Pertanyaan ini sebenarnya bukanlah sebuah
pertanyaan yang mesti sungguh sungguh dijawab dengan segala analisa teknikal
dan indikasi yang njelimet.
Ketika sebuah peranyaan,
“ who is the best one, solo climber or
team climber..?”
Maka tentu, jawaban pertanyaan tersebut
akan beragam pula, tergantung dari sudut pandang mana si penjawab pertanyaan
melihat kedua objek tersebut.
Siapa yang Terbaik, Pendaki Solo atau Pendaki Tim? Dan Apa Alasan Mendaki
Solo Patut Untuk Dicoba?
Jika yang ditanya melihat hal tersebut
dari kacamata rekor, prestasi, prestisius, kesulitan, dan resiko, tentu ia akan
menjawab bahwa pendaki solo adalah yang terbaik, the solo climber is
the best.
Namun jika yang ditanya melihatnya dari
faktor dampak kepemimpinan atau leadership,
manajerial perjalanan, serta kemampuan untuk mengakomodasi semua kepentingan
anggota dalam sebuah perjalanan pendakian gunung, maka sudah barang tentu ia
akan memilih pendaki tim sebagai yang terbaik.
Dan tulisan kita kali ini sama sekali
bukan untuk membenturkan kedua pendapat tersebut.
Setiap orang dapat memilih gaya dan style-nya sendiri sendiri dalam
melakukan sebuah perjalanan pendakian gunung, tanpa harus terpengaruh dan
tertekan dengan pendapat dan asumsi orang lain.
Yang memang merasa memiliki kemampuan dan
kualifikasi sebagai pendaki solo, yang yakin mampu menyelesaikan segala
tantangan secara mandiri selama perjalanan, tentu sangat dianjurkan untuk
mencobat teknik solo. Sementara yang ingin melatih diri dalam sebuah tim,
kemampuan leadership, juga merasa lebih nyaman dengan beberapa teman dalam
menghadapi potensi resiko dan keadaan, tentu menjadi bagian dari sebuah tim
pendaki adalah pilihan yang lebih tepat baginya.
Dan kedua pilihan tersebut sama bagusnya,
sama sama memiliki keunggulan pada satu sisinya, dan juga sama sama memiliki
kekurangan pada sisi lainnya.
Namun, kali ini saya mungkin akan menulis
khusus tentang pendaki solo saja.
Dan sekarang apa saja yang menjadi
keunggulan dan juga kekurangan dari seseorang yang memilih style mendaki solo dalam perjalanan pendakiannya, berikut adalah
beberapa alasannya.
1.
Kemandirian
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mendaki
gunung sendirian adalah sebuah bentuk kemandirian yang jelas, sebuah
manifestasi dari kayakinan akan kemampuan diri sendiri dalam menghadapi dan
mengeliminir semua resiko dan tantangan yang akan dihadapi nantinya.
Seorang pendaki solo tentu tidak dapat
mengandalkan orang lain atau sekedar mengharapkan bantuan orang lain dalam
membantu mendirikan shelter-nya,
dalam membantu membetulkan nyala kompornya. Atau yang lebih jauh lagi, ia juga
sudah semestinya mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi kemungkinan
resiko terburuk dalam perjalanannya, seumpama terjatuh, kehilangan arah atau
tersasar, bertemu binatang buas, atau pun hal yang lebih buruk daripada itu.
Jika pernah mendengar sebuah ungkapan yang
mengatakan;
butuh setengah usia
untuk menyadari dengan sepenuhnya, bahwa tidak ada yang dapat kita andalkan
selain diri kita sendiri...
Maka mendaki gunung secara solo atau
sendiri adalah sebuah exercise, adalah sebuah pelatihan yang cukup
bagus untuk sedini mungkin mempersiapkan diri dalam kaitannya dengan kemandirian.
2.
