“Kami memasuki gunung K2 saat itu sebagai
orang asing yang tidak saling mengenal, tetapi kami meninggalkannya (K2)
sebagai saudara" Charles
Houston
Poster film The Summit yang rilis tahun 2012
berkisah tentang musibah di gunung K2 tahun 2008. Dengan imajinasi yang lebih
jauh ke belakang, kita mungkin dapat pula membayangkan bahwa pristiwa The Belay yang terjadi 59 tahun sebelum
film ini dirilis, memiliki gambaran yang tidak jauh berbeda seperti yang
dilukiskan oleh cover The Summit. Sumber
foto: Google image
EKSPEDISI KE-4 DI K2
Dalam daftar nama-nama para pendaki gunung dunia dengan
prestasi yang patut untuk dicatat dan diingat, nama Art Gilkey dengan berat
hati harus kita katakan, belum layak untuk dimasukkan dan disebut legenda.
Pencapaian Art Gilkey dalam mountaineering biasa-biasa saja, bahkan bisa
dibilang masih jauh dibawah kelayakan untuk disebut menarik. Satu-satunya
prestasi tertinggi Gilkey dalam pendakian gunung adalah keikutsertaannya dalam
ekspedisi Amerika tahun 1953 ke gunung K2 yang dipimpin oleh Dr. Charles Snead
Houston, pendaki Amerika yang juga ikut berpartisipasi dalam ekspedisi Inggris
Amerika pada tahun 1936 ke Nanda Devi. Keikutsertaan Art Gilkey ke K2 pada
tahun 1953 ini sekaligus menjadi moment yang membuat namanya dicