Rutinitas di Jum'at pagi yang sakral
Hari Jumat pekan yang lalu,
sekedar untuk melepas kangen jalan di pegunungan, saya memutuskan untuk hiking
di kaki gunung Merbabu, melalui jalur di Kampung Sobleman.
Jika teman teman pendaki tidak
tahu Sobleman bukan masalah, karena Sobleman memang merupakan sebuah jalur yang
tidak populer untuk mencapai puncak Merbabu, tidak seterkenal jalur pendakian
Selo, Suwanting, Wekas, Thekelan atau pun yang lainnya.
Karena perjalanan ini hanya
semacam relaksasi saja, saya tidak meniatkan diri untuk benar benar mendaki
hingga puncak, maka setelah berjalan sekitar satu sampai satu setengah jam,
melewati belantara hutan cemara lereng Merbabu, saya memutuskan kembali memutar
langkah untuk pulang ke arah kampung Sobleman.
Saya memang telah beberapa kali
melakukan hal semacam ini semenjak saya pindah ke pulau Jawa, tepatnya di kota
Muntilan. Jarak yang tidak begitu jauh antara rumah dengan kaki gunung Merapi
Merbabu, merupakan alasan utama yang sering melakukan perjalanan pagi semacam
ini. Sekitar satu jam setelah sholat subuh, atau sekitar jam 05:30 waktu Jawa
Tengah, saya biasanya langsung berangkat menuju kaki gunung Merapi atau pun
Merbabu, dan jika tidak ada kendala, Insya Allah sekitar satu jam kemudian saya
sudah akan berada di salah satu kampung terdekat dengan gunung Merbabu atau pun
Merapi.
Karena perjalanan ini semacam
jalan jalan pagi saja, bukan one day adventure, maka saya sering tidak membawa
makanan untuk sangu ( bekal ). Hanya dengan sepasang walking stick, pisau,
serta jaket sudah cukup bagi saya untuk mulai menyusuri lereng lereng kaki
gunung Merbabu dalam cerahnya sinar mentari pagi. Ini adalah sebuah perjalanan
yang menyenangkan, saya pikir, saya masih akan sering melakukannya.
Hal ini hampir selalu saya
lakukan pada hari Jum’at pagi, namun memilih hari Jum’at sebagai saat yang
tepat untuk melakukannya bukan merupakan sesuatu yang memiliki alasan magis,
atau ada faktor supranaturalnya. Pemilihan hari Jum’at hanya kebetulan saja,
dikarenakan pada hari Jum’at pagilah saya biasa menginap di rumah Mbah Uti Islamedina
( Mbah Uti atau Mbah Puteri berarti nenek dalam bahasa Jawa ). Dan dari rumah
Mbah Uti Medina, yang posisinya agak ke kampung, menuju kaki gunung lebih dekat
jaraknya, jika dibandingkan dari rumah yang kami tempati di pusat kota Muntilan
saat ini.
Memang semenjak anak saya
Islamedina meninggal dunia tiga bulan yang lalu, setiap kamis sore selalu kami
sempatkan untuk berziarah ke makamnya, di desa Randukuning, tidak jauh dari
rumah Mbah Utinya. Kesempatan ini juga kami gunakan sebagai waktu untuk menginap
di rumah Mbah Uti Medina, sekaligus membiarkan Mbah Uti melepas kangen kepada
cucunya, Aqsha, adik dari Islamedina.
Jika pada Jum’at pekan lalu saya
menyusuri kaki gunung Merbabu melalui kampung Sobleman, maka pada hari Jum’at
kemarin, dua hari yang lalu , saya kembali seorang diri menyusui kaki Merbabu,
namun kali ini melalui kampung Grenten. Dan menyusuri gunung Merbabu melalui
jalur Grenten ini mungkin akan menjadi sesuatu yang menarik untuk sedikit saya
ceritakan.
Setelah kepopuleran jalur
pendakian gunung Merbabu melalui Suwanting, melalui Selo, melalui Wekas, atau
pun melalui Kopeng, maka jalur selanjutnya akan populer untuk menggapai puncak
Merbabu menurut dugaan saya adalah jalur Grenten ini. Pendakian gunung Merbabu
melalui Grenten saat ini sedang dipersiapkan akomodasinya oleh penduduk kampung
Grenten, utamanya yang berkenaan dengan jalur dan lintasan pendakian, saat
kemarin saya hiking ke sana, saya mengikuti jalur yang sudah dibuat sekitar
satu atau dua minggu sebelumnya, dan
saya secara pribadi menyukainya.
