Untuk mendapatkan pengakuan, seorang pendaki gunung perempuan harus bekerja lebih keras daripada kebanyakan pendaki pria -Alison Jane Hargreaves
Artikel ini dikutip dari buku berjudul DEWI GUNUNG karya Anton Sujarwo. Informasi bukunya dapat dilihat disini.
Meskipun usia saya dan
Clara Sumarwati terpaut hampir dua puluh tahun, saya lebih senang memanggil
beliau dengan panggilan Mbak. Walaupun banyak orang memanggilnya dengan sebutan
ibu, bunda, atau yang lain, namun saya merasa memanggil beliau dengan sebutan
Mbak lebih tepat. Hal ini sama seperti saya memanggil Syamsirwan Ichien (salah
satu tokoh senior MAPALA UI) dengan sebutan Mas, walau mungkin dari sisi usia,
ia jauh lebih tinggi daripada saya dan banyak orang yang sudah memanggilnya
dengan sebutan Om.
Cara memanggil seperti ini
bagi saya lebih nyaman, lebih menyiratkan bahwa semangat petualangan dan gunung
tidak akan pernah menua di dalam raga orang-orang yang mendekapnya. Usia boleh
bertambah, raga boleh bertambah renta, namun semangat kepada gunung selalu
muda, membara dan tetap menyala.
Saya sejauh ini sudah
tiga kali bertemu dan ngobrol langsung dengan Mbak Clara. Pertama ketika ada
acara talkshow tentang Srikandi yang diadakan oleh UPN Veteran, yang kedua saat
saya bertamu ke rumah beliau dan, yang ketiga adalah saat saya memenuhi
undangan beliau untuk menghadiri launching bukunya (Indonesia Menjejak Everest), yang kesemuanya bertempat di Yogyakarta.
Lalu dengan tiga
pertemuan ini apa yang bisa saya sampaikan tentang Mbak Clara? Sebenarnya belum
banyak, namun saya ingin mengatakan dengan lugas dalam buku ini bahwa Mbak
Clara Sumarwati adalah sosok penting dalam sejarah mountaineering di Indonesia,
dan pencapaiannya di Everest pada tahun 1996 adalah kebenaran yang sejati.
Dalam setiap pertemuan
dengan Mbak Clara, saya kadang selalu menyelipkan satu dua pertanyaan yang
pernah saya tanyakan dalam pertemuan sebelumnya. Dan jawaban yang beliau
sampaikan selalu konsisten, bahkan hingga detailnya sekali pun. Hal ini menjadi
catatan menarik bagi saya untuk memperkuat lagi argumentasi bahwa beliau adalah
sosok yang benar-benar mencapai puncak dalam ekspedisi Everest tahun 1996.
Sementara beberapa pendapat yang masih meragukan pencapaian beliau, saya
sarankan untuk membaca buku Indonesia Menjejak Everest yang merupakan
buku yang berisi fakta-fakta orisinilitas pendakian mbak Clara yang dihimpun
dari berbagai media massa kala itu.
Mbak Clara adalah sosok
pendaki gunung berprestasi, ia pernah mengikuti ekspedisi Annapurna dan
Aconcagua, selain tentu saja di Everest. Namun bagaimana pun juga, pencapaian
tertinggi seorang Clara Sumarwati adalah memang ada di Everest tahun 1996 itu. Ada
banyak hal yang istimewa terkait dengan pencapaian ini, bukan hanya sekedar
pencapaian titik tertinggi bumi oleh srikandi ibu pertiwi.
Secara umum, apa yang
Clara Sumarwati capai di Everest tahun 1996 melingkupi beberapa hal sebagai
berikut;
- Orang Indonesia pertama yang mencapai puncak Everest.
- Wanita pertama dari Indonesia yang mencapai puncak Everest.
- Pendaki gunung dari Asia Tenggara pertama sekaligus wanita dari Asia Tenggara pertama yang mencapai puncak Everest.
- Wanita ke-37 di dunia yang mencapai puncak Everest secara keseluruhan.
- Pendaki gunung ke-837 yang mencapai puncak Everest baik dari kategori pria maupun wanita.
- Pendaki wanita ke-6 secara keseluruhan yang mencapai puncak Everest melalui sisi utara yang terkenal lebih teknis.
Apa yang telah dibukukan
oleh Mbak Clara dalam pencapaiannya ini adalah sebuah prestasi monumental yang
sangat luar biasa. Sebelum kedatangan Mbak Clara, baru ada 36 orang perempuan
yang telah berhasil menjejakkan kaki mereka di Everest, dari Junko Tabei sampai
Catherine O’Dowd.
Ini jika kita perhatikan
lebih lanjut merupakan masa dimana para pendaki perempuan di dunia sedang ada
dalam kancah kompetisi untuk menjadi yang pertama dari negara mereka
masing-masing. Lihat saja nama Aracelli Segarra Roca yang ada pada posisi 812
secara keseluruhan yang juga merupakan pendaki wanita pertama dari Spanyol yang
mencapai puncak Everest. Atau pada nomor 831 dimana nama Catherine O’Dowd bertengger,
ia juga ia adalah pendaki perempuan pertama dari Afrika Selatan yang mencapai
puncak Everest.
