Perjalanan Ke Puncak Sulawesi : Bagian Empat. Terakhir.
Untuk membaca cerita sebelumnya klik disini
Setelah perjalanan dari awal persiapan hingga langkah akhir menuju puncak telah saya ceritakan pada bagian pertama, maka inilah rekam perjalanan di atas puncak Sulawesi yang kami ziarahi, perjalanan turun, perjuangan untuk tiba di kota Barakka kembali, serta beberapa helai cerita lain yang mengiringi kami sesudahnya...
*****
View
kedamaian puncak Latimojong
Tanah pulau Sulawesi di lihat dari puncak
Rante Mario
*****
PERJALANAN PULANG DAN MIMPI BURUK
Sebenarnya
setelah sampai dipuncak, saya ingin segera mengakhiri cerita pendakian Arcopodo
Adventure Club ke gunung Latimojong ini, karena seperti pada cerita pendakian
gunung pada umumnya, cerita berakhir pada puncaknya, pada saat pendaki sukses
menjejakkan kaki mereka di titik tertinggi sebuah gundukan besar yang disebut
gunung. Namun ternyata pada petualangan dan perjalanan pendakian kali ini,
Allah Yang Maha Merencanakan segala sesuatu, berkenan memberi kami pelajaran
dan ilmu lebih banyak dari yang kami kira. Setelah mencapai puncak Rante Mario,
titik tertinggi di gunung Latimojong, ternyata petualangan ini belumlah usai...
Turun dari
puncak Rante Mario, kami mulai mengemas semua perlengkapan kedalam carrier,
membersihkan camping ground yang digunakan tadi malam. Perjalanan turun,
menurut bang Ipang ada dua pilihan, bisa melalui jalur yang sama seperti saat
mendaki kemarin, atau bisa melalui jalur Nememori, rute ini lebih panjang
menurut bang Ipang, melipir jauh ke arah
timur. Namun kami sama sekali tak tertarik menjajal jalur Nememori itu, yang
kami inginkan adalah segera tiba di kampung Karangan, dan istirahat, lalu
pulang, itu saja.
Perjalanan
turun berlangsung lebih cepat, sekitar jam 16:00 WITA semua anggota team sudah
tiba kembali dengan selamat di kampung Karangan, walaupun sejak lepas dari pos
2 sebagian besar anggota pendaki disiram air hujan gunung Latimojong yang
lumayan deras.
Sambil beristirahat, di sini kami disuguhi
makanan enak, berupa daging hewan hasil
buruan penduduk kampung Karangan, juga diajari cara membuat gelang dari rotan
yang di anyam oleh penduduk, sedikit lebih rumit daripada gelang rotan yang
dibuat bang Ipang di pos tiga tempo hari, moment ini juga merupakan bagian yang
saya sukai, misi pendakian sebuah gunung bukan hanya cerita tentang pencapaian
puncaknya, namun juga berisi banyak cerita tentang pendekatan dengan masyarakat
sekitar, mengenal sosiologi, dan kehidupan mereka dari dekat. Mendaki gunung
lebih lengkap rasanya jika selain mencapai puncaknya dengan selamat, kita juga
menjadi lebih mengenal dan memahami penduduk sekitar gunung tersebut.
Menikmati
hidangan penduduk Karangan setelah turun gunung
Esok paginya
sekitar jam 10:00 WITA, setelah berpamitan dengan warga kampung Karangan, perjalanan hiking menuju
kampung Rante Lemo dimulai, bang Ipang ikut mengantar kami sampai kampung Rante
Lemo, cepat sekali terjalin keakraban diantara kami dengan bang Ipang, sehingga
beliau tidak tega membiarkan kami keluar dari kampung Karangan tanpa ikut
mengantar, dan membantukan membawa beban carrier meski hanya sampai kampung
Rante Lemo saja.