Sayangnya saya belum bisa
bercerita banyak tentang jalur pendakian Merbabu via Grenten ini, karena saya
belum menjajalnya hingga puncak, semoga setelah lebaran ini nanti Allah SWT
memberi saya kesempatan untuk mencobanya, dan menceritakannya kepada para
sahabat pendaki semua.
Saat bercakap cakap dengan
sepasang suami isteri yang sedang menyabit rumput tak jauh dari lintasan, saya
diberitahu bahwa selain menuju puncak Kenteng Songo dan Kenteng Syarif, jalur
Grenten ini juga akan disiapkan untuk dapat mencapai kawah gunung Merbabu,
sesuatu yang selama ini jarang diekploitasi.
Ada banyak kegiatan outdoor yang
mungkin akan sering dilakukan disini selain hiking dan mendaki gunung.
Bagi para
pecinta motor trail dan sepeda gunung, sebuah track yang cukup menantang juga sudah di buat, bagi yang ingin camping
keluarga maka hutan cemara selepas kampung Grenten, juga akan menjadi sebuah
lokasi yang menyenangkan. Apalagi sekitar satu atau dua jam selepas kampung
Grenten, kita akan menemukan sebuah lokasi landai dengan latar belakang dinding
gunung Merbabu, sebelah kiri akan mendapati gagahnya si Merapi, dan sebelah
kanan, ada gunung Andong yang tampak sangat lembut menggoda, sementara jika menoleh ke
belakang ada Sumbing Sindoro yang terlihat seolah mengapung diatas samudra
awan.
Saya menduga ini akan menjadi
salah satu camp favorit untuk para pendaki nantinya.
Sumbing Sindoro dilihat dari jalan menuju desa Grenten
Gunung Alpen memang membunuh, Namun Semeru juga tak kalah mematikan
Selain ingin menceritakan sedikit
tentang jalur Grenten gunung Merbabu tadi, pada postingan ini juga saya sebenarnya
ingin sedikit memberi pendapat tentang apa yang barusan yang terjadi di gunung
Semeru. Mungkin sahabat sudah lebih dulu mengetahui berita yang mengatakan
salah satu pendaki warga negara asing ( WNA ) yang dikabarkan hilang di Semeru.
Pendaki ini, sesuai dengan kabar
yang saya dengar adalah warga negara Swiss bernama Lionel De Creaux ( mohon
maaf jika penulisan namanya tidak tepat ). De Creaux dan teman wanitanya Alice
Guignard mulai mendaki gunung Semeru pada tanggal 03 Juni lalu, jika Alice
berhasil selamat karena ditemukan seorang guide lokal dari salah perhimpunan
pecinta alam, maka nasib si De Creaux masih menjadi tanda tanya hingga saat
ini, ia dinyatakan masih hilang, dan masih terus diupayakan pencariannya.
Yang menjadi menarik dari kasus
De Creaux ini adalah mereka melakukan pendakian ke Semeru secara illegal alias
tanpa izin. Begitu tiba di Ranupane mereka langsung saja menuju Ranu Kumbolo
dan Kalimati, alih alih mendaftar kepada petugas pos penjagaan Ranupane terlebih
dahulu. Dan ini tentu tidak bisa dianggap enteng, apalagi buntutnya malah
merepotkan para ranger dan tim SAR gunung Semeru juga.
Tentu kita berharap si penyintas,
survivor, De Creaux ini bisa segera ditemukan di temukan dalam keadaan selamat.
Namun tentu kasus ini juga seyogyanya dapat memberi pelajaran yang berharga
untuk para pendaki lainnya, kita kita semua yang mengetahui kejadian ini.
Saya tidak tahu alasan De Creaux
dan Alice mengacuhkan masalah perizinan gunung Semeru, namun tidak bisa tidak,
hal ini dari beberapa sudut pandang terlihat seolah menyepelekan, bisa
menyepelekan aturan pendakian di Indonesia, bisa juga menyepelekan belantara
gunung Semeru, dan yang terakhir tentu lebih berbahaya, De Creaux telah
membuktikannya, ia masih hilang hingga saat ini.
Sebagai seorang traveler dan
adventurer sudah semestinya menjunjung tinggi sebuah hikmah dan makna pribahasa
yang mungkin sering kita dengar ;
“ Dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung..”
