Hanya ada beberapa mililiter air yang tersisa
pada botol disamping ransel masing-masing. Air dalam kantong hydropack yang
diselipkan pada punggung ransel juga kering, kerena memang dikosongkan sejak mencapai
masjid Al Hikmah disisi selatan Danau Rawapening kemarin sore. Memang benar
bahwa disekeliling kami ada sawah yang membentang luas, yang tentu saja ada
airnya. Namun jika anda melihat warna airnya, tumpukan sampahnya, bau
menyengatnya, maka anda butuh benar-benar menjadi nekat untuk berani meminum
airnya.
Panjang rel kereta api yang membentang ini
hampir sejauh lima kilometer. Membujur seperti pita, berkelok menembus luas
persawahan yang terletak pada bagian utara danau Rawapening. Sungguh tidak ada
dalam benak saya bahwa lintasan terakhir sebelum finish di Jembatan Biru nantinya,
adalah titian rel kereta yang panjang dalam pelukan hawa panas tanpa pelindung
yang menyengat dan membakar.
Dan ini menjadi semakin sempurna saja kemudian,
ketika persediaan air minum yang kami bawa sudah kosong. Rute rel kereta api
adalah bagian yang tidak dipersiapkan menghadapinya. Dan ini kemudian menjadi
the last fight sebelum mencapai target yang telah ditetapkan dalam perjalanan
MMA Trail ini.
Jika saya tahu bahwa kami kemudian akan
menghadapi etape rel kereta api panjang ditengah persawahan yang airnya tidak
mungkin diminum secara langsung. Saya akan memasukkan permintaan sebuah alat filter
air lifestraw dalam proposal saya kepada Akasaka Outdoor Gear yang menjadi
sponsor tunggal making route MMA Trail ini. Dengan lifestraw, setidaknya kami
tidak perlu menyedot air yang tertampung dalam pelepah-pelepah daun pisang yang
sempat kami temui ditengah perasawahan.
Ini adalah hari kedelapan dalam perjalanan MMA
Trail yang cukup melelahkan. Kami telah menyisir lereng barat laut Gunung
Merapi, menyusuri jalan aspal yang menyengat dari perbukitan kabupaten Magelang
hingga kecamatan Selo di Boyolali, menapaki ladang-ladang dan sabana luas
hingga Puncak Merbabu, meniyisir jalan Wekas yang sudah sesak oleh belukar
tinggi, menuruni ladang-ladang dengan kombinasi kelompok-kelompok pohon pinus
diantaranya hingga mencapai kaki Gunung Andong dan pula mencapai puncaknya.
Dari Gunung Andong kami kembali melewati ladang
menghijau yang terbenam diantara desa-desa menuju Kampung Dalangan Gunung
Telomoyo. Merambah pula hutan Telomoyo yang sepi, melirik agak takut pada jejak
binatang misterius sepanjang rute pendakian yang menghilang tepat di puncaknya,
kemudian terjebak kabut puncak pemancar berpagar tinggi, disambut oleh kidung
pujian sang penjaga menara yang membuat bulu kuduk merinding, membelah jalan
hancur karena lintasan motor trail liar menuju Kampung Pager Gedog yang asri,
lalu meliuk-liuk mengikuti alur jalan desa Sepakung yang sangat panjang
berkelok dan turunannya yang membuat kendaraan banyak terjungkir.
Dan pagi ini sebelum kami mencapai rel kereta
tua yang panas menyengat ditengah sawah, kami telah mengitari Danau Rawapening hampir
setengahnya. Kami melewati kawasan militer Ambarawa, dimana pria-pria tegap
dengan senjata tertenteng berjaga. Kami juga telah demikian lelah memanggul
ransel-ransel dipunggung, berpacu langkah dengan deruman suara mesin-mesin
kendaraan yang melaju kencang.
Semuanya sangat melelahkan...
Namun entah mengapa saya merasakan bagian
inilah yang paling berat? Bagian ketika kami harus meniti besi-besi panas rel
kereta berkarat yang diguyur oleh matahari siang yang menyengat. Apakah saya
sendiri yang merasakan kepenatan ini? Ataukah mas Ryan dan mas Chrisna yang
usia mereka notabene lebih muda dari saya ikut merasakan pula hal yang sama?
Apakah ini adalah sebuah perasaan menghadapi tantangan terakhir dimana titik
dimana semuanya akan selesai terasa demikian dekat namun tetap menyiksa untuk
digapai?
Entahlah...
Menjelang satu kilometer lagi menuju titik
finish Jembatan Biru, rel kereta itu melengkung, membelok ke arah tengah danau.
Saya terus memompa langkah yang kian berat dan perih. Telapak kaki yang lama
terbungkus dalam sepatu serasa sangat perih dan terbakar. Ingin rasanya
berhenti, duduk dan meminta minum kepada para pemancing yang duduk berjongkok dan
jorannya berjejer ditepian bantalan rel kereta.
Tapi hati kemudian bertanya; Beginikah kita
menyelesaikan tantangan terakhir dari rute yang indah ini? Dengan menyerah,
dengan ‘mengemis’ minuman pengusir dahaga, dengan mempertontonkan segala payah
lelah karena telah berjalan kaki lebih dari seratus kilometer?
Tidak, tidak!
Kita adalah orang yang menyelesaikan apa yang
telah kita mulai. Dengan cara paling baik, dengan gaya paling perkasa. Kita akan
terus menyeret kaki yang melepuh luka, kita akan terus memanggul ransel yang
kian terasa berat dan penat, dan kita akan tetap berjalan, meskipun tertatih,
terjatuh ataupun terseok-seok.
Tujuan sudah didepan, garis kemenangan sudah
ada di ujung jalan, dan kita tak mungkin membiarkan diri kita meraihnya dengan
cara yang lemah. Karena kita adalah pejuang. Setiap orang yang datang dan
menyelesaikan rute MMA Trail ini hingga ke garis akhir adalah pejuang. Dan para
pejuang tak akan pernah surut ke belakang hingga mereka menggenggam menang...
Perjalanan dan pembuatan rute indah MMA Trail
ini disponsori penuh oleh Akasaka Outdoor Gear. Temukan berbagai informasi luar
biasa mengenai produknya disini: https://akasakaoutdoor.co.id/
No comments:
Post a comment