Perjalanan Ke Puncak Sulawesi : Bagian Satu
Persiapan Perjalanan
Ada
banyak gunung tersebar diseantero pulau Sulawesi, dari Sulawesi Selatan hingga
Sulawesi Utara, berdiri banyak gunung dengan berbagai macam bentuk, ketinggian
dan kategori, dari yang terendah sampai yang tertinggi, dari yang bepuncak
karang dan batuan terjal, hingga yang berpuncak gelap oleh kanopi tebal, semua
menyimpan daya tarik tersendiri yang memikat banyak petualang lokal pulau
Sulawesi sendiri, maupun pendaki dari luar untuk mengunjunginya.
Dari
semua gunung yang ada itu, kami dari Arcopodo Adventure Club yang berasal disebuah
kota kecil Sangatta, propinsi Kalimantan
Timur, memilih gunung Latimojong atau sering juga disebut Rante Mario sebagai
tujuan pada pendakian kali ini. Sebenarnya ada dua tujuan puncak gunung di
pulau Sulawesi yang ingin dikunjungi oleh team Arcopodo pada pendakian tahun
2011 ini, namun melihat time limit dan medan yang dihadapi maka fokus pendakian
hanya di pusatkan pada gunung Latimojong
yang memiliki ketinggian sekitar 3.445 Mdpl. Alasan memilih gunung ini hanya satu, yaitu faktor ketinggiannya, karena
dari data gunung di Indonesia, untuk wilayah
kepulauan Sulawesi dan sekitarnya, puncak tertingginya memang hanya ada pada
ujung gunung yang terletak diwilayah kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan ini.
Ya, memang puncak Rante Mario atau Latimojong ini memiliki titik tertinggi dari
seluruh tempat yang ada di pulau Sulawesi, dan karena itu juga, Puncak Rante
Mario ini dalam peta seven summit Indonesia, atau tujuh puncak tertinggi
ditujuh kepulauan besar Indonesia, menjadi salah puncak tertinggi yang harus
dimasukkan kedalam daftar pendakian calon seorang seven summiter versi
Indonesia.
Rencana
perjalanan dan pendakian inipun dimantapkan dengan beberapa persiapan, dari
pilihan waktu terbaik, pengumuman mengenai rencana pendakian, hingga seleksi
para pesertanya. Para pendaki intern Arcopodo club Sangatta yang mendaftar pun
lumayan banyak, hampir 15 peserta totalnya, ini bisa dimengerti karena
pendakian kali ini yang menjadikan Latimojong sebagai destinasi, selain cukup
low buget juga dikarenakan banyaknya para peserta pendakian yang masih
keturunan dari pulau Sulawesi itu sendiri, hingga mengupayakan pendakian ini,
sekalian sebagai salah satu waktu untuk mudik ke kampung halamannya.
Sayangnya
animo ini, hanya sebatas keinginan saja, semakin mendekati waktu pelaksanaan,
base camp Arcopodo Adventure Club semakin banyak menerima konfirmasi mengenai
pembatalan keikut sertaan, ada yang beralasan pekerjaan, tidak memperoleh izin
orang tua, hingga yang beralasan minusnya persiapan dari sisi buget. Pada
akhirnya yang benar benar berangkat mendaki hanya tujuh orang, tiga orang pendaki
dari intern Arcopodo, yaitu saya
sendiri, mas Sugeng Santoso, dan mas Haris Faradillah, dua orang lagi adalah, mbak Surya Yusefa atau
mbak Eva, dan mbak Farsiti atau mbak Siti. Mbak Eva dan mbak Farsiti adalah
sahabat Arcopodo yang kebetulan juga menyukai kegiatan outdoor dan adventure
dan kebetulan juga sedang menetap di kota Sangatta.
Dan
dua orang lainnya lagi adalah, mahasiswa pecinta alam dari salah satu perguruan
tinggi di kota Sangatta ( Mapala Setapak dari Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
Kutai Timur ), dua orang ini adalah mas Harrykarna, dan mas Lalu Supratman, yang
buat mereka inilah kali pertamanya mereka mendaki gunung, baik secara
perseorangan maupun secara organisasi.
