“ Kematian hanyalah masalah waktu, tempat,
dan cara. Semua orang akan mati kawan, kematian bukanlah hal yang penting,
namun apa yang kita lakukan sebelum kita mati, itulah yang terpenting…”
Kalimat
Kareem Nasheer (Vertical Limit) dalam misi penyelamatan para pendaki gunung K2
kembali terngiang, ketika beberapa hari yang lalu saya melihat postingan
Melisha Arnot di timeline istagram yang memuat posenya bersama Ueli Steck,
dengan keterangan caption dibawahnya, RIP
my friend.
Terkejut
dan kaget juga mendengarnya, saya pun mencari berita ini dibeberapa tempat
lain, utamanya ditimeline dedengkot-dedengkot outdoor dan adventure dunia,
semacam Conrad Anker, Simone Moro, Jimmy Chin, Alex Honnold, atau yang lebih
muda seperti Sasha Digiulian dan yang lainnya, semua memposting gambar senada,
Ueli Steck dan ucapan belasungkawa untuknya.
Belum
puas dengan itu, saya stalking akun resmi Mountain Hardwear, The North Face,
Rock and Ice, The Himalayan Time, Climbing Magazine, dan beberapa media lain,
barulah rasa tak percaya itu mulai terkalahkan oleh kenyataan yang terjadi, He was really gone, Ueli Steck benar
–benar telah meninggal.
Belum
ada berita yang diturunkan secara resmi dari media manapun, yang menyebutkan
sebab musabab kematian Steck, hanya tergelincir dan jatuh saat mencoba
aklimatisasi untuk projek Everest – Lhotse yang sedang ia lakukan, hanya itu
sebagian besar yang ditulis oleh media – media tersebut.
Satu
hari setelahnya, atau sekitar tanggal 01 Mei 2017, sebuah pernyataan dirilis
oleh sepertinya pihak keluarga Ueli Steck, mengkonfirmasi bahwa benar Steck
telah meninggal di Himalaya, dan meminta semua orang, media pada khususnya
untuk tidak membuat spekulasi –spekulasi terlebih dahulu mengenai kematiannya,
karena hal itu tentu akan lebih menyakiti perasaan keluarga dan kerabat yang
ditinggalkan.
***
Informasi
lebih jauh menyebutkan, Everest – Lhotse Project yang dilakukan Ueli Steck dan
rekannya, Tenji Sherpa, adalah sebuah project pendakian Everest dan Lhotse yang
bisa dibilang hampir mustahil untuk dilakukan, mengambil sebuah rute sulit yang
tidak pernah dilakukan lagi sejak tahun 1963, rute ini direncanakan melalui
Hornbein Colour – puncak Everest – turun jalur normal – lanjut ke puncak Lhotse
– dan turun lurus ke Camp 2, dan semuanya dilakukan tanpa sumplemental oksigen.
Saat
Steck ditanya apakah project yang ia ambil itu mungkin untuk dilakukan, ia
menjawab ;
“ .. Saya kira mungkin saja, tapi kan kita
tidak tahu, bisa atau tidak, dan karena itulah hal ini disebut tantangan…”
Dan
pada akhirnya tantangan yang ia ambil itu pulalah, yang menjadi penutup
perjalanan hidup dan petualangan besar seorang Ueli Steck.
Raja Dari Alpen Sampai Himalaya
Umum
diketahui oleh para penggemar olahraga mendaki gunung, baik itu yang professional,
amatir, kaliber global, maupun lokal, bahwa disepakati atau tidak, diakui
ataupun tidak, sosok Ueli Steck menempati tempat tersendiri dalam kancah
mountaineering dan alpinis dunia.
Ia
adalah seorang atlet gunung professional dengan kelasnya sendiri, dan tidak ada
yang pernah ada ditempat itu sebelumnya, bahkan mungkin saja setelah
kematiannya ini.
Pada
babak-babak awal dunia mountaineering, hampir semua pendaki ternama, menjadi
terkenal karena kemampuannya dalam pioneering, karena kesuksesan mereka dalam
menjadi yang pertama mencapai puncak-puncak tertinggi dunia. Akan tetapi,
ketika masa ini telah lewat, hampir semua puncak tinggi telah dijejak oleh
tapak kaki manusia, maka kompetisi first ascent mulai tidak se-heroik masa
–masa sebelumnya, sudah tidak begitu banyak puncak populer tersisa untuk
diperjuangkan dan menjadi yang pertama diatasnya.
Kemudian
saat Ueli Steck muncul, ia menemukan sendiri kelasnya, sebagai yang tercepat,
yang terkuat, yang full power, push to human limitation, melewati medan-medan
sulit secepat kilat. Hingga atas kemampuannya ini, dunia mountaineering sepakat
menyematkan julukan “ The Swiss Machine “ untuk dirinya.
The
Swiss Machine membukukan begitu banyak prestasi dan rekor baru, dari pegunungan
Alpen hingga ke Himalaya, ia menjadi rajanya. Tidak ada dan belum pernah ada
sebelumnya, pendaki gunung dengan pencapaian seperti apa yang dilakukan oleh Steck,
tiga kali meraih Piolet D’Or sebagai apresiasi tertinggi dalam dunia
mountaineering, menjadi Adventures Of The Year versi National Geographic,
adalah beberapa pembuktian bahwa totalitas Steck sebagai pendaki gunung
professional benar-benar sebuah pencapaian yang spektakuler.
