Musibah Di Soputan
Sekitar dua atau tiga hari yang
lalu saya sempat membaca sebuah berita yang ditulis diharian online Tribun
Manado tentang sebuah kejadian tragis yang menimpa seorang pendaki gunung
perempuan di jalur Patah Hati Gunung Soputan, Manado.
Saya menduga berita ini akan
segera menjadi booming dalam berbagai forum forum diskusi outdoor dalam negeri,
atau pun mungkin akan segera menjadi bahan perbincangan hangat dalam berbagai
macam group pendakian gunung dan petualangan yang saya ikuti di sosial media
facebook, namun nyatanya tidak. Berita yang sangat miris ini tidak banyak
tersebar, hanya seumpama kabar angin yang lewat kemudian berlalu saja.
Tentu sangat dimengerti bahwa
musibah ini telah menjadi sebuah bencana mengerikan untuk si korban, sebuah
bencana yang merenggut senyum dan tawa riang diwajahnya dengan sekali hempas. Menceritakan
hal ini mungkin akan menambah sakit rasa luka yang masih menganga dihatinya,
namun kejadian ini tak juga bijaksana jika hanya kita diamkan berlalu, tanpa memjadi peringatan dan belajara untuk yang lainnya.
Musibah perkosaan di gunung
Soputan, Manado ini. Menurut berita dari Tribun Manado yang saya baca kemarin, bermula
ketika tiga orang perempuan yang baru saja turun dari mendaki gunung Soputan
tiba tiba dihadang seorang lelaki berusia sekitar 45 tahunan. Lelaki ini
menurut berita tersebut, merupakan petani yang mungkin sedang pergi ke ladang. Dengan
sebilah parang ( golok / pedang ) ia mengancam ketiga perempuan pendaki
tersebut.
Dibawah ancaman parang berkilat
milik si lelaki, ketiga perempuan pendaki Soputan ini tentu sangat ketakutan, sehingga
tak banyak yang bisa mereka lakukan ketika salah satu dari temannya diperkosa
oleh si pelaku. Setelah memperkosa satu pendaki, si pelaku sebenarnya ingin
memperkosa juga yang lainnya, namun niat ini urung dilakukan, karena pelaku
sudah kehabisan kemampuan.
Ketiga korban langsung saja
melaporkan kejadian ini kepada kepolisian terdekat di kaki gunung Soputan, dan
Allhamdulillah tak berapa lama, si pelaku sudah berhasil diringkus.
Secara garis besar demikian
kronologi musibah di Soputan tersebut, sekali lagi berdasarkan berita yang saya
baca dari Tribun Manado.com
Gunung Soputan
Jenis Musibah Yang Lebih Parah
Kita mengenal banyak musibah dan
kejadian tragis yang acapkali terjadi di pegunungan, namun tentang musibah yang terjadi di gunung Soputan
ini, jelas memiliki perbedaan yang sangat besar, ini bukan musibah biasa, ini
tentu sudah masuk dalam ranah tindakan kriminal.
Jika tersasar, hilang, terluka,
jatuh, patah tulang, atau pun bahkan meninggal dunia karena hypothermia saat
melakukan pendakian gunung, itu adalah sebuah kejadian biasa, itu adalah seperangkat
resiko yang memang telah ready pada
setiap medan jelajah di puncak puncak gunung. Setiap orang yang berniat
melakukan pendakian gunung, sudah seharusnya memahami dan mengerti akan
konsekwensi dari kegiatan yang ia lakukan. Sudah semestinya para pendaki gunung
faham bahwa kematian di gunung yang disebabkan oleh faktor external adalah
sesuatu yang mungkin tidak dapat mereka lawan.
Kita tidak dapat melawan tanah
longsor, menghentikan gunung meletus, melawan banjir bandang, menghentikan
badai yang mengamuk, atau pun bahkan hanya untuk mem-pause pohon yang tumbang secara tiba tiba. Ini semua adalah faktor
external, faktor lingkungan, faktor alam liar, kita tidak dibekali kemampuan
untuk melawan semua bencana seperti itu secara spontanitas.
