumayan
basah.
Jalur Ayik Ayik
dimulai dengan berbelok ke arah kiri sebelum mencapai bibir danau Ranu Kumbolo
dan tanjakan menuju view point pintu masuk Ranu Kumbolo dari jalur Watu Rejeng.
Dari Ranu Kumbolo jalur Ayik Ayik dibuka dengan melewati padang savana yang tak
kalah indahnya dengan Oro Oro Ombo, padang savanna ini sering disebut dengan
nama Pangonan Cilik, bedanya di sini
dengan Oro Oro Ombo adalah medannya lebih variatif, ada menurun, naik, berundak
lalu bukit kecil, pokoknya indah. Sayangnya kami tak bisa menikmati semua
suguhan alam luar biasa ini karena selain lelah, hujan juga tak henti hentinya
mengguyur.
Selepas padang
savana, kami melipir ke kanan dan mendaki terus, terus dan terus hingga tiba di
ujung bukit paling tinggi. Tak banyak yang kami bicarakan di sini, hujannya
yang tak kunjung reda, rasa lelah yang luar biasa, dingin yang menggigit
membuat semuanya larut dalam kecamuk pikiran masing masing. Saya berada di
depan dalam perjalanan pulang yang mendaki terjal ini. Jalan licin dan becek
kadang membuat kami terjengkang karena terpeleset, mas Haris yang paling sering
mengomel, bagaimana tidak, melewati jalur ini salah satu kuku di jari kakinya
terlepas. Mas Sugeng hanya diam berjalan terus dengan senyum pahit, setelah
sampai di puncak bukit jalur ayik ayik baru ia katakan, sebenarnya ia hampir
saja ingin membanting carrier untuk melepaskan rasa lelahnya, mas Theo tak
hentinya memberi semangat, mengatakan bahwa sedikit lagi sampai Ranu pane, dan
saya, sayapun hanya bisa tersenyum juga sambil meringis menahan dingin dan
lelah.
Senyum
menjadi mahal saat memilih pulang via jalur ayik ayik disaat hujan deras
Setelah melewati
tanjakan panjang tadi, dan tiba di puncak bukit jalur ayik ayik ini maka
perjalanan selanjutnya adalah turunan terus, tidak ada lagi tanjakan hingga
tiba di pinggir hutan dan masuk ke areal perkebunan sayuran penduduk Ranu Pane.
Jalur semacam ini adalah favorit bagi mas Haris dan mas Theo, mereka berdua
melaju dengan cepat menembus hujan dan rumput basah, namun ini berita buruk
buat saya, saya kurang menyukai jalur turun dan sering tertinggal.
Mendekati gelap
kami sudah sampai di pinggir hutan lalu memasuki perkebunan sayur penduduk,
hujan masih saja mengguyur tak henti hentinya, ternyata rumah yang menjadi base
camp Jayameru Malang jaraknya juga tidak dekat dari tepi hutan ini, langkah
yang mulai terseok seok dipaksa untuk terus melaju, gelap sudah merambat, kami
harus bergegas, pokoknya cepat sampai, cepat istirahat, dan tentunya juga cepat
mengisi perut. Rasa lapar yang melilit juga menjadi penyebab lambatnya kaki
kami melangkah.
Mendekati kawasan perumahan
penduduk, jalur yang ditempuh malah menjadi kian berbahaya, kami harus melewati
tebing tebing dengan kemiringan yang mengerikan, jalan yang diguyur hujan
seharian licinnya bukan main, di kiri dan kanan jalan hanya ada tanaman bawang
daun, wortel, seledri dan kol, bukan jenis tanaman terbaik yang bisa dijadikan pegangan jika saat terjatuh. Tak bisa
dibayangkan jika terpeleset, tentunya kami akan langsung menjadi seperti bola
yang menggelinding hingga ke dasar jurang.