Dimana pun kita berada, kemana
pun kita menjelajah, hendaknya tidak meremehkan sebuah budaya, aturan, dan
kearifan lokal. Selain sikap ini merupakan sebuah pedoman demi kelancaran
proses perjalanan, sikap menghormati nilai nilai kearifan lokal juga menjadi
cerminan pengertian, juga semacam bentuk kebijaksanaan dari si petualang itu
sendiri.
Kemarin, sewaktu saya mengobrol
dengan sepasang suami isteri yang menyabit rumput di lereng Merbabu, sekitar
satu jam dari kampung Grenten, saya sempat di ingatkan ;
“.. Nyuwun dingapunten mas, nek njenengan ajeng naik, mboten nopo nopo.
Tapi dingapunten, niki dino Jum’at legi, sebelum jam sedoso, njenengan
sebaiknya segera turun, nek ono kancane kulo yo mboten khawatir, tapi njenengan
kan piyambakan mawon, biasane pangling jalan bali…”
Jika diartikan bahasa Indonesia,
artinya kurang lebih sebagai berikut ;
“ Mohon maaf mas, kalau masnya mau naik, tidak apa apa, tapi mohon
maaf, hari ini hari Jum’at Legi, sebelum jam sepuluh siang sebaiknya mas segera
turun. Kalau ada temannya saya sih tidak khawatir, tapi mas sendirian saja,
biasanya banyak kejadian lupa jalan pulang…”
Secara prinsip tentu saya tidak
terlalu mempercayai hal hal yang berhubungan dengan supranatural, mistisme,
penanggalan dan lainnya, ini bertentangan dengan aqidah ketauhidan kepada Allah SWT. Namun
saya mematuhi nasehat bapak tersebut dengan tiga alasan, yang pertama
menghormati kearifan lokal, dan yang kedua karena saya sedang berpuasa, jadi
tidak kuat jalan jauh tanpa bekal, dan yang ketiga ini hari Jum’at, saya harus bersiap
sholat Jum’at sebelum waktunya tiba, dan itu artinya jam sepuluh siang saya
memang sudah harus segera pulang.
Kearifan lokal seperti ini, bagi
beberapa orang mungkin terlihat sepele dan tidak perlu ditaati, namun saya kira
mengunjungi sebuah tempat, kemudian kita menabrak semua aturannya, bukanlah
sebuah sikap yang bijaksana.
Selain tekad dan perbekalan, kesungguhan untuk menghormati alam adalah syarat lain untuk mendaki gunung
Sekali lagi kita berdoa semoga De
Creaux segera dapat ditemukan dalam kondisi selamat, dan ia dapat belajar dari
kekeliruannya. Latar belakang negara tempat ia berasal mungkin membuat ia
sedikit tidak terlalu menaruh perhatian pada Semeru, Swiss memang negara dengan
dinding dinding gunung Alpen yang berbaris, salju yang memutih, dan rumah dari
beberapa pendaki pendaki terbaik dunia, seperti mungkin yang paling tangguh
saat ini, si Swiss Machine, Ueli Steck,
yang merajai puncak puncak dunia dengan kecepatan mendakinya yang tak
terkalahkan.
Namun alangkah bijaksananya jika
Creaux dan Alice juga menyadari sebelum ia mendaki Semeru tanpa izin tempo
hari, bahwa memang benar salju dan pegunungan Alpen sangat membunuh, tebing
tebingnya membuat nyawa menggigil, tetapi juga jangan lupa, gunung gunung
Indonesia, belantara Semeru dan lainnya, juga tak kalah mematikan, mereka juga
bisa menjadi tempat terakhir untuk orang orang yang tak menghormatinya.
Salam..
Bilang aja takut
ReplyDeleteiya mungkin mas ya...
ReplyDeleteMantap mas anton, tetap rendah hati.
Deleteterimakasih mas Zulul
Deleteboleh nanya ni...?
ReplyDeletejalur ke desa granten naik kendaraan umumnya gmn y...? mungkin boleh dijelaskan...
Sementara naik ojek saja mungkin mas yang paling gampang, dari terminal Muntilan ke arah Ketep Pass, dari ketep Pass lanjut sekitar 15 menit lagi ke arah Kopeng, Salatiga.
DeleteDesa Grenten di pinggir jalannya mas...