Harapan Off Road yang Gagal Total
Sekitar jam 11:00
WITA kami sudah tiba kembali di Rante Lemo, di rumah tempat kami menginap
sebelum mendaki tempo hari. Sang Ibu pemilik rumah benar benar menyentuh hati
kami dengan sikap dan perlakuannya, hanya kenal beberapa hari saja, beliau
sungguh-sungguh menganggap kami layaknya keluarga sendiri, beliau juga
bercerita lebih banyak tentang putranya yang juga suka mendaki gunung dan
sekarang sedang menuntut ilmu di Makassar itu. Kami dipersilahkan untuk memasak
sendiri di dapur rumahnya yang
sederhana, kegiatan ini kami lakukan dengan sangat senang hati, ada yang
mencuci beras dan mengulek sambal, ada yang membersihkan ikan, ada yang mencuci
sayuran dan ada pula yang hanya mencuci piring sambil bercanda mengobrol dengan
Ibu sang empunya rumah.
Yang
menjadi kepala koki dalam acara gotong royong memasak ini adalah mbak Farsiti,
salah satu anggota team pendaki sahabat Arcopodo yang juga kebetulan sedang
tinggal di kota Sangatta, mbak Farsiti bukanlah type petualang yang gemar
menjelajah kemana mana, namun ketika mbak Eva mengajaknya untuk menyambangi
puncak tertinggi di pulau Sulawesi ini, sulit bagi mbak Farsiti untuk
melewatkannya begitu saja.
Di
kota Sangatta, mbak Farsiti juga bekerja sebagai salah satu juru masak di
sebuah rumah makan, jadi tidak mengherankan, lezatnya masakan dengan bahan baku
sederhana, dalam suasana perkampungan Rante Lemo yang damai, ditambah hangatnya
ke akraban diantara kami, membuat makanan yang tersaji dilahap dengan sempurna.
Sebelum magrib
kami semua sudah bersama pemilik rumah
duduk mengelilingi hidangan hasil gotong royong memasak tadi, makan terasa
nikmat sekali. Kami pikir malam ini kami akan kembali menginap di sini, karena
hingga waktu sholat isya tiba, belum ada mobil yang naik ke kampung Rante Lemo,
apalagi sejak siang tadi hujan mengguyur tiada henti. Namun ketika harapan
untuk bisa turun ke Barakka malam ini mulai lenyap, tiba tiba terdengar raungan
mesin sebuah mobil four wheel drive yang
datang, saya tidak pasti jenis apa mobilnya waktu itu, bodynya seperti strada
triton, ranger, hilux atau sejenisnya.
Sambil menunggu mobil itu membongkar muatannya kami mulai berkemas dan bersiap,
senyum tersungging di masing masing bibir tiap anggota, perjalanan kali ini
akan lebih nyaman pikir kami, akan
berbeda dengan truk yang kami tumpangi sewaktu perjalanan naik beberapa hari
yang lalu.
Setelah
semuanya selesai, kami berpamitan kepada Ibu pemilik rumah, juga kepada mas
Ipang yang ikut mengantarkan kami hingga ke Rante Lemo, suasana haru segera
mendominasi, Ibu pemilik rumah melepas kepergian kami dengan air mata berurai,
layaknya seorang Ibu melepas kepergian anaknya yang akan pergi jauh. Ketulusan
ibu itu sungguh membekas dalam benak kami. Semoga Allah senantiasa merahmati
beliau.. aamiin.
***
Perjalanan
dimulai, semua berjalan lancar pada awalnya, jalan yang berlumpur menambah serunya perjalanan pulang
kali ini, mobil meliuk kesana dan kemari, menderu menyemburkan lumpur dari
cipratan roda belakangnya, khas serunya olahraga off road.
Namun keadaan
berubah drastis ketika sekitar tiga kilometer kami telah meninggalkan Rante Lemo, ada hal yang tidak
beres dengan mobil yang kami tumpangi, setiap melewati tanjakan berlumpur yang
seharusnya menjadi medan favorit sebuah mobil 4 x 4, mobil itu meraung raung
tak mampu bergerak, dan itu terjadi berkali kali terjadi, setelah ditanyakan ke
pengemudinya, mengapa bisa demikian..
“ iya, dobol
depannya sudah dilepas tadi...” jawab sang pengemudi dengan entengnya. Dobol
adalah istilah yang biasa dipakai penduduk daerah ini untuk menyebut mobil
dengan penggerak roda ganda, atau double gardan.
Great...,
hebat...!!!