Untungnya semua itu
selesai pada pukul sekitar 07:00 malam, kami tiba dirumah yang menjadi base
camp Jayameru Malang, sambutan yang sangat ramah, teh hangat, perapian yang
menyala, serta makanan yang mengepul, akhirnya tak lama kemudian mengantarkan
kami terlelap dalam istirahat, setelah sebelumnya istirahat dan menjamak sholat
yang tertinggal.
***
Harga sebuah nama baik
Keesokan paginya setelah dirasa cukup beristirahat, kami oleh
mas Theo, di ajak ke sebuah rumah yang cukup besar untuk ukuran kampung di kaki
gunung, di sana kami dijamu layaknya tamu besar oleh Ibu pemilik rumah.
Hidangannya luar biasa nikmat, ada goreng kentang, ikan asin, sambal penyet dan
yang tak terlupakan adalah rasa pedas
yang spektakuler dari buah cabe Ranu pane, rasanya gila, pedas sekali.
Keramah tamahan penduduk
dan acara makan makan di sini adalah juga merupakan buah kepercayaan penduduk
terhadap nama baik Jayameru Malang yang tak akan bisa kami lupakan.
Sambil menunggu
kedatangan pak Imron dari Tumpang untuk menjemput kami kembali, yang diperkirakan
akan tiba sekitar tengah hari nanti, kami kembali ke base camp Ranu pane untuk
melaporkan kepada petugas pos bahwa kami telah turun gunung. Di pos Ranupane
kami juga mampir ke toko souvenir Arcopodo yang persis berada di samping pos
pendakian, dan membeli beberapa cinderamata.
Salah satu hal yang juga menarik perhatian kami ketika di pos Ranupane
adalah sebuah kertas yang ditempel di papan dekat loket registrasi pendakian,
kertas itu berisi daftar nama nama para pendaki yang meninggal dan terluka di
gunung Semeru, hampir 50 nama tertulis di atas kertas itu, mulai dari nama
besar Soe Hok Gie hingga Lisyono Putra yang baru saja meninggal beberapa bulan
lalu di Ranu Kumbolo. Ada rasa ngeri dan kecil sekaligus melihat barisan daftar
nama itu.
Daftar
nama para pendaki yang terluka atau meninggal saat mendaki gunung Semeru
Keheningan
Ranu Regulo
Dari base camp
pendakian Ranupane, oleh mas Theo kami diajak menuju sebuah tempat yang juga
tidak kalah menarik, lokasinya tidak jauh dari pos pendakian, mungkin hanya
sekitar 500 meter mengikuti jalan setapak belakang pos yang sudah dilakukan
pengerasan. Tempat ini indah namun kurang terawat, sepi, hening, dan
menenangkan, ada sebuah rumah singgah buat turis di sini, namun saya tak
melihat ada orang di dalamnya, baik orang yang menginap maupun orang yang
mungkin disewa untuk merawat rumah singgah tersebut.
Tempat ini juga
menawarkan eksotisme panorama danau yang jernih, hening, dan tenang. Tempat ini
dinamakan Ranu Regulo, lama kami menikmati tempat ini dengan minum dan
menyantap makanan ringan di sebuah anjungan yang menjorok ke dalam danau,
secara pribadi saya sangat menyukai tempat ini, Ranu Regulo adalah tempat yang
sangat nyaman untuk bermuhasabah dan menenangkan diri dari persoalan hidup di kota
yang mungkin tak ada habisnya. Bukit bukit kecil dengan belukar hijau yang
masih lebat mengelilingi danau menjadikan tempat ini asri dan natural sekali.
Menikmati
panorama Ranu Regulo yang mendamaikan
Hari beranjak
tengah hari memaksa kami untuk segera meninggalkan Ranu Regulo, takutnya pak
Imron sudah menunggu. Dari Ranu Regulo kami berjalan menyusuri jalan desa Ranu
pane, melewati masjid Al Barokah dan juga melewati anak anak yang sedang
bermain di jalan desa dekat bangunan masjid. Penduduk di sini hidup penuh dengan
toleransi dan damai, karena tak jauh dari masjid Al Barokah berdiri sebuah
rumah yang dijadikan gereja oleh penduduk yang memeluk kepercayaan kristiani,
tak jauh dari itu seperti yang saya gambarkan diawal, berdiri juga bangunan
Pure yang menjadi tempat ibadah umat
hindu, mereka hidup berdampingan dengan saling menghargai dan menghormati.
