Pendaki
Balita
Mungkin
memang tidak ada orang tua yang begitu ‘gila’ mengajaknya puteranya yang belum
genap berusia dua tahun untuk mendaki gunung Merapi dari jalur yang masih
menyimpan segudang misteri.
Jika
itu dilakukan melalui rute New Selo yang sudah populer dan sangat aman, (bahkan
beberapa orang menyebutnya sebagai jalan tol menuju puncak Merapi) maka mungkin
memang tidak ada yang istimewa dan patut diceritakan. Tapi jika dilakukan via
rute Babadan, sebuah jalur purba penuh tantangan, dikelilingi oleh mara bahaya,
melintasi aliran empat sungai pasir, memotong hampir lima punggungan, melintasi
hutan belantara dengan semak setinggi dada, itu baru cerita, dan tampaknya
sudah selayaknya untuk kita disimak.
Adalah Muhammad Zhavier Adis Azzida,
anak lelaki berusia 23 bulan 23 hari menjadi ‘pendaki termuda’ yang menjajal
ketangguhan rute Babadan tempo hari. Azzida, demikian biasanya anak ini disapa,
tampaknya tak mengalami kesulitan yang cukup berarti beradaptasi dengan
belantara kaki Merapi. Di tengah gempuran hujan deras yang membahana, melewati
rimba belantara, meski sesekali menangis dalam pelukan ayah dan ibunya, sama
sekali tak menjadikan hal itu sebagai masalah untuknya.
Secara umum camp Watu Gelar sebagai
camp ground utama pendakian Merapi via Babadan dapat ditempuh empat hingga lima
perjalanan dari rumah Mas Gudel yang menjadi base camp sementara pendakian
gunung Merapi rute Babadan. Dari rumah Mas Gudel untuk mencapai tepi hutan Pos
I Watu Alap-Alap, dibutuhkan hiking sekitar 1 sampai 1,5 jam. Sementara jalur
dari Pos I hingga pos III Watu Gelar bisa memakan waktu empat jam pendakian
dengan medan tempuh beraneka ragam dari mulai hutan pinus, sabana kecil, sungai
pasir, lereng terjal, hingga hutan bersemak.
Selain medan yang dapat dikatakan
cukup berat, cuaca yang lebih banyak diguyur hujan juga adalah masalah lain
yang mesti dihadapi oleh tim Azzida dalam melakukan pendakian. Namun dengan
kerjasama tim yang solid, sekitar pukul 17:00 WIB, pendaki cilik Azzida dan
para pendampingnya berhasil mencapai Camp Watu Gelar dengan aman.
Muhammad Azzida adalah putera dari
Bapak Subkhan dan Ibu Aryanti, keduanya adalah anggota aktif dari klub pendaki
Dhemit Gunung kota Muntilan, Jawa Tengah. Dhemit Gunung sendiri adalah klub
yang cukup dikenal di seantero kota Muntilan sebagai kelompok yang menginisiasi
untuk dibukanya kembali jalur pendakian Merapi via Kampung Babadan.
Sekitar setahun yang lalu saya
sempat menulis tentang Nayla, bocah berwajah manis yang juga sempat menjajal
rute pendakian Babadan (Nayla juga adalah puteri kerabat dari anggota Corps
Dhemit Gunung juga). Dari sisi usia, tentu rekor Nayla dikalahkan oleh Azzida,
namun dalam rekor sebagai pendaki yang benar-benar mendaki (dengan kakinya
sendiri), Nayla masih memegang rekor tersebut, ini dikarenakan Muhammad Azzida
mencapai puncak lebih banyak dalam dekapan dan gendongan ayah bundanya. Karena
pada dasarnya memang tidak mungkin membiarkan anak kurang dari dua tahun
melewati gigir jurang dan batu-batu tajam tanpa digendong.
Membawa anak balita bertualang di
alam bebas, bukan perkara sederhana yang dapat dilakukan sembarang orang.
Dibutuhkan banyak persiapan, kemampuan, dan pengetahuan yang memadai untuk
dapat melakukannya. Mendaki gunung adalah sebuah bagian dari petualangan yang
saat ini digandrungi oleh generasi muda, tanpa pengetahuan yang memadai,
kegiatan ini bukan saja berisiko, namun saja sangat berbahaya, apatah lagi
membawa anak balita ke dalamnya. Jadi balita Azzida dibawa naik gunung
menyusuri rute purba Babadan, bukanlah keputusan yang dibuat dengan seketika,
namun telah dipersiapkan segala sesuatunya oleh kedua orang tuanya yang memang
pada dasarnya adalah pegiat alam.
Ini sekaligus dapat menjadi alarm
bagi orang tua lainnya yang mungkin saja tertarik untuk membawa buah hatinya berkelana
di alam bebas, baik itu hiking, camping, atau mendaki gunung. Keinginan saja tentu
tidak cukup, dibutuhkan kesiapan berupa pengetahuan dan kapabilitas yang cukup
untuk melakukannya. Obsesi yang gegabah tanpa persiapan dari orang tua yang hanya
terobsesi mengantarkan anak-anak mereka ke gunung dengan tujuan yang
dipertanyakan (apalagi dalam usia balita) akan menjadi sebuah bumerang penuh
penyesalan jika tanpa dilandasi oleh kesiapan berupa fisik, mental, dan juga
knowledge.