Ketetapan
waktu pendakian adalah tanggal 18 Januari 2011 – 29 Januari 2011, perjalanan
ini dimulai dari pelepasan keberangkatan dari base camp Arcopodo Adventure Club
Sangatta pada tanggal 18 Januari 2011 siang harinya, kemudian perjalanan
dilanjutkan menuju kota Samarinda,ibukota provinsi Kalimantan Timur. Perjalanan
menggunakan bus ini memakan waktu sekitar 5 jam, waktu magrib team sudah tiba
di kota Samarinda, disepakati sejak awal bahwa kami akan menginap di rumah
keluarganya mas Lalu, yang kebetulan lokasinya tidak jauh dari pelabuhan kota
Samarinda, lalu rencananya perjalanan akan dilanjutkan menuju pelabuhan Pare
Pare Sulawesi pada esok paginya.
Pelepasan team
pendakian puncak Sulawesi di base camp Arcopodo Sangatta
Esok
harinya, tanggal 19 Januari 2011, perjalanan dilanjutkan menuju pelabuhan
Samarinda pada pagi hari, hanya butuh waktu sekitar lima belas menit kami sudah
tiba di Pelabuhan, dan karena tiket perjalanan via kapal laut KM. Queen Soya ini sudah dipesan sejak beberapa hari yang
lalu melalui salah satu ABK yang juga menyediakan jasa sebagai penjual tiket
juga, maka kami tinggal masuk saja ke dalam kapal dan mulai menikmati
perjalanan menuju pulau Sulawesi dengan fasilitas kapal yang seadanya.
KM. Queen Soya
adalah sebuah kapal feri penumpang ukuran kecil yang memang melayani rute
pelayaran secara reguler dari Pare Pare Sulawesi - menuju ke Sungai Mahakam di Samarinda,
Kalimantan Timur. Kapal ini bukanlah kapal mewah dengan fasilitas lengkap,
ukuran badan kapal panjangnya menurut
perkiraan saya sekitar kurang lebih lima puluh meter, dengan lebar kapal
sepuluh sampai lima belas meter. Seperti pada kapal penyeberangan penumpang
lainnya, bagian paling bawah KM. Queen Soya di isi kendaraan roda empat dan
roda dua, lantai selanjutnya hingga geladak paling atas di isi oleh para
penumpang yang pada beberapa area terkadang berhimpitan karena terlalu ramai.
Memasuki KM.
Queen Soya pagi itu kami pikir kami akan memperoleh tempat yang lumayan untuk
bisa menikmati perjalanan laut, namun pada kenyataannya ini berbeda sekali
dengan apa yang telah kami bayangkan sebelumnya. Selama dalam perjalanan, untuk
tidur, istirahat, atau aktifitas apapun yang ingin kami lakukan, kami seperti
pada semua penumpang lainnya, hanya diberi semacam matras tebal di lantai
kapal, matras itu disusun berjejer di sepanjang ruangan kapal yang pengap, susunan
matrass itu dibuat sedemikian rupa hingga pada tengah tengahnya ada semacam
jalan yang bisa digunakan untuk para penumpang dan awak kapal untuk berlalu
lalang. Hal lain yang kian membuat perjalanan laut kami kali ini lebih berwarna
dan lengkap adalah suasana kapal yang luar
biasa ramai, penuh dengan berbagai macam suara dan aroma, diantara deru
mesin kapal dan hiruk pikuk penumpang, kadang tercium bau ikan yang lumayan
menusuk hidung, kemudian diselingi lagi dengan bau keringat menyengat penumpang
dan awak kapal, namun kadang kadang tercium juga aroma parfum yang tajam dari
para penumpang yang mencoba menetralisir keadaan.
Menikmati pagi di
atas geladak KM. Queen Soya
Pelabuhan Kota Pare
Pare
Mas Anto (T-shirt
biru) yang telah menunggu kedatangan kami di pelabuhan Pare Pare
Sekitar jam 10:00
WITA keesokan harinya kami tiba di
pelabuhan Pare Pare, Sulawesi Selatan. Letak pelabuhan Pare Pare ini persis berada dipinggir kota Pare Pare,
sehingga begitu keluar dari gerbang pelabuhan kita akan segera memasuki wilayah
kota Pare Pare. Dan suasana pelabuhan pagi ini saat KM. Queen Zoya yang kami
tumpangi bersandar masih dalam keadaan lengang, seingat saya belum ada kapal
lain yang berlabuh, kecuali beberapa kapal nelayan pencari ikan yang
sepertinya memang biasa di tambatkan di pelabuhan
itu.