Pantas saja
mobil merayap seperi kecoak di jalan seperti ini, hujan yang menyirami hampir
tiap hari membuat jalan tanah kian parah berlumpur dan licin. Kami pikir
sebelumnya perjalanan pulang dengan mobil ini akan sangat menarik, akan banyak
guncangan, teriakan seru, dan manuver manuver keren. Ternyata kami keliru, kami
tidak diberitahu jika penggerak roda depannya sudah dilepas, jadilah kami
melintasi jalan tanah terjal, licin, dan curam ini, dengan menumpangi sebuah angkot dalam balutan body pajero sport dakkar.
“ iya ndak bisa lah,, jalan hancurnya seperti
ini, penggerak engine untuk roda
depannya dilepas, kecil kemungkinan kita bisa sampai ke Barakka malam ini..”
mas Haris memberi penjelasan kepada kami tentang kondisi aktualnya, pekerjaan
mas Haris adalah seorang mantan mechanic alat berat di sebuah perusahaan multi
nasional, saat ini beliau telah menduduki jabatan sebagai seorang supervisor,
jadi hal hal yang berhubungan dengan engine dan otomatif, adalah sesuatu yang
ia lahap setiap hari, hingga
pengetahuannya cukup banyak tentang hal itu.
Selain mas
Sugeng, mas Haris juga adalah salah satu anggota team pendaki dari Arcopodo
club yang juga ikut dalam pendakian ke Semeru dan Merapi tahun 2010 silam,
salah satu karakter khas dari mas Haris adalah sifat setia kawannya yang tinggi,
juga karakter pemberaninya untuk melakukan hal hal yang menurut perhitungan
orang lain berbahaya. Di balik rambutnya yang gondrong, dan kesannya yang
terkadang urakan, mas Haris adalah sosok seorang pemikir yang filosofis,
kegemarannya membaca membuatnya memiliki wawasan yang luas.
Gambaran
urakan dan gondrong dari pribadi mas Haris, adalah tampilannya saat melakukan
pendakian gunung Semeru dan Latimojong, pada tahun 2010 dan 2011 silam. Namun
sekarang, saat catatan pendakian ini saya tulis, mas Haris sudah jauh berubah,
saat ini, beliau adalah ayah dari seorang puteri berusia kurang lebih dua
tahun, suami dari seorang isteri yang sangat memuliakannya. Mas Haris saat ini
adalah seorang pribadi yang religius, memelihara jenggot, dan pada saat tertentu
sering menggunakan gamis, lembut, dan sangat disiplin dalam menjaga ibadahnya
sebagai seorang hamba Allah SWT, juga sangat disiplin dalam rutinitasnya
sebagai seorang pekerja di sebuah prusahaan swasta.
Sungguh segala
puji hanya untuk Allah SWT semata, Tuhan Yang Maha Menguasai setiap hati, dan
Maha Pemberi hidayah kepada siapa yang di kehendaki-Nya.
Kembali ke off
road yang gagal...
Tak ada yang
bisa disalahkan dan disesali, kami semua harus bekerja sama agar keluar dari
situasi ini. semua laki laki turun dari
mobil, bahu bahu mendorong dan menarik mobil, dapat dibayangkan, setelah
mendaki gunung, diguyur hujan deras, hiking dan membawa beban berat, ditambah
lagi jatah tambahan dengan mendorong dan menarik mobil yang mogok di tanjakan penuh
lumpur, pada tengah malam lagi ,, ah ini
benar benar mimpi buruk.
Keluar dari
perangkap lumpur yang satu, terjebak lagi dalam perangkap lumpur berikutnya,
sungguh tak ada harapan untuk bisa sampai kota Barakka besok paginya. Melihat
keadaan itu, kami semua sudah yakin bahwa usaha tarik menarik, dan dorong
mendorong ini tidak akan berhasil, namun konyolnya, sang driver tetap
memaksakan mobilnya untuk bergerak dan bergerak, usaha ambisius itu tak membuahkan
hasil kecuali raungan mesin yang sekarat di tengah malam hujan gerimis, paksaan
itu terus dilakukan hingga ban belakang mobil gembos, namun sopirnya tetap tidak
mau berhenti. Hingga akhirnya karet ban terlepas, dan tinggal velg baja itu saja yang langsung memakan
lumpur, sang sopir pun menyerah dan berhenti, dan kami semua turun, off road
gagal, tamat sudah.
Sambutan Badik dan Singkong Rebus
Selanjutnya
perjalanan dilanjutkan kembali dengan hiking, suasana seperti ini rentan sekali
dengan emosi, amarah, saling menyalahkan satu sama lain. Namun kami sadar,
bahwa dengan saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah, kami harus
tetap bergerak dan bergerak terus. Hiking tengah malam di jalan berlumpur ini
menjadi semakin tegang, ketika perut kami yang lapar, memaksa kami untuk mencoba
mengetuk sebuah warung desa di pinggir jalan yang berada di tengah perkebunan
kopi penduduk, bukannya memperoleh makanan pengganjal perut, kami malah ditemui
oleh empat orang bapak bapak, menatap kami dengan penuh rasa curiga, tangan
mereka di belakang punggung menyembunyikan semacam badik, golok, parang, atau semacam itulah,, mengerikan sekali, dalam kondisi kelelahan dan
kelaparan seperti ini kami dikira perampok, aduh mimpi buruk ini kian lengkap.
Mas Anto
segera tampil di depan, menjelaskan maksud dan tujuan kami dalam bahasa setempat,
tapi tetap saja kecurigaan tak sirna dari wajah bapak bapak itu, lalu mas Anto
memohon pamit untuk meneruskan perjalanan, jalan kaki di malam buta di atas
jalan lumpur itu kembali dilanjutkan.
Sekitar jam
03:00 dini hari kami putuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penduduk, kami
sudah sangat lelah, tak mungkin melanjutkan perjalanan malam ini lagi. Seperti
pengalaman di rumah sebelumnya, disambut badik di balik tatapan curiga, kami
tak ingin hal itu terulang, kami mengetuk beberapa kali, menjelaskan siapa kami
dan maksud tujuan kami, namun tetap tak ada jawaban. Akhirnya kami putuskan
untuk istirahat di serambi rumah itu saja, saya sendiri malah kebagian tidur di
jembatan kecil penghubung antara serambi rumah dan badan jalan di sebelahnya,
setengah kaki saya di halaman tanah rumah yang lembab, karena serambi rumah itu
sudah tak cukup menampung kami semua.
Serambi
rumah tempat kami menginap setelah kegagalan off road tadi malam
Ada sebuah
kejadian yang cukup menggelikan saat menginap di serambi rumah penduduk di
pinggir jalan malam itu, entah bagaimana ceritanya, sekitar jam empat dini hari
saat kami semua terlelap, dalam tidur yang tidak begitu pulas mas haris merasa
ada benda bergerak seolah berusaha menjepit betisnya, ketika ia membuka mata,
yang ia lihat adalah barisan gigi mas Anto dalam yang mulut setengah menganga, mata yang
terpejam, berusaha setengah hati menggigit betisnya, karena kelelahan dan
kantuk yang teramat sangat, mas Haris tidak membangunkan mas Anto, ia hanya
memindahkan posisi kakinya saja.
Keesokan
harinya saat kami semua terbangun, masih dalam balutan rasa lelah, dingin dan
rasa lapar. Mas Haris menceritakan apa yang ia alami tadi malam, sambil mesem mesem mas Anto pun membuka
suara...
“ iya mi, aku mimpi makan singkong rebus tadi malam, ku gigit gigit tapi tidak bisa, ternyata kaki mu mi ... “
Cerita mas
Haris dan keterangan mas Anto pagi itu membuat kami terbahak, dan sejenak
melupakan kelelahan, lapar, serta jalan panjang menuju kota Barakka yang masih
menanti untuk kami lewati hari ini. Dan imbuhan kata mi memang sering digunakan
masyarakat daerah ini pada percakapan sehari hari mereka, yang bisa berarti
imbuhan tambahan penguat maksud seperti imbuhan kan, kok,ya, dan lain lain.
Akhir Perjalanan
Setelah dirasa
cukup beristirahat kami kembali melanjutkan perjalanan hiking menuju kota
Barakka tanpa sarapan, hanya dibekali secangkir teh dan sereal sachet kecil
saja, itupun masih harus dibagi bagi. Tak ada gunanya menunggu mobil di sini, sebaiknya
kami terus berjalan saja, jika memang tak ada mobil yang naik kearah kampung
Rante Lemo,paling tidak kami sudah lumayan bergerak jauh menuju kota Barakka,
demikian pikir kami.
Sekitar pukul
10:00 WITA pagi kami tiba di sebuah kampung kecil yang terdiri hanya sekitar
enam buah rumah, di sana ada sebuah warung kecil, segera saja kami berhenti dan
memesan makanan, dan makan dengan sangat
lahap. Sembari kami makan, sang Ibu pemilik warung bercerita, bahwa beberapa
waktu lalu ada perampokan di daerah sini, makanya masyarakat lebih berhati hati
dan menaruh curiga pada setiap orang asing.
Oo.. pantas saja sikap bapak-bapak berbadik tadi malam seperti itu terhadap
kami, sebuah kejadian buruk perampokan membuat mereka harus lebih waspada dan
hati hati terhadap orang asing seperti kami ini.
Selesai makan
dan melepas lelah, perjalanan kembali dilanjutkan, kali ini tantangannya
berbeda, matahari bersinar dengan terik, memanggang kami sepanjang jalan.
Sungguh memperihatinkan melihat keadaan masing masing, wajah kusam kelelahan, mata
merah karena kurang tidur. Namun, harus bagaimana lagi.., kami harus tetap
melangkah dan berjalan, menunggu adalah hal percuma tak ada suara mobil
sepanjang perjalanan.
Hingga ketika
matahari sudah hampir tepat di atas kepala...
Kami tiba di sebuah
tikungan yang menurun landai, sayup sayup saya mendengar suara raungan mesin
yang mendaki bukit, secercah harapan muncul, dan benar saja, tak lama kemudian
sebuah truk menyongsong ke arah kami
dari depan. Saya melambaikan tangan kearah sopir truk dan beliaupun
menghentikan mobilnya di depan kami..
“ Bisa ke
Barakka mas..? kami dari Latimojong, mobil yang kami tumpangi rusak dan kami
berjalan dari tadi malam...”
Kira kira
demikianlah kalimat saya waktu itu, memelas kepada sang sopir truk.
“ iya, tapi
tunggu disini , kami antar barang ke atas dulu ji...” jawab sang sopir, sama seperti maksud imbuhan mi, imbuhan ji juga sering digunakan dalam dialog keseharian di daerah ini.
Alhamdulillah..
Akhirnya perjalanan
sangat melelahkan ini berakhir juga, semua anggota team menarik napas lega,
canda dan tawa mulai berderai, walau lelah belumlah sirna.
Tak lama
kemudian truk itupun datang kembali, membawa kami ke kota Barakka. Setibanya di
Barakka, tidak butuh waktu lama kami sudah memperoleh mobil sewaan yang akan
membawa kami menuju kota Makassar, dan perjalanan pun dilanjutkan ke kota
Makassar tanpa kendala ...
Tamat
***
Permohonan maaf
yang sedalam dalamnya kepada semua rekan pendaki, begitu banyak kesalahan yang
saya pribadi lakukan selama perjalanan, semoga teman teman sudi memaafkan
dengan ikhlas. Saya mengutip kata kata mas Haris pada pendakian ke Latimojong
ini “ Pada saat kondisi kondisi sulit, kadang kita terjebak dalam emosi dan kemarahan,
dan kemarahan itu dapat kita berikan kepada siapa saja, sisi buruknya adalah,
kadang kita menjadi lupa akibat dari kemarahan itu sendiri”.
Terimakasih tak terhingga buat :
-
Allah SWT, kepada-Nya lah kita semua di
kembalikan.
-
Rasullullah SAW, Engkaulah teladan dan junjungan
kami.
-
Seluruh keluarga, sahabat, dan teman yang telah
mendukung suksesnya pendakian ini.
-
Ibu yang baik hati di Rante Lemo, dan semua
masyakat desanya.
-
Mas Ipang dan semua penduduk desa Karangan,
-
Mas Anto, dan Mapala Atmajaya Makassar.
-
Arcopodo Adventure Club Sangatta
Catatan :
Setelah lama pendakian ini usai, ketika
merenung dan mengingat lagi perjalanan pendakian yang telah menjadi kenangan
ini, saya menemukan sebenarnya ada banyak sekali pelajaran yang dapat saya peroleh, namun saya akan membagikan dua saja
dalam catatan ini, yang menurut saya paling penting. semoga saja dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Yang
pertama adalah tentang berbuat baik dan mulia kepada siapa saja, dimana saja,
dan kapanpun juga. Mengingat kebaikan
Ibu di Rante Lemo berikan kepada kami, ketulusan mas Ipang yang menemani
bahkan hingga perjalanan kami pulang, juga mas Anto yang penuh keakraban
menemani sejak kami menginjak pulau
Sulawesi hingga kami pulang. Saya menduga, bahwa bisa jadi itulah pertemuan
kami satu satunya kepada ketiga orang baik tersebut, bisa jadi itu adalah
pertemuan kami untuk yang pertama dan terakhir. Boleh jadi akan bertemu lagi,
tapi apakah momentnya akan sama seperti waktu itu ?, apakah orang orangnya juga
sama dan selengkap kemarin ?. saya kira tidak.
Saya membayangkan bahwa alangkah
menyesalnya kami, jika saja pada kesempatan itu kami berlaku, bertutur kata,
ataupun bertindak tidak terpuji kepada mereka semua. Karena melihat kondisi
perjalanan ke gunung Latimojong yang sedemikian rupa, keyakinan bahwa hanya
itulah kesempatan satu - satunya yang kami miliki untuk mengunjunginya semakin
kuat.
Belajar dari hal itu, maka
penting sekali bagi kita semua untuk dapat mempergunakan waktu sebaik baiknya
untuk berbuat baik dan mulia pada sesama, senantiasa mengingat, bahwa kita hanya
memiliki kesempatan satu kali saja sepanjang waktu yang dianugrahkan kepada
kita, jikapun ada kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya, keadaannya sudah
pasti berbeda, paling tidak, tidak akan persis sama seperti kesempatan pertama
yang telah kita lewatkan.
Jadi inti pelajarannya, berbuat
baiklah pada sesama manusia dan alam, karena hanya inilah satu satunya
kesempatan terbaik yang kita miliki.
Pelajaran kedua, adalah tentang leadership dan kepemimpinan. Leadership adalah tentang karakter, tentang attitude, tentang melihat masalah dan memberi respon, tentang melihat kelemahan dan memberi motivasi, tentang menemukan kesulitan dan mencari solusi. Leadership yang sukses tidak dapat dibentuk di atas egoisme pribadi, di atas ambisi yang membutakan.
Pada pendakian
ke gunung Latimojong ini, saya oleh teman teman dipercaya untuk memimpin
perjalanan dan pendakian, tapi dengan penuh rasa menyesal dan malu, saya
katakan, saya gagal secara leadership
memimpin pendakian ini, jiwa muda yang bodoh, arogan, ego dan ambisius menjadikan
saya membuat keputusan keputusan yang jauh dari empati seorang leader yang
baik.
Jika kesuksesan
pendakian gunung hanya diukur dari mencapai puncak, lalu turun kembali dengan
selamat. Maka pendakian Latimojong sukses, dan saya sukses memimpin perjalanan
ini. Tapi kesuksesan leadership tidak cukup hanya diukur dari parameter itu
saja, ada hal hal lain yang lebih spesifik, yang lebih berhubungan dengan karakter
dan mental, pelajaran ini tidak akan saya lupakan.
***
Para pendaki
Searah jarum jam dari kanan atas :
Haris Fadilah, Surya Yusefa, Mas Anto,
Lalu Supratman, Harrykarna, Bang Ipang, Farsity,
Sugeng Santoso, Anton Sujarwo
Tabel rute perjalanan dan pendakian gunung
Latimojong
A.
Via kota Pare Pare
No
|
Rute
|
Prediksi waktu
|
Prediksi Biaya
|
Keterangan
|
1
|
Kota
Pare – Pare – Enrekkang - Barakka
|
3 – 4 jam
|
Rp,50.000 / orang
|
Tahun 2011, via mobil carteran, biaya kemungkinan menyesuaikan tarif terbaru
|
2
|
Barakka
- Kampung Rantelemo
|
5 – 6 jam
|
Rp, 25.000
|
Via truk sayur, angkutan hanya ada hari Senin dan
Kamis, waktu bisa lebih lama pada musim penghujan
|
3
|
Rantelemo
– Basecamp Kampung Karangan
|
1 jam
|
-
|
Trekking
|
B.