Atau jika agak mundur
sedikit lagi pada urutan 684 secara keseluruhan, atau nomor 31 untuk pendaki
perempuan, kita akan menemukan nama besar Alison Jane Hargreaves. Sementara
nama lain seperti Charlotte Fox, Lene Gammelgard, dan juga Yasuko Namba akan
mengisi daftar 32, 33 dan juga 34 dalam list summiter perempuan di Everest ini.
Bukankan nama-nama itu tadi sangat familiar di dunia mountaineering, terutama
terkait dengan musibah yang terjadi tanggal 10 Mei 1996 dimana Rob Hall dan Scott
Fischer juga tewas di Everest.
Lalu apa yang ingin saya
sampaikan dengan mengumbar nama-nama dan data ini? Apa hubungannya dengan Mbak
Clara Sumarwati dari Indonesia?
Sebenarnya tidak ada
relevansi apa-apa. Akan tetapi dengan menyebutkan data-data ini saya ingin
mengatakan bahwa pencapaian Mbak Clara pada tahun 1996 itu, adalah pencapaian
yang besar, yang fantastis, yang masa itu masih merupakan periode kompetisi
mountaineering yang masih ‘menggila’ di Everest. Kompetisi first ascent dalam
ukuran negara di Everest untuk kaum perempuan masih berkecamuk, bahkan Spanyol
dengan banyak para pendaki terbaik di dunia, baru berhasil mengantarkan pendaki
gunung perempuan pertama mereka pada tahun yang sama dimana Mbak Clara mencapai
Everest.
Jadi yang paling ingin
saya soroti adalah semangat pioneering Mbak Clara yang luar biasa. Dengan
segala keterbatasan dan rintangan, ia tetap maju berjibaku dalam kompetisi para
pendaki perempuan dunia untuk bisa mencapai puncak Everest sebagai yang pertama
mewakili negara mereka masing-masing, dalam konteks ini tentu saja adalah
Indonesia. Dengan kata lain saya ingin menyampaikan pula bahwa semangat
pioneering untuk mengibarkan sang merah putih di kutub ketiga dunia yang
dimiliki oleh Mbak Clara, mungkin jauh lebih besar dari pencapaian itu sendiri.
Prestasi mbak Clara ini
semakin menarik ketika kita meihat bahwa ia menggunakan rute North Col atau
sisi Tibet. North Col secara teknis berada di atas South Col atau sisi Nepal.
Dan karena alasan itu, sebelum kehadiran mbak Clara hanya ada 5 orang perempuan
yang sukses melalui rute itu hingga ke puncak Everest yakni; Phanthog dari
China tahun 1975, Sharoon Wood dari Kanada tahun 1986, Guisang dari China tahun
1990, Hsiu Chen Chiang dari Taiwan tahun 1995, dan Alison Jane Hargreaves dari
Inggris, juga tahun 1995.
Dari nama-nama ini memang
hanya Alison Jane yang melakukan pendakiannya secara solo, tanpa tabung oksigen
dan juga tanpa sherpa. Sementara yang lain, termasuk Mbak Clara sendiri,
menggunakan segala support itu dalam pendakian mereka.
Menerangkan hal yang sama
berulang-ulang tentu saja bukan hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Oleh
karena itu kita mungkin akan mendengar hal yang sama terkait dengan banyak
kontroversi yang terjadi di dunia ini. Jawaban lelahnya menjelaskan kontroversi,
akan di dengar baik dari Oh Eun Sun mau pun dari Edurne Pasaban, saat keduanya
diminta menjelaskan siapa perempuan pertama yang berhasil mencapai 14 puncak
tertinggi di muka bumi pertama kali. Walau tidak begitu sama permasalahannya,
saya kira Mbak Clara juga sama lelahnya menjawab pertanyaan orang-orang yang
masih penasaran tentang status pendakian yang ia lakukan di Everest pada tahun
1996 tersebut.
Namun bagaimana pun juga
dalam membahas sosok mbak Clara, prihal kesangsian dan kontroversi ini harus
disampaikan juga. Bahwa memang ada sebuah masa sulit yang dialami oleh mbak
Clara dimana orang-orang meragukan pencapaian yang ia lakukan. Masa sulit ini
tidak mudah baginya, dan bisa jadi merupakan noktah bagi sejarah mountaineering
tanah air. Adanya orang-orang yang meragukan pencapaian yang ia lakukan karena
ia adalah seorang wanita tentu saja sangat kita sesalkan. Tapi memang tidak
pula dapat kita nafikan bahwa, wanita dalam banyak sisi kehidupan, mengalami
dilematik dan tantangan yang tidak mudah.
Point utama keraguan
terhadap pencapaian Mbak Clara adalah karena ia tidak memiliki foto puncak
Everest yang dapat dijadikan hujjah otentik pencapaiannya. Hal ini
membuat orang-orang yang mungkin memang tidak berharap ia sebagai orang pertama
dari Indonesia yang mencapai puncak dunia, melayangkan tuduhan bahwa Mbak Clara
telah mengklaim pemuncakan yang tidak benar. Dalam bahasa yang lebih kejam, hal
ini seperti sedang menuduh Mbak Clara membuat pengakuan palsu tentang puncak
gunung yang sebenarnya tidak ia raih.