Muhammad Zhavier Adis Azzida bersama kedua orang tuanya di Camp Watu Gelar
Status
Jalur Babadan
Rute pendakian gunung Merapi via
Babadan adalah rute pendakian purba yang cukup populer, namun belasan tahun
lalu terkubur dan dilupakan karena disapu oleh erupsi gunung perkasa Merapi. Wacana
untuk kembali membuka rute ini secara resmi masih diperjuangkan oleh
teman-teman dari Dhemit Gunung kota Muntilan. Proses persiapan jalur ini telah
dilakukan sejak satu tahun yang lalu, namun dikarenakan kurangnya sambutan dari
masyarakat kaki gunung (kampung Babadan yang diwacanakan sebagai base camp
pendakian) maka proses untuk segera membukanya secara resmi cukup terkendala.
Namun
saat ini, para pemuda Babadan (meski belum semuanya) telah membuka diri dan
Insya Allah siap melakukan pengelolaan jalur pendakian melalui kampung halaman
mereka. Ini tentu saja menjadi berita yang sangat menggembirakan bagi banyak
pihak, terutama orang-orang yang rindu menziarahi Merapi melalui sebuah jalur
yang memang memiliki hikayat historikal yang tinggi. Beberapa para pemuda dari Kampung
Babadan telah membentuk semacam kelompok bersama (guyub) yang nantinya akan
menjadi pengelola pendakian baik dari sisi perizinan, penanggulangan risiko,
dan juga pertanggung jawaban terkait konservasi.
Salah
satu hal yang menarik dari jalur pendakian Merapi via Babadan ini adalah
konsepnya yang mengadopsi adventure dan konservasi dalam sebuah langkah yang
berjalan bersama. Jadi, pendakian Merapi rute Babadan yang telah dicanangkan
oleh orang-orang ini (Dhemit Gunung, Forum Merapi Merbabu Hijau, Kelompok
Pemuda Kampung Badan, dan Arcopodo Club) adalah sebuah pendakian gunung Merapi berbasis
konservasi.
Dalam
penerapannya nanti, konservasi dan penghijauan (termasuk didalamnya penanaman,
perawatan, dan penjagaan ekosistem) akan menjadi prioritas yang tidak dapat
dipisahkan. Para pendaki yang memiliki ketertarikan untuk menjajal pendakian
Merapi via rute kuno Babadan akan ‘diwajibkan’ untuk ikut serta dalam misi
konservasi. Beberapa ide yang telah diperbincangkan dalam mendukung pelaksanaan
ini anatara laina adalah dengan mengajak pendaki jalur Babadan untuk turut
serta dalam mengadopsi bibit minimal satu batang dalam pendakian mereka. Bibit
pohon akan disediakan di base camp pendakian kampung Babadan, dan para pendaki
diberi pilihan, mau ditanam sendiri oleh mereka sambil mendaki, atau diwakilkan
kepada tim yang memang telah disediakan untuk itu.
Pada
proses penerapannya nanti, para pendaki yang memilih menziarahi Merapi melalui
rute Babadan tidak hanya akan menemui pengalaman mendaki yang menantang melalui
rute penuh sejarah dan indah, namun juga nama dan tindakan mereka secara aktif
akan abadi bersama tumbuh menjulangnya batang-batang pohon yang telah mereka
tanam atau wakilkan. Hal ini akan memberi begitu banyak manfaat bagi semuanya,
roda perekonomian dan denyut pariwisata Kampung Babadan akan hidup, masyarakat
akan memetik hasilnya, para pendaki akan terakomodasi keinginan mereka untuk
mendaki Merapi melalui jalur yang paling menantang dan spektakuler, sementara
pada jangka panjang, hasil konservasi akan kembali menghadirkan sumber-sumber
mata air baru di kaki gunung Merapi, khususnya Babadan.
Tim Dhemit Gunung di Lintasan Kali Gesik Rute Pendakian Babadan
Jadi
saat ini jika ditanya apakah jalur pendakian Merapi via Kampung Babadan sudah
resmi, jawabannya adalah belum. Namun proses-proses untuk mengarah kesana telah
diupayakan, dan Insya Allah tidak lama lagi akan membuahkan hasil yang
diharapkan. Karena kami (termasuk saya sendiri di sini yang tergabung dalam
Campala Corps Dhemit Gunung dan Arcopodo Club) yakin dengan sepenuhnya, manfaat
yang diberikan dari agenda ini jauh lebih besar daripada
kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul dan dikemukakan oleh beberapa orang yang
memberi pandangan kontras.