Di
pelabuhan ini kami telah dinantikan oleh mas Anto, salah seorang anggota senior
dari kelompok Mahasiswa Pecinta Alam
universitas Atmajaya kota Makassar yang memang beberapa hari sebelumnya telah
saya hubungi untuk meminta kesediaannya menemani perjalanan pendakian kami ke gunung
Latimojong. Mas Anto adalah seorang putera asli dari tanah Sulawesi, ia lahir
dan dibesarkan di Tanah Toraja, salah satu daerah yang tingkat kebudayaannya
masih sangat tinggi. Seingat saya, menurut keterangan mas Anto, ia telah
mendaki gunung Latimojong hampir lima atau
enam kali, jadi tentu keputusan kami untuk memilih mas Anto sebagai guide ke
gunung tertinggi di Sulawesi ini sudah sangat tepat, mas Anto adalah guide yang
kompeten untuk pendakian ke Latimojong, ia sudah sangat berpengalaman dan
mengenal medan.
Setelah
menempuh perjalanan sekitar 3 jam, kami tiba di kota Barakka, sebelumnya kami
telah melewati kota Enrekang dan kota kota kecil lainnya. Satu tempat yang
tidak bisa kami lupakan dalam perjalanan menuju Barakka itu adalah sebuah
daerah yang disebut sebagai kawasan gunung Nona.
Gunung Nona dan Bambapuang
Kawasan Gunung Nona, dilihat
dari jalan raya Enrekang – Barakka
Kawasan gunung
Nona merupakan sebuah areal perbukitan yang indah, kita dapat menikmatinya dari
jalan lintas kota Barakka – Enrekang, apalagi di sebuah sudut jalan raya
yang lumayan tinggi, berdiri sebuah warung yang lumayan besar, di sekelilingnya
berdiri beberapa gazebo yang memang sengaja dibuat untuk para pengunjung yang
mampir di warung dan ingin menikmati panorama gunung Nona yang memang memukau,
bangunan gazebo gazebo ini dibuat menghadap kearah kawasan gunung Nona yang
luas. Perbukitan ini oleh masyarakat disebut gunung Nona karena bentuk ukiran
salah satu kawasan bukit yang oleh sebagian orang di anggap membakar imajinasi
mereka tentang sebuah “mahkota” sang
Nona, kami tidak berpikir sejauh itu, namun yang pasti, tempat ini indah sekali.
Di kawasan ini
pula, persis dibalik jalan raya disebelah kiri arah kota Barakka, berseberangan
dengan kawasan gunung Nona yang terhampar,berdiri jajaran puncak puncak karang
yang tinggi menjulang, berbaris hampir sepanjang satu kilometer membentang
kearah kota Barakka, saya tidak begitu
ingat apa sebutan penduduk untuk gunung gunung karang ini, sepertinya disebut
gunung Bambapuang kalau saya tidak keliru, namun apapun namanya, tempat ini sungguh
eksotis.
satu puncak
gunung Bambapuang dilihat dari jalan raya Enrekang – Barakka
Lewat tengah
hari kami sudah tiba di kota Barakka, Barakka adalah sebuah kota kecamatan yang
masuk wilayah administratif kabupaten Enrekang, pusat keramaian kota kecil
Barakka ini berbentuk sebuah pasar tradisional yang menjadi pusat jual beli
masyarakat. Secara topografi, sebagian besar
wilayah kecamatan Barakka didominasi
oleh pegunungan dan perbukitan, sehingga
mayoritas mata pencaharian penduduk
adalah dengan berkebun dan berladang dengan komoditas hasil bumi utamanya
adalah kopi dan sayur mayur.
Kota Sayur Barakka
Mas Anto yang
memang sudah sering mengunjungi tempat ini, dengan cepat memperoleh angkutan
menuju desa Rante Lemo, sementara saya
bersama beberapa teman yang lain bertugas
untuk membeli logistik dan perbekalan. Rante lemo adalah sebuah desa terjauh
menuju kaki gunung Latimojong yang masih bisa ditempuh menggunakan mobil four
whell drive seperti truk, jeep dan sejenisnya. Sebelumnya, mobil dapat saja
menjangkau hingga ke kampung Karangan, desa terakhir yang juga merupakan base
camp pendakian gunung Latimojong. namun, semenjak sungai di belakang kampung desa Rante
Lemo dibangun jembatan baru yang hanya dapat dilalui sepeda motor, dan di bagian
atas sungai tempat timbunan batu yang agak tinggi, yang biasanya digunakan
sebagai penyeberangan mobil menuju kampung Karangan dibangun semacam saluran
irigasi, maka sejak saat itu kampung Karangan tidak dapat lagi di akses dengan
mobil. Hanya kuda dan sepeda motor saja yang dapat menjangkau kampung Karangan
hingga sekarang.
Di
atas truk di sudut kota Barakka menuju kampung Rante Lemo
Perlu
diperhatikan juga ketika berencana untuk melakukan perjalanan pendakian ke
gunung Latimojong ini persoalan angkutan dari kota Barakka ke Rante Lemo,
karena angkutan yang berupa truk sayur dan mobil jeep tidak setiap hari
beroperasi melayani rute Barakka – Rantelemo. Angkutan ini hanya beroperasi
pada hari Senin dan hari Kamis saja setiap minggunya. Rute lain yang biasa
digunakan para pendaki gunung Latimojong adalah dari Barakka menuju kampung
Angin Angin, sebuah kampung yang lokasinya tidak begitu berjauhan dengan
kampung Rante Lemo yang akan menjadi tujuan perjalanan kami hari ini.
Hingga pada
suatu ketika di tengah jalan, perjalanan
kami terhalang oleh sebuah mobil truk lainnya, yang dalam kondisi rusak dan dibiarkan
terparkir di tengah jalan oleh pengemudinya, untunglah bapak sopir truk yang
kami tumpangi telah mengenal dengan sangat baik seluruh daerah, kondisi, dan
juga mobil mobil yang biasa berlalu lalang di daerah ini. Jadi ketika menemui
mobil yang rusak di tengah jalan tersebut, beliau segera mengambil inisiatif
cepat untuk mereposisikannya, tak pelak lagi, dibawah guyuran hujan gerimis
yang lumayan deras kami dan kernet truk terpaksa bahu bahu mendorong truk yang
rusak tersebut ketepi jalan agar mobil truk yang kami tumpangi bisa lewat,
Sekitar 30 menit barulah pekerjaan itu kelar dan perjalanan ke Rante Lemo bisa kembali
dilanjutkan.
Membantu meminggirkan
truk rusak yang menghalangi jalan
Ibu Di Kampung Rante Lemo
Selepas magrib
kami baru tiba dikampung Rante lemo, kami langsung naik ke sebuah rumah
panggung yang memang biasa dijadikan tempat singgah bagi para pendaki gunung
Latimojong. Sambutan sang Ibu pemilik rumah luar biasa ramah, kami disambut
dengan sangat antusias, beberapa saat setelah kami tiba, teh manis dan makanan
kecil ikut menyambut.
“ Silahkan
istirahat dulu nak, besok naik gunung Latimojong itukan jauh,, apalagi sekarang
musim hujan.. “ sambut sang Ibu pemilik rumah ramah, logat kampungnya yang polos
dan penuh ketulusan sungguh membuat kami merasa nyaman.
“ Terimakasih
banyak Bu,, mohon maaf kami telah merepotkan.. “ balas kami hampir bersamaan.
“ tidak apa
apa nak, sudah biasa. Memang siapapun yang mendaki Latimojong, jika tidak
keberatan saya ajak untuk menginap dirumah Ibu yang sederhana ini.., kebetulan
anak Ibu juga seumuran kalian dan juga suka naik gunung, dan sekarang masih
sekolah di kota Makassar...” senyum dan mata Ibu ini berbinar ketika menyebut
anaknya,, kemudian sekilas ia bercerita tantang anaknya yang di Makassar itu.
Tidak lama
setelah si Ibu pemilik rumah meninggalkan diruang tamunya rumahnya yang lumayan
lapang, kami tak dapat bertahan lebih lama lagi untuk terjaga, perjalanan yang
berat semenjak satu hari sebelumnya membuat kami benar benar kelelahan, setelah
makan malam dan sholat, semua anggota team beristirahat.
Kampung Rante
Lemo ini letaknya sangat menarik karena berpagar perbukitan di sekelilingnya,
di depan kampung terhampar sebuah bukit kecil yang memanjang dengan tanaman sayuran
menghijau di antara beberapa rumpun pohon pinus yang tumbuh jarang jarang. Agak
menjorok ke dalam kampung dari jalan masuk tadi, perumahan penduduk berkelompok
dalam sebuah lembah yang sejuk, sebagian besar rumah penduduk terbuat dari kayu
dan berbentuk panggung. Dibelakang kampung mengalir sebuah sungai yang sangat
jernih namun juga sangat dingin, aliran
air sungai ini cukup deras, di atas sungai melintang sebuah jembatan yang
memiliki atap yang terbuat dari seng, ukuran jembatan ini tidaklah lebar,
sekitar dua meter kurang lebih, hanya cukup untuk satu sepeda motor, atau satu
ekor kuda saja yang bisa lewat. Di tengah
tengah perumahan penduduk kampung Rantelemo berdiri cukup megah sebuah bangunan
masjid desa, masjid ini cukup mengesankan untuk ukuran kampung yang terletak di
kaki gunung dengan akses jalan yang sulit, dinding masjid terbuat dari beton
dan lantainya juga sudah diberi keramik.
