Tahun 1935, tiga tahun
sebelum first ascent wajah utara gunung Eiger, dua orang pendaki Jerman dari
kota Bavaria bernama Karl Mehringer dan Max Sedlmeyer pernah mencoba
peruntungan mereka di Eiger North Face.
Ketika kedua pendaki ini (Mehringer dan
Sedlmeyer) tiba di stasiun kereta Eigerwand, mereka tidak dapat segera mendaki
tebing utara Eiger dikarenakan cuaca buruk yang terus menerus terjadi. Cukup
lama mereka menantikan cuaca membaik.
Dan
beberapa hari kemudian ketika tampaknya cuaca sudah mulai cerah, awan gelap
yang menutupi gunung Eiger sudah mulai tersibak, dua Bavarian ini memutuskan
untuk memulai pendakian mereka.
Hari
pertama Mehringer dan Sedlmeyer membuat bivak sedikit lebih tinggi dari pada
Stasiun Eigerwand, keesokan harinya dikarenakan menghadapi kesulitan teknis
yang lebih besar, dua pendaki ini hanya mampu menambah sedikit ketinggian dan
membuat bivak mereka yang kedua untuk melewati malam di wajah utara Eiger. Pada
hari ketiga, tantangan yang dihadapi dua pendaki Jerman ini lebih sulit lagi,
selain medan vertikal yang nyaris tak bisa dipanjat (dilihat pada peralatan dan
asumsi rata-rata pendaki zaman itu), cuaca buruk juga mulai menemani pendakian
Mehringer dan Sedlmeyer. Malam harinya lebih buruk lagi bagi kedua pendaki pemberani itu, sebuah
angin badai mengamuk di dinding utara Eiger, membuat keduanya hilang tertutup
kabut yang cukup pekat. Tidak
cukup sampai disitu, hujan salju juga mulai menghujani bivak Mehringer dan
Sedlmeyer, sementara awan tebal seolah tak mau beringsut menutupi wajah utara
dan juga puncak Eiger. Dua hari kemudian ketika badai reda dan awan menyibak
sedikit di Eiger North Face, sepasang pendaki Jerman itu tampak beranjak
sedikit lebih tinggi dilihat melalui binokular dari Kleine Scheidegg, mereka terlihat sedang
mempersiapkan bivak kelima mereka.
Cuaca
cerah ternyata tak bertahan lama untuk kemudian kabut kembali
turun lagi dan menyembunyikan sosok Mehringer dan Sedlmeyer dari penglihatan
kaca teropong. Beberapa hari kemudian, ketika cuaca sepenuhnya cerah, dan Eiger
North Face tampak terlihat dengan wujud aslinya yang penuh pesona, sosok
Sedlmeyer dan Mehringer ditemukan tewas membeku pada ketinggian 3.300 meter. Saat ini lokasi bivak
dimana mereka ditemukan tewas disebut sebagai Death Bivouac atau Bivak
Kematian.
Pemanjatan di wajah
utara gunung Eiger, selain menghadirkan sebuah jenis pemanjatan yang penuh
skill, keberanian, dan mentalitas. Juga menyajikan persembahan yang tidak dapat
ditemukan di gunung-gunung lainnya. Di Eiger North Face, aksi para pemanjat langkah
demi langkah dapat disaksikan
secara langsung melalui bantuan
kaca teropong
dari Kleine Scneidegg. Kleine
Scneidegg sendiri adalah nama sebuah dataran tinggi indah berumput hijau yang
terletak di bawah dinding utara Eiger. Dari Kleine Scneidegg, para pria
berdasi, memakai topi khas pria Eropa tahun 90-an, didampingi oleh
wanita-wanita cantik bergaun lebar, sambil meminum whiskey atau teh panas, dan
sesekali diselingi dengan menghisap rokok, dapat dengan detail menyaksikan para
pendaki yang memanjat tebing utara Eiger yang berjibaku melawan maut,
gravitasi, dan juga longsoran batu.
Pergerakan
dari para pemanjat yang lincah adalah sebuah tontonan dan atraksi yang menarik
banyak penonton di Kleine Scneidegg, dan musibah serta kematian yang kadang
tertangkap melalui kaca teropong mungkin adalah bagian yang paling ‘dinantikan’
dari pertunjukan itu. Kenyataan ini memang tampak kontras dan dilematis, ketika
di satu sisi ada orang-orang sambil duduk santai memakan roti berlapis keju dan
coklat, sementara di ujung teropong mereka, sekelompok manusia lain sedang
berusaha setengah mati supaya tidak terjatuh pada kematian mereka, meskipun
usaha itu kadang berbuah kegagalan. Walaupun tak ada larangan untuk
menghentikan hal tersebut dan memang hakikatnya tak dapat dilarang. Kenyataan
kontras semacam ini kadang menimbulkan kritik dari orang-orang yang tampaknya
lebih jauh memikirkan hal itu dari sisi kemanusiaan. Salah satu sosok besar
yang ikut menyampaikan kegelisahannya mengenai perlombaan semacam ini, yang hal
itu kadang begitu dinikmati oleh orang lain (bahkan secara live pada Eiger
North Face) adalah pendaki Perancis bernama Gaston Rébuffat.