Lalu, benarkah demikian?
benarkah ketiadaan foto summit itu adalah bukti bahwa tuduhan itu memiliki alasan?
Dalam catatan
mountaineering sepanjang sejarah, khususnya tahun-tahun masa pendakian Mbak
Clara di Everest (1990-an), memang ada dua alat bukti paling otentik untuk
memverifikasi pencapaian seseorang di puncak gunung. Alat bukti yang pertama
adalah foto, dan alat bukti yang kedua adalah saksi mata.
Jika kedua bukti ini
lengkap, maka paripurnalah pencapaiannya, dalam hal ini berarti diakui dan
dibenarkan. Sementara jika salah satu buktinya kurang, itu juga tidak begitu
dipermasalahkan selama satu bukti yang ia miliki memiliki kekuatan yang tinggi.
Akan tetapi jika bukti yang dimiliki tidak ada di antara dua ini, maka
pemuncakan memang layak untuk dipertanyakan keabsahannya.9.1
Kisah pemuncakan tanpa
saksi mata dapat dengan mudah kita temui pada berbagai catatan pendakian solo
pada masa-masa itu. Alison Hargreaves tahun 1995, atau yang paling familiar Reinhold
Messner tahun 1980. Sementara pemuncakan dengan saksi mata dan tanpa foto
misalnya dapat pula kita lihat pada
peristiwa first ascent Gasherbrum II tahun 1956 oleh tim Austria yang terdiri
dari Fritz Moravec, Joseph Larch dan, Hans Willenpart.
Dari ketiga pendaki ini,
hanya Moravec yang tidak memiliki foto saat di puncak sehingga muncul kemudian
pertanyaan yang meragukan apakah ia sampai puncak atau tidak. Dan keraguan ini
baru tuntas pada tanggal 23 September 1995, atau 39 tahun setelah pendakian itu
sendiri dilakukan. Moravec menuntaskan keraguan itu dengan sebuah pidato detail
pemuncakannya di hadapan forum Himalayan Mountaineering di kota Wina.9.4
Jika kita perhatikan ini
lebih jauh, kasusnya mirip dengan apa yang menimpa Mbak Clara Sumarwati.
Moravec memiliki saksi mata tapi ia tidak memiliki foto. Saksi matanya adalah
Joseph Larch dan Hans Willenpart, rekan mendakinya sendiri. Clara Sumarwati pun
demikian, ia mungkin memang tidak memiliki foto di puncak yang diinginkan
orang-orang, tapi ia memiliki saksi mata.
Siapa saksi mata itu? Tidak
tanggung-tanggung, ada 5 sherpa yang menemani Mbak Clara saat itu, dan salah
satunya adalah Kaji Sherpa yang sekaligus bertindak sebagai sirdar. Dan dalam
berbagai kesempatan, juga tertera dengan sangat lengkap dalam bukunya9.3,
Kaji Sherpa memverifikasi bahwa Clara Sumarwati dari Indonesia pada tanggal 26
September 1996, benar-benar telah mencapai puncak Everest. Bagi sahabat pembaca
yang masih tetap menyimpan keraguan tentang hal ini, saya sarankan untuk
memiliki dan membaca buku putih Clara Sumarwati tersebut.
Saya pribadi masih memiliki ‘hutang’ kepada Mbak Clara
untuk menuliskan pendakian beliau dalam bahasa biografi yang lebih bebas, yang
lebih bergaya novel sehingga lebih mudah untuk dicerna semua kalangan.
Mudah-mudahan dalam waktu dekat saya bisa mulai menuliskannya.
Bagi saya, pioneering
Mbak Clara dalam aktvitas mountaineering di Indonesia memiliki arti yang sangat
bernilai. Ia tidak hanya mampu menembus batas keterbatasan, namun juga mampu
mengukir keteladanan dan ketangguhan seorang perempuan Indonesia. Untuk semua
dedikasinya ini, untuk keteladanan semangat juang yang ia miliki, tidak ada sosok
yang lebih pantas berada di daftar teratas srikandi merah putih buku ini,
selain nama beliau.
Pencapaian dan Warisan
- Orang Indonesia pertama, perempuan Indonesia
pertama, pendaki gunung Asia Tenggara pertama yang mencapai puncak Everest pada
26 September 1996.
- Mencapai puncak Aconcagua pada tahun 1993 bersama Aryati
dan Jonetje Wanbrau.
Buku
- Indonesia
Menjejak Everest (kumpulan kliping dan berita) di susun oleh Furqon Himawan, rilis
tahun 2019.
Footnote:
9.1
Saat ini alat bukti ini bisa dilengkapi lagi dengan
altimeter atau pun GPS track record yang dapat dibawa hanya pada jam tangan
sang pendaki.
9.2
Kisah dan sejarah lengkap first ascent Gasherbrum
II dapat dibaca pada buku saya yang berjudul Mahkota Himalaya.
9.3 Indonesia
Menjejak Everest
No comments:
Post a comment