Via kota Makassar
No
|
Rute
|
Prediksi waktu
|
Prediksi Biaya
|
Keterangan
|
1
|
Kota
Makassar – Kota Barakka
|
7 – 8 jam
|
Rp,125.000 / orang
|
Tahun 2011, via mobil carteran, biaya kemungkinan menyesuaikan tarif terbaru
|
2
|
Barakka
- Kampung Rantelemo
|
5 – 6 jam
|
Rp, 25.000
|
Via truk sayur, angkutan hanya ada hari Senin dan
Kamis, waktu bisa lebih lama pada musim penghujan
|
3
|
Rantelemo
– Basecamp Kampung Karangan
|
1 jam
|
-
|
Trekking
|
B.
Rute Pendakian gunung Latimojong via kampung
Karangan
No
|
Rute
|
Prediksi waktu
|
Via
|
Keterangan jalur
|
1
|
Kampung
Karangan – Pos 1
|
1 – 1,5 jam
|
Trekking
|
Perkebunanan kopi penduduk, medan masih landai.
|
2
|
Pos 1 –
Pos 2 tepi Sungai
|
2 – 2,5 jam
|
Trekking
|
Hutan basah, medan masih cenderung landai, lebih
banyak melipir sisi bukit
|
3
|
Pos 2
Tepi Sungai – Pos 3
|
45 menit - 1 jam
|
Trekking / traverse
|
Tanjakan terjal, disarankan membawa webbing untuk
memudahkan pendakian
|
4
|
Pos 3 –
Pos 4
|
1 – 1,5 jam
|
Trekking
|
Medan variatif, tanjakan dan landai
|
5
|
Pos 4 –
Pos 5
|
2 – 2,5 jam
|
Trekking
|
Medan variatif, landai dan tanjakan dalam lindungan
kanopi hutan yang tebal
|
6
|
Pos 5 –
Pos 6
|
1 – 1,5 jam
|
Trekking
|
Mendekati pos 6 perubahan vegetasi mulai terasa
|
7
|
Pos 6 –
Pos 7
|
2 – 2,5 jam
|
Trekking
|
Tanjakan cukup terjal, medan pohon cantigi, dan
vegetasi hutan lumut yang lebat
|
8
|
Pos 7 –
Pelawangan kolam rumput dibawah puncak Radio
|
20 – 30 menit
|
Trekingg / traverse
|
Medan terjal dan licin namun pendek
|
9
|
Pelawangan
kolam rumput – puncak Rante Mario
|
30 menit
|
Trekking
|
Medan turun naik, variatif, didominasi oleh batuan
dan tumbuhan cantigi
|
A. Lokasi sumber air dan camp ground
1.
Ada banyak sumber air sepanjang jalur dari
kampung Karangan menuju pos satu, yang dengan mudah ditemui di tepi jalur
pendakian.
2. Sungai berair sangat jernih dan dingin di pos
dua, dan di pos dua ini juga, terdapat camp ground di bawah batu besar yang
menampung maksimal tiga tenda.
3.
Camp Ground di pos lima dapat menampung hingga sepuluh tenda,
menurun ke arah lembah sebelah kiri pos lima ini juga terdapat sumber air namun
jaraknya cukup jauh.
4. Selepas pos enam menuju pos tujuh, hutan lumut
basah sangat lebat dan ini pada kondisi survival bisa menjadi alternatif sumber
air yang melimpah.
5. Pos tujuh, sebelah kiri menurun sekitar tiga
puluh meter ada sungai kecil yang berair sangat bening, pada musim hujan airnya
akan sangat melimpah.
6.
Pelawangan di bawah puncak radio, di sini
terdapat kolam kecil diantara rerumputan, namun tidak dianjurkan mengandalkan
sumber air ini, karena seperti pengalaman kami saat itu, menjelang subuh sumber
air kering, hilang meresap di balik rerumputan. Di pelawangan ini juga adalah
camp ground yang luas, puluhan hingga ratusan tenda bisa di tampung di sini,
dan tempat ini juga merupakan camp terbaik sebelum melakukan summit attack.
Peta sederhana jalur pendakian
gunung Latimojong
Posting Komentar untuk "Perjalanan Ke Puncak Sulawesi : Bagian Empat. Terakhir."