Rébuffat
mengkritisi kenyataan semacam ini, menganggapnya sebagai sebuah proses yang
sudah keluar dari jalur yang seharusnya. Namun kritik Rébuffat ini justru
kadang menjadi bumerang untuk dirinya sendiri, seperti yang disampaikan
sebelumnya, kompetisi dan perlombaan adalah ruh dari mountaineering, ini tak
bisa dihadang, meskipun oleh orang sekaliber Rébuffat sekalipun. Hanya saja apa
yang disampaikan Rébuffat ini adalah sebuah kebenaran yang harus diambil
hikmahnya, apalagi ketika perlombaan dunia mountaineering sudah mengarah kepada
hal yang sudah tidak sehat dan sportif lagi. Contoh nyata hal itu dapat dilihat
pada sikap tega dan sampai hati Achille Compaqnoni dan Lino Lacedelli yang
membiarkan secara sengaja Walter Bonatti dan Amir Mehdi yang nyaris tewas dalam
pristiwa first ascent di gunung K2 (sudah diceritakan pada pristiwa first ascent gunung
K2).
Tahun
1936, setahun setelah kematian Karl Mehringer dan Max Sedlmeyer di Eiger North
Face, sepuluh orang pendaki Jerman–Austria kembali datang ke Grindelwald dan
berkemah di kaki gunung Eiger. Sebelum pendakian yang sebenarnya dimulai, satu
di antara
kesepuluh pemuda pendaki itu tewas saat pendakian latihan di kaki tebing Eiger yang membuat pendakian itu
terasa kecut bahkan sebelum dimulai sama sekali. Pada musim panas tahun 1936
itu cuaca memang sangat buruk, beberapa hari para pendaki itu menunggu cuaca
membaik, namun sama sekali tidak terlihat sedikitpun bahwa keadaan akan berubah
menjadi lebih baik.
Hal
ini kemudian
membuat sebagian besar dari pendaki memutuskan untuk meninggalkan
tim eskpedisi
dan mengurungkan niat mereka mencoba mendaki Eiger North Face musim itu. Setelah
ditinggal oleh sebagian besar anggota tim yang sebelumnya berjumlah sepuluh
orang, hanya tersisa empat orang yang masih memiliki tekad untuk tetap mencoba
mendaki wajah utara Eiger. Empat
orang pendaki yang tersisa itu adalah dua orang berasal dari Bavaria bernama;
Andreas Hinterstoisser dan Toni Kurz, sementara dua orang lagi berasal dari
Austria yaitu; Willy Angerer dan Edi Rainer.
Ketika
cuaca nampaknya mulai membaik, empat orang pendaki ini segera memulai
pendakiannya di kaki tebing Eiger. Sebelum pendakian berjalan lebih jauh,
sebuah musibah lain menimpa tim ini, Hinterstoisser jatuh sejauh 37 meter, namun
ajaibnya ia tidak terluka sedikitpun. Pendakian dilanjutkan dengan cepat oleh
empat pendaki
Austria–Jerman, namun keesokan harinya setelah bivak mereka yang pertama, cuaca
tiba-tiba berubah, kabut dan awan tebal turun menutupi para pendaki itu yang terlihat
dari
bidikan teropong para pengamat di Kleine Scneidegg. Para pendaki tidak dapat melanjutkan pendakian
pada hari itu, dari ujung teropong para pengamat, keempat pendaki itu hanya
terlihat sesekali saja, ketika awan dan kabut tebal yang menutupi mereka
tersibak sebentar ditiup angin.
Pada esok harinya, para
pendaki ini terlihat kembali melalui teropong, namun kali ini mereka terlihat
dalam perjalanan turun. Diketahui kemudian, kelompok pendaki ini memang tidak
memiliki pilihan selain turun karena kendala yang mereka hadapi di lapangan. Willy Angerer telah terluka
cukup serius karena tertimpa oleh batuan jatuh, sementara mereka juga terjebak
tak bisa melewati Hinterstoisser Traverse
(tebing yang sebelumnya dilewati Hinterstoisser dengan traversing dan berayun
dengan seutas tali), karena tali yang mereka gunakan sebelumnya, telah mereka
lepaskan ketika mereka berhasil melewati celah tersebut.