Memiliki Keberanian di Atas Rata
Rata
Untuk menyisir gigir gunung seorang diri,
menuruni tebing terjal tanpa teman diskusi, membelah hutan pekat tanpa ada
kawan yang akan menambah nyali, tentu keberanian adalah sesuatu yang mutlak
diperlukan. Dan seperti kita tahu para pendaki solo sebagian besar mungkin
telah memilikinya.
Pada beberapa orang mungkin saja jenis
keberanian yang mereka miliki, berada pada tingkatan yang berbeda beda. Ada
yang sungguh-sungguh berani dalam hal yang sebenarnya, sebuah keberanian yang
teratur, terukur, dan terencana dengan baik. Namun ada pula keberanian yang
memiliki persentase tidak lebih besar dari rasa takut mereka sendiri, atau
mungkin berada pada garis yang sama. Namun faktor kenekatan-lah yang membuat
seorang pendaki solo tetap mendaki, tentu saya yakin ada juga yang demikian.
Nama nama seperti Reinhold
Meisnerr, Ueli Steck, Dean Potter, Allex Honnold, Jerzy Kukuczka, Sarah
Marquiz, dan yang lainnya, dalam petualangan besar mereka yang
dilakukan secara solo atau sendiri, tentu keberanian yang mereka miliki sudah
berada pada titik yang terukur, teratur, dan terencana. Kenekatan tanpa
perhitungan yang matang bukanlah bagian dari pengembaraan mereka selama ini.
3.
100% Sukses, 100% Gagal
Menjadi pendaki solo adalah mutlak
keputusan berada di tangan sendiri, dan tentunya diputuskan dengan sendiri
pula.
Mengambil langkah untuk tetap maju,
bertahan, membuat shelter, mundur, atau pun menghubungi tim SAR adalah
keputusan lingkaran yang hanya ditetapkan sendiri. Jadi seorang pendaki solo
tidak perlu berunding untuk memutuskan langkahnya. Jika situasi memungkinkan
dan ia yakin dapat meraih tujuan, maka tidak menunggu terlalu lama, ia dapat
langsung bergerak, dan seratus persen kemungkinan untuk sukses menjadi miliknya.
Namun jika gagal ke puncak umpamanya,
seorang pendaki solo juga akan gagal dalam hitungan seratus persen. Saya katakan
seratus persen, karena ia tidak memiliki partner atau rekan yang dapat
mewakilinya dalam pencapaian sebuah puncak. Tidak seperti pendakian tim, karena
sebuah pendakian tim sudah dapat disebut sukses jika beberapa
anggota mereka berhasil meraih puncak, meskipun tidak semua anggota. Jadi
kesuksesan beberapa orang dapat meng-cover
kegagalan yang lainnya.
Dan itu tidak terjadi pada pendaki solo.
Jika ia sukses maka ia 100%
success, dan jika ia gagal, maka ia pun 100% fail, tidak
ada yang akan mewakili atau mengcover kegagalannya.
4.
Lebih Dekat Kepada Tuhan, Kesepian,
Ketenaran, Dan Sekaligus Kematian
Ini adalah aspek lain dari keunggulan
seorang pendaki solo. Apalagi dari sisi inner sang pendaki
adalah sosok dengan jiwa spiritualis yang tinggi, maka aspek satu ini akan
sangat mempengaruhi prilaku dan karakter sang solo hiker.
Seseorang yang memilih untuk sendiri dalam
arungan lautan penuh bahaya dan resiko, tidak memiliki teman perjalanan yang
dapat dijadikan teman curhat atau sekedar diskusi memahami jalur dan kondisi,
di tengah ketakutan akan badai yang mengancam, longsoran yang akan
menghilangkan nyawa, serta musibah dan kesulitan lain yang datang tiba tiba,
baik itu dari segi materiil maupun inmateriil, tentu akan bersandar kepada
kekuatan yang lebih besar dari semua kekhawatiran yang membayanginya.