Yang paling bisa kita minimalisir
adalah sebuah potensi bencana yang disebabkan oleh faktor internal, atau faktor
yang berasal dari dalam diri pendaki gunung itu sendiri. Kita dapat
meminimalisir kemungkinan untuk tersasar dan hilang arah dengan mempelajari
medan secara cermat dan juga pembacaan yang baik dalam bernavigasi, kita dapat
meminimalisir kemungkinan terserang hypothermia dengan menjaga diri tetap
hangat dengan dukungan perlengkapan yang memadai, serta kita juga bisa mengurangi
potensi resiko dalam mengalami kejadian tak terduga lainnya dengan mempelajari
dan mengetahui berbagai macam ilmu pengetahuan tentang bertahan hidup atau
survival.
Namun apa yang terjadi dengan
pendaki yang diperkosa di Soputan, memiliki tingkat kerumitannya sendiri untuk
kita bahas. Faktor ini memang merupakan faktor external, namun ini bukan
merupakan faktor external biasa. Sebuah kejadian kriminalitas yang menimpa
pendaki gunung, baik yang dilakukan oleh sesama pendaki gunung, atau pun oleh
orang lain yang bukan pendaki gunung, seperti petani pada kejadian di Soputan, tentu
adalah sebuah kejadian tak terduga yang benar benar akan mengejutkan, ini
mungkin bisa disebut faktor X, sebuah faktor luar biasa yang bahkan kita tak
pernah terbayang sama sekali, alih alih kita memiliki persiapan matang untuk
menghadapinya.
Semestinya hal ini sudah menjadi
alarm-lah untuk kita semua, terutama para hiker perempuan yang mungkin lebih
berpotensi untuk menjadi objek. Kejadian perkosaan di gunung ini, setahu saya
bukan yang pertama terjadi di Nusantara, sebelumnya pernah terjadi juga di
gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan.
Perkosaan di gunung Soputan dan
Bawakaraeng, pembegalan dan perampokan yang pernah terjadi di gunung Sindoro,
atau pun pecurian perlengkapan pendakian yang pernah terjadi di gunung Lawu,
adalah sebuah jenis musibah di gunung yang lebih parah tingkatannya daripada
musibah musibah umumnya terjadi di pegunungan. Kejadian yang melibatkan adanya
pelaku dan juga korban, lebih lebih jika pelaku juga dari kalangan pendaki
gunung, mungkin adalah sebuah koreksi yang kritis untuk kita semua, tentang
sejauh mana implementasinya karakter pendaki gunung sejati yang berupaya ditanamkan
dalam setiap langkah dan petualangan.
Perampokan, pemerasan, dan perkosaan dalam pendakian gunung adalah jenis musibah yang lebih parah, mayoritas hiker sama sekali tidak mempersiapkan diri menghadapinya
Krisis Karakter Dalam Glamour Eksistensi Mendaki
Tidak bisa kita pungkiri saat
ini, bahwa bertualang, mendaki gunung, menjelajah pantai, bergantungan dalam
hammock diantara dua pohon cemara, menyelam sambil bergaya bersama satwa
satwa samudra, dan aneka macam kegiatan yang dibumbui kata kata adventure lainnya, adalah
beberapa jenis cara untuk menunjukkan eksistensi seseorang, khususnya di sosial
media.
Ini adalah sebuah laju perubahan
dan model yang tidak dapat kita bendung, pendaki gunung sehebat dan sekaliber
apa pun tak bisa menghentikan fenomena ini.