Mayoritas
penduduk perkampungan yang ada dikaki gunung Latimojong ini memeluk agama Islam,
hingga tidak mengherankan setiap kampung memiliki masjid untuk tempat beribadah
mereka, dan satu lagi yang membuat tempat ini, khususnya kampung Rante
Lemo kian menarik hati saya, adalah
karena suasana agamisnya yang masih terasa begitu hadir, azan senantiasa
berkumandang begitu waktu sholat telah tiba, ibu ibu lebih banyak menggunakan
jilbab atau tikuluk pucuk ( semacam
selendang panjang yang dililitkan di kepala untuk menutupi rambut ) dalam
keseharian mereka. Namun yang sedikit kontras, adalah dengan banyaknya anjing
yang di pelihara oleh penduduk untuk menjaga kebun dan berburu, yang terkadang
taring dan gonggongannya membuat nyali kami tergerus juga.
Pagi harinya
setelah sarapan dan mengemasi perlengkapan kami melanjutkan perjalanan menuju
kampung Karangan, sang Ibu yang rumahnya kami tempati tadi malam, benar benar
sangat baik sekali, beliau menasehati kami untuk senantiasa berhati hati dalam
perjalanan dan beliau juga berpesan agar nantinya setelah turun gunung kembali
lagi menginap dirumahnya, sungguh baiknya Ibu ini..
Kampung Karangan
Hiking
dari Rante Lemo menuju Karangan
Perjalanan
menuju kampung Karangan ternyata membuat tenaga kami yang terbiasa dengan
suasana perkotaan yang serba instan menjadi “kaget” juga, rutenya lumayan jauh,
mendaki, dan berkelok kelok. Hingga
waktu yang seharusnya bisa ditempuh satu jam perjalanan, molor hingga hampir
dua setengah jam berjalan kaki, beberapa diantara kami bahkan mulai tersengal
sengal menikmati rute pembukaan ini.
Akhirnya menjelang
tengah hari kami tiba dikampung Karangan, sekitar satu jam sebelum pelaksanaan
sholat Jum’at dimulai, hari itu juga memang bertepatan dengan hari jum’at. Setelah
melepas lelah, mandi di sungai berair sangat jernih dan dingin, kemudian
bersilaturahmi dengan penduduk setempat, kami mengikuti pelaksanaan sholat
jum’at di masjid kampung Karangan ini, khutbah Jum’at disampaikan dalam bahasa
setempat, jadi kami hanya bisa menerka nerka saja tentang apa yang disampaikan khatib dalam khotbahnya itu.
Salah satu hal
yang harus mulai dibenahi di gunung Latimojong ini adalah mengenai
administrasinya, semestinya di kampung Karangan ini yang notabene adalah pintu
masuk menuju belantara Latimojong, para pendaki dapat didata dan mendaftarkan
diri sebelum melakukan pendakian, tapi di kampung Karangan ini, hingga saat
kami mendaki waktu itu belum ada pos pendaftaran atau petugas yang biasa
menangani administrasi pengunjung yang bertujuan mendaki gunung Latimojong.
Surat surat yang saya bawa sebagai syarat mendaki sebuah gunung, yang biasanya
dibeberapa gunung di Indonesia diminta sebelum mulai melakukan pendakian,
seperti surat keterangan sehat, dan surat jalan organisasi sama sekali tidak
digunakan sebagaimana mestinya.
Saya berharap
di waktu waktu selanjutnya, administrasi untuk mendaki gunung Latimojong ini
bisa lebih diperhatikan lagi oleh pengurus kampung Karangan. Apalagi kian hari
pamor puncak Rante Mario gunung Latimojong kian tenar seiring dengan semakian
maraknya gema seven summit Indonesia, intensitas pengunjung semakin bertambah
dari hari ke hari untuk mendaki gunung Latimojong. Dan basic data para pendaki
Latimojong ini akan sangat berguna bagi pengembangan potensi wilayah dan juga
pastinya akan berpengaruh bagi perbaikan akses ke Kampung Karangan itu sendiri
yang akan berimbas pada perekonomian penduduk, selain juga sangat berguna jika
terjadi sesuatu yang tidak di inginkan terjadi kepada para pendaki saat mereka
tengah melakukan pendakian di gunung Latimojong.
***
Bersambung ke bagian kedua
Posting Komentar untuk "Perjalanan Ke Puncak Sulawesi : Bagian Satu"