Dan untuk orang yang beriman, yang
meyakini adanya kekuatan maha dahsyat tiada bandingan, yang disebut dengan
Tuhan. Kemana pula-lah lagi ia akan menyandarkan hidupnya, mempasrahkan
takdirnya, kecuali kepada Dzat Yang Maha Perkasa, Maha Besar, Maha Segalanya,
Allah SWT.
Dan ini sekaligus menjadi ajang pendekatan
dalam langkahnya menuju keharibaan Allah, Sang Pemilik segala jiwa.
Di sisi yang lain, dalam kepasrahan iktiar
terbaik kepada Sang Khalik, pendaki yang memilih solo juga berdekatan dengan
kesepian, tiada yang menemaninya. Hingga dalam sebuah tulisan saya pernah
menyebut kesepiannya seorang pendaki solo sebagai spiritualisme kepada
Sang Mutlak, sebagai pengembalian jiwa kepada Dzat Yang Maha
Membersihkan.
Penghormatan, rasa kagum, publisitas juga
menjadi sisi lain dari seorang pendaki solo yang mungkin berada pada posisi
bintang. Sehingga sisi ketenaran juga menjadi warna dalam kegiatannya,
bersenandung lirih bersama sisi kematian yang juga siap mengakhiri kisahnya.
5.
Candu Sebuah Kesendirian
Pernah mendengar sebuah pendapat berikut ;
Hati hati dengan kesendirian yang membuat
anda merasa damai, karena ia adalah sebuah kecanduan yang akan memerangkap jiwa
anda, hingga membuat anda hanya akan merasa damai dan tenang jika sendiri dan
pada tempat tertentu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi cara bergaul anda
dalam lingkungan dan orang sekitar
Atau,
Loneliness causes addictions…
Pendapat ini saya tidak tahu valid atau
tidak, namun saya kira ada benarnya. Sesorang yang telah terbiasa dengan
kesendirian, akan cenderung terbelenggu dalam kesendiriaannya, hingga ia
perlahan mulai merasa kehilangan kenyamanan dengan kehadiran orang di sisinya.
Dan jika itu terjadi kepada kita, maka kita sudah dalam fase yang berbahaya.
Jadi jika ada teman-teman yang selama ini
berbangga hati dengan seringnya melakukan pendakian secara solo, berhati-hatilah
jika hal itu sudah mencapai pada tingkat addicted atau
kecanduan.
Penghambaan kita kepada Tuhan adalah
dengan berbakti dan beramal sebaik mungkin, juga berbuat baik kepada yang lain.
Dan menjadi seorang pertapa, dengan mengabaikan kehidupan dan lingkungan
sekitar kita nampaknya bukanlah sesuatu yang termasuk di dalamnya.
Muhasabah dan waktu sendiri untuk merenung
adalah perlu, namun jika kesendirian membuat anda menarik diri dari
silaturahmi, saya kira itu bukanlah sebuah hal yang baik. Oya tentang kiprah para pendaki gunung solo terbaik di dunia, sahabat bisa membacanya dalam beberapa buku saya seperti Dunia Batas Langit, Mahkota Himalaya, Maut Gunung Terakhir, Tebing Utara, dan lain sebagainya.
Salam.
***
Lalu, bagaimana dengan sahabat semua,
Tertarik untuk melakukan pendakian solo?
Malam admin.
ReplyDeleteSaya ingin bercerita soal candu dalam pendakian solo mas, saya saat ini merasa lebih nyaman mendaki solo mas, dan saat ini saya merasa jika mendaki ataupun berdikusi dengan banyak orang merasa ga nyaman apalagi saat ini saya merasa sudah malas untuk berkomunikasi dengan orang luar mas, maksud orang luar itu adalah teman-teman saya mas.
Saya saat ini sedang melakukan perjalanan mungkin bisa dibilang perjalanan tanpa ketidakjelasan.
Maaf mas bagaimana saya harus mengambil sikap.
Atas masukannya terimakasih mas.