Kondisi keempat pendaki
ini kemudian berubah semakin buruk, ketika dua hari selanjutnya cuaca Eiger
kembali berubah menjadi muram. Untuk membuat situasi semakin buruk sebuah longsoran
salju menyapu tebing
Eiger tepat dijalur pendakian dimana keempat pendaki Bavaria-Jerman berada.
Sapuan longsoran ini menghempaskan tiga orang pendaki dan menyisakan seorang saja
lagi yang bertahan yaitu Toni Kurz, yang berhasil bertahan karena bergantung
pada seutas tali. Menyaksikan
kondisi yang mengerikan ini, tiga orang pemandu gunung Eiger segera
merencanakan sebuah penyelamatan yang sangat berbahaya guna menolong para pendaki yang tampaknya sedang sekarat tersebut.
Meskipun gagal mencapai posisi keempat pendaki tersebut, namun para pemandu itu
terkejut menemukan Toni Kurz yang tergantung di tali, dan lebih kaget
lagi mendengarkan penuturan Kurz yang nyaris membeku karena terlalu lama
tergantung. Kurz menjelaskan nasib teman-temannya dengan cukup jelas, meskipun
kondisinya sendiri sangat memprihatinkan; seorang pendaki telah jatuh ke dasar
tebing disapu longsoran salju, seorang pendaki yang lain mati membeku di atasnya, sementara satu
lagi yang lain, menurut penuturan Kurz telah memecahkan kepalanya sendiri
ketika terjatuh di atas
bebatuan tebing Eiger North Face dan menemui kematiannya saat menggantung di
tali seperti yang ia lakukan.
Keesokan harinya, tiga
pemandu ini kembali lagi ke tebing Eiger untuk menyelamatkan Toni Kurz, mereka
menyeberang sebuah permukaan tebing dari lobang yang ada di Eigerwand, berusaha
menjangkau Kurz meskipun itu mempertaruhkan keselamatan mereka sendiri di bawah potensi longsoran
salju yang sedang gencar. Tim penyelamat ini menemukan Kurz masih hidup, namun tampaknya sudah
sekarat, satu tangannya sudah benar-benar membeku tak bisa digerakkan lagi.
Kurz memutuskan tali yang menghubungkan dirinya dan teman-temannya yang sudah
tewas lebih dulu, dan berusaha untuk kembali mencapai permukaan tebing dan
bergerak mendekati lokasi para penyelamat. Namun baik Kurz yang sekarat, maupun
para pemandu yang berusaha menyelamatkannya sama-sama tak bisa berbuat banyak
di depan
sebuah tebing overhang (tebing menjorok yang membentuk semacam atap) yang
memisahkan posisi mereka.
Para penyelamat itu
berhasil melemparkan seutas tali yang cukup panjang untuk Kurz yang dapat
digunakan untuk mengikatnya secara bersama, namun tangan Kurz yang membeku
tidak dapat mengaitkan simpul tali itu ke carabiner miliknya, meskipun ia
mencobanya berkali-kali. Kurz mencoba berjam-jam untuk mencapai tim penyelamat
yang hanya berjarak beberapa meter dibawahnya, namun usaha itu tampaknya selalu
berbuah sia-sia. Pendaki malang itu kemudian mulai kehilangan kesadarannya, ia
mulai tak memberi respon lagi dengan segala seruan para penyelamat yang terus
berupaya menjangkaunya. Salah
satu dari tim penyelamat memanjat bahu temannya yang lain dan berhasil
menyentuh crampon
Kurz dengan kapak esnya. Sayangnya itu adalah batas usaha maksimal yang mereka bisa
lakukan, tim penyelamat itu tidak dapat bergerak lebih tinggi lagi. Di sisi
lain Kurz pun demikian, ia tak dapat turun lebih jauh lagi supaya dapat
dijangkau tim penyelamat, radang dingin, membeku, dan keletihan membuatnya tak
dapat bergerak lebih banyak. Situasi itu kemudian terus berlanjut karena tak ada yang bisa
dilakukan lagi, Kurz tewas dengan perlahan didepan mata para penyelamat yang
tak bisa berbuat apa-apa lagi untuknya.
Situasi pendakian tragis
tahun 1936 ini diceritakan secara apik dalam sebuah film berjudul North Face yang diproduksi tahun 2008. Adegan-adegan yang diceritakan
cukup akurat meskipun tentu saja ditambah sedikit dengan bumbu romanstisme
untuk membuat filmnya lebih menarik.
>>>
Dikutip
dari buku MAHKOTA HIMALAYA halaman 437-444 karya Anton Sujarwo.
Informasi
kontak dan pemesanan buku Mahkota Himalaya.
WA:
081254355648
IG
dan BL : arcopodostore
No comments:
Post a comment