Eiger
North Face mungkin adalah salah satu tebing yang paling sering didatangi Steck
dalam mencatat rekor- rekornya. Percobaan pertamanya digunung yang telah
merenggut hampir seratus nyawa sepanjang sejarah usaha mencapai puncaknya ini,
membukukan durasi 9 jam, sudah cukup lumayan mengingat waktu tempuh normal
gunung ini adalah empat hari pendakian.
Steck
masih jauh dari puas, ia melakukannya lagi, dan kali ini mencatat rekor 2 jam
47 menit, sebuah rekor yang mengejutkan dunia alpinis, sekaligus sebuah pancang
yang mengibarkan namanya sebagai pendaki papan atas dunia. Dhani Arnold, rekan
senegara Steck pernah memecahkan rekor Steck ini dengan mencatatkan waktu 2 jam
45 menit, namun itu tak berlangsung lama, Ueli Steck kembali lagi ke Eiger tahun
berikutnya, dan membuat dirinya kembali menjadi raja dengan waktu pendakian 2
jam 41 menit, dan itu rekor yang bertahan hingga saat ini.
Kemudian
tak tercatat lagi banyaknya rekor-rekor menakjubkan yang dilakukan Steck, namun
beberapa yang populer antara lain adalah mendaki trilogy Eiger, Jungfrau, dan
Matterhorn sekaligus dalam waktu 25 jam, Solo ascent di Annapurna via South
Face dengan waktu 28 jam, mendaki 82 puncak pegunungan Alpen dalam waktu 62
hari, dan aksi yang terakhir, adalah yang sekaligus juga merenggut nyawanya,
Everest – Lhotse Project.
Ueli Steck dan map Everest - Lhotse Project yang menjadi petualangan terakhirnya
Tahta Kosong
Dua
tahun belakangan memang cukup muram untuk dunia outdoor dan petualangan dunia,
awal 2016 silam, Dick Bass si pelopor seven summit menutup usianya, kemudian
menyusul Dean Potter, tokoh rock climbing modern paling menginspirasi, yang
juga tewas saat base jumping di Yosemite, kemudian di penghujung tahun,
petualang kawakan sekaligus founder brand outdoor paling prestisius, The North
Face, Douglas Tomskin juga menemui kematiannya saat berkayak di sebuah danau di
region Patagonia.
Dan
menjelang pertengahan tahun ini, Ueli Steck, seorang real adventurer yang tidak
akan mudah menemukan gantinya, juga berakhir di tebing maut Himalaya.
Sang juara datang dan pergi, akan tetapi seorang
legenda, akan tetap abadi.
Kalimat
itu mungkin sangat tepat jika dialamatkan untuk seorang Ueli Steck, meskipun ia
telah menjuarai 3 kali Piolet D’Or dengan segala pencapaianya yang hampir
selalu dilakukan solo, namun sosok Steck tidak hanya seorang juara, ia lebih
dari sekedar juara, ia adalah seorang legenda puncak-puncak dunia.
Kini
setelah kepergian Steck, nyaris dapat dipastikan bahwa tempat yang ia
tinggalkan akan kosong, bahkan banyak kalangan mountaineer dan alpinis yang
mengatakan bahwa tempat yang ditinggalkan Steck selamanya akan kosong, tak ada
yang akan bisa menggantikannya. Para pendaki dengan prestasi seven summiter
sudah ratusan banyaknya, para pendaki dengan prestasi Fourteen Eight
Thousanders juga sudah hampir dua puluhan orang se-seantero dunia, namun para
pendaki seperti Ueli Steck hanya ada satu, dan dialah satu-satunya.
Memang menjumpai
seorang pendaki dengan kemampuan, kekuatan, enthusiasm, dan passion sehebat dan
sedahsyat Steck, bukanlah sebuah perkara yang mudah. Banyak yang kuat, banyak
yang cepat, banyak yang berani menetapkan target-target yang besar, namun
apakah mereka sekuat Steck, secepat si Swiss Machine, dan seberani Steck dalam
push into limit menggapai target-target yang sebelumnya hanya terlihat sebagai
sebuah khayalan belaka.
Dunia berduka
dengan kepergian sang legenda, secara pribadi saya juga sangat mengidolakan
sosok Steck, ia seorang pendaki penuh inspiratif, sosok pendaki yang selalu
muncul dengan ide-ide dan gagasan-gagasan besar yang out of the box. Menjadi follower
dengan berpikir kaku sebagai pendaki repeater rute bukanlah gaya Steck, ia
selalu muncul dengan jalur-jalur baru yang spektakuler dan mengagumkan, atau
jika ia melakukan repeat rute, ia melakukannya dengan waktu dan gaya yang
selalu memecah rekor.
Sekarang, sang
legenda telah pergi, ia telah tiada, namun bayang-bayang wajahnya akan selalu abadi,
akan senatiasa menjadi jelaga kabut indah yang terus menyelimuti puncak- puncak
Alpen dan Himalaya. Dan ide serta gagagan inpiratifnya juga akan terus mengayun
dilangkah orang-orang yang mengaguminya, terus berjalan menyusuri medan medan
petualangan diseantero dunia.
Selamat jalan
Sang Legenda…
No comments:
Post a comment