Namun sebagai sesama pengagum
semesta, sesama orang yang menyebut dirinya pendaki gunung, pecinta alam,
penjelajah, petualang, saya rasa sudah selayaknya pula kita untuk saling
mengingatkan, saling mengingatkan dan menasehati bahwa hendaknya laju
eksistensi ini juga diiringi oleh solidnya sebuah karakter petualang sejati,
sebuah karakter yang menunjukkan bahwa alam tidak saja memberi kita rasa damai
dalam balutan keindahan dan pesona panoramanya, namun alam juga telah memberi
kita pendidikan, pelajaran, dan juga teladan yang tercermin dari karateristik
kita, yang bertanggung jawab, yang bersahaja, dan yang juga senantiasa berupaya
menjadi kebaikan dan manfaat bagi alam
raya ( rahmatan lil’alamin ).
Kita tidak dapat serta merta menyalahkan
para pelaku dalam musibah yang ada, kejujuran dan kerelaan untuk mengkoreksi
diri sendiri juga sangat dibutuhkan untuk mencapai solusi yang tepat.
Kesalahan dan faktor failure tidak saja bisa disematkan
kepada para pelaku pemerkosa saja, jika kita mendaki gunung dengan dandanan
seperti cover film Romeo Rinjani yang
super seksi itu. Tidak bijaksana juga kita menuding secara membabi buta kepada para
pelaku yang tidak mampu menahan gelombang syahwatnya ketika mereka melihat
sepotong paha mulus ditengah hutan belantara. Tidak semua orang memiliki iman
sekokoh karang, beberapa, bahkan mungkin sebagian besar orang tidak serta merta
bisa berpaling jika menemukan pemandangan seperti itu. Sepasang paha mulus
ditengah belantara rimba bukanlah sebuah pemandangan biasa, itu tidak setiap
hari terjadi, dan beberapa orang mungkin tak mampu menahan diri ketika menemukannya.
Pun dengan dandanan yang
mengundang kata “wah” dan ‘wow”, sebaiknya ini juga perlahan
dikurangi, memamerkan segala sesuatu yang akan menjauhkan kita dari kesederhanaan
justru akan menambah jurang pemisah antara kita dengan lingkungan, khususnya di
pegunungan. Dan jurang pemisah yang terjadi, bukan tidak mungkin akan membuka
peluang bagi orang orang yang iri dan tidak mampu menahan diri untuk
mengambilnya secara paksa dari tangan kita.
Memang benar bahwa adalah faktor
intern pelaku yang mungkin sudah rusak hingga tak mampu menahan diri untuk
memperkosa, merampok, dan menyakiti. Tetapi. Kan kita tidak memiliki kontrol untuk
menghentikan sesuatu yang sifatnya berasal dari pelaku, yang kita miliki adalah
respon kita menghadapi situasi situasi tidak diduga seperti itu. Contoh
sederhananya begini, kita tidak dapat dapat menghentikan niat pelaku untuk
merampok, menyakiti, atau memperkosa, namun kita bisa mempersiapkan diri kita
untuk menghadapi segala situasi seperti itu, apakah melawan meminta
pertolongan, melarikan diri, atau dengan cara lain.
Namun yang lebih penting adalah,
tindakan preventif mengoptimalkan sikap dan karakter kita untuk tidak memancing
sesuatu yang buruk terjadi kepada diri kita, dan itu tentu dengan banyak cara
dapat kita lakukan.
Semua memiliki etika dan rule-nya sendiri sendiri, begitu pun mendaki gunung. Sikap berlebihan, terlalu seronok, ada baiknya dihindari
Akhirnya , sebagai penutup
tulisan ini, mari kita sama sama berdoa, meskipun tidak mudah, namun semoga
korban segera pulih dari cidera dan juga traumanya, kita juga berdoa semoga tidak
ada lagi kejadian serupa yang terjadi di lintasan lintasan jalur pegunungan
Nusantara.
Mendaki gunung dan bertualang
bukan hanya berkisah mengenai langkah dan tapak menuju puncak, namun juga
menjadi sekolah untuk menjadi pribadi yang tangguh dengan karakter yang mulia, mengasah
jiwa yang bertanggung jawab, mendidik diri berprilaku yang bersahaja, dan juga
untuk menempa qalbu yang penuh ketaatan kepada Allah Yang Maha Perkasa.
Salam…
No comments:
Post a comment