Tidak lama setelah
kami tiba di rumah basecamp Jayameru tempat kami menginap tadi malam, pak Imron
datang menjemput kami, bersama anak lelakinya, pak Imron dengan ramah menegur
kami dan menanyakan tentang pendakian kami kemarin. Proses berpamitan kepada
pemilik rumah yang baik hati, ibu yang memasakkan makanan nikmat untuk kami
berlangsung singkat, namun di hati kami,
mengguratkan kesan yang dalam dan indah. Kebaikan dan keramah tamahan mereka
abadi dalam ingatan.
Terimakasih Jayameru Malang
Perjalanan dari
Ranupane menuju Tumpang berlangsung singkat, singkat bukan dari waktunya, namun
dari kesan yang ada, kami masih melewati rute yang sama seperti waktu berangkat
kemarin, masih melewati Bandungan yang indah, bersama penduduk yang menjual
hasil panennya ke Tumpang, melewati kebun apel yang ranum. Namun semua itu,
sudah tidak maksimal bisa dinikmati, kelelahan dan rasa kantuk, ditambah
goyangan truk pak Imron meniti jalanan yang berliku dan turun naik sempat
membuat saya tertidur di antara tumpukan carrier dan karung sayuran.
Sekitar pukul 16:30
kami sudah tiba di Tumpang kembali, kali ini langsung diantar pak Imron ke
jalan raya Tumpang – Malang, tak menunggu lama dari sini kami langsung
melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkot menuju Malang. Di Malang, oleh
mas Theo kami di bawa ke rumah salah seorang anggota senior Jayameru Malang,
sekali lagi kami sangat tersentuh dengan semua perlakuan dan keramah tamahan
mereka selama kami bertamu. Begitu mendengar kedatangan kami yang baru saja
turun dari Semeru bersama mas Theo, beberapa anggota senior Jayameru datang
berkunjung dan bersilaturahmi dengan kami, beberapa orang bahkan ikut menemani
hingga kami pulang meninggalkan kota Malang.
Dan inilah salah
satu ciri khas dari sebuah kedewasaan
dalam dunia petualangan dan pendakian gunung, tidak ada sikap gengsi,
merasa lebih tahu, dan lebih hebat yang terlihat dalam diri mereka, hanya ada keramah
tamahan yang tulus, dan semangat berbagi yang saling menghargai dan
menyenangkan.
Karena begitulah
seharusnya dunia dilihat, pengertian sahabat tidak hanya ditulis dalam serangkaian
puisi dan kata kata manis semata, namun sungguh-sungguh terbersit dalam pertemuan
dan keakraban yang tulus terjalin, serta keinginan untuk saling memberi manfaat
dan menolong. Kami belajar banyak dari saudara saudara di Jayameru Malang,
dengan tulisan ini juga saya mewakili mas Sugeng dan mas Haris, dan atas nama
Arcopodo Adventure Club, sekali lagi kami mengucapkan terimakasih kepada
Jayameru Malang.
Keesokan harinya
kami berpisah, meninggalkan kenangan indah pendakian Mahameru bersama Jayameru
Malang, mas Sugeng segera bertolak pulang ke Kalimantan sore harinya, saya dan
mas Haris melanjutkan pendakian menuju ke gunung Merapi di Jawa Tengah, kisah
pendakian ke Merapi ini akan saya tulis pada bagian lain.
Tamat.
Cerita perjalanan pendakian Mahameru selesai sampai disini.
Namun pelajaran dan hikmah terpentingnya, saya ceritakan pada bagian berikutnya disini.
Posting Komentar untuk "Kesombongan Membunuhku Di Mahameru : Bagian Enam"