Pro dan kontra adalah sesuatu yang
wajar dalam perencanaan apapun, tidak terkecuali dengan plan pembukaan kembali
jalur pendakian purba Merapi via Babadan ini. Sejak bulan Desember 2017,
beberapa agenda bertemu antara penduduk Babadan, tim Dhemit Gunung, FMMH, Arcopodo
Club dan pihak TNGM telah direncanakan, namun karena terkendala oleh beberapa
hal (utamanya mengenai pendaki yang sempat hilang di Gunung Merapi bulan
Desember tempo hari) terpaksa mengalami penundaan. Dan Insya Allah agenda
pertemuan untuk membicarakan hal ini lebih lanjut akan dilakukan pada bulan
Januari 2018 ini, dan semoga hal ini akan membawa kebaikan dan manfaat bagi
semua pihak terkait.
Seperti diketahui bersama, hingga
saat ini hanya ada dua rute pendakian Gunung Merapi yang menyandang cap resmi,
yakni Rute New Selo dari Kabupaten Boyolali dan Rute Sapuangin dari Klaten. Sedangkan
kabupaten Magelang yang notabene juga merupakan rumah bagi Gunung Merapi sama
sekali belum memiliki akses untuk masuk, dan peluang satu-satunya bagi Magelang
adalah melalui Babadan, dan itu sudah semestinya menjadi pertimbangan yang baik
bagi banyak pihak.
Beberapa
pertanyaan sebelumnya mengenai Babadan adalah siapa yang akan mengelola jalur
itu jika dibuka, sekarang jawabannya sudah ada, tim pemuda Kampung Babadan
telah siap dan bertekad menjawab tantangan tersebut. Jadi sudah selayaknya
kesempatan dan impian kabupaten Magelang untuk memiliki jalur pendakian gunung
Merapi pula (seperti tetangganya Boyolali dan Klaten) dapat segera diwujudkan. Dengan
kontribusi dan kerjasama dari banyak pihak, Insya Allah langkah ini akan
membawa manfaat yang baik bagi semuanya.
Aman
Sekaligus Berisiko
Azzida si pendaki balita itu nampak
mempermainkan beberapa cangkir dan sendok di Camp Watu Gelar, sementara ibu dan
ayahnya sedang membasuh muka di air bening yang mengalir gemericik di antara
bebatuan cadas gunung Merapi. Tak ada rasa takut di wajah anak itu, tak ada
pula rasa khawatir yang tergambar di matanya karena berada di tengah rimba
belantara. Ia hanya bermain ceria, sesekali mungkin menangis karena kehendaknya
tak bisa dipenuhi oleh ayah bundanya. Sama sekali tak ada dalam pikiran anak
berusia 23 bulan itu, jika ia sekarang berada di sebuah rute paling spektakuler
dalam pendakian gunung paling menarik di tanah Jawa.
Sebagai salah satu orang yang
terlibat aktif dalam proses pemetaan dan persiapan jalur ini kembali (saya
telah menyambangi rute legendaris ini nyaris sepuluh kali, setengahnya saya
lakukan secara solo), saya tahu persis bahwa rute pendakian Babadan adalah rute
yang aman sekaligus berisiko. Dikatakan aman karena jalur ini memiliki rute
yang jelas, dan jika dilakukan dengan benar, maka Insya Allah akan sangat aman.
Dan dikatakan berisiko, karena pada jalur ini pula banyak potensi bahaya
mengintai jika para pendaki melewatinya secara ceroboh dan tanpa persiapan yang
memadai.
Kehadiran Azzida yang belum genap
dua tahun pada pendakian ini adalah sebuah bukti nyata bahwa jalur ini sangat
aman untuk dilewati. Sebelumnya Nayla yang juga masih terhitung belia juga mampu
memecahkan rekor sebagai pendaki termuda di jalur ini (meskipun baik rekor
Azzida maupun Nayla belum dapat kita katakan sempurna karena keduanya tidak
mencapai puncak Merapi).
Garansi
aman dengan kehadiran Azzida dan Nayla di rute ini adalah jawaban yang sangat
jelas bagi pertanyaan dan keraguan yang menganggap rute ini terlampau berbahaya
untuk dilewati.
Sunset View dari Camp Watu Gelar
Dikarenakan usianya yang masih
belia, tentu saya masih belum bisa berkomunikasi banyak dengan sosok Azzida,
namun keriang gembiraan dalam langkah kecilnya di Camp III Watu Gelar cukup
memberi jawaban bahwa perjalanan ini tidak menjadi beban baginya. Saya tentu tidak
dapat menjelaskan kesan dan pesan filosofis apa yang diperoleh oleh pendaki
balita seperti Azzida ini, namun yang jelas kehadirannya di rute purba
pendakian Merapi via Kampung Babadan telah memberi banyak orang persepsi lebih
baik mengenai pendakian jalur bersejarah tersebut.
Bagi Azzida mungkin rute Babadan
Merapi adalah starting point bagi petualangan selanjutnya. Ia mungkin saja akan
diajak berkelana lebih jauh oleh kedua orang tuanya di alam bebas. Namun
pendakian Merapi via Babadan, Camp Watu Gelar yang indah, desau angin yang
bertiup di antara lembar-lembar daun akasia, bahkan gemuruh hujan yang menemani
di lintasan Kali Gesik, akan menjadi sebuah simfoni abadi bagi anak ini, dimana
ia mulai dikenalkan dengan sebuah aktifitas mendaki gunung yang menantang lagi
penuh nuansa romantisme.
No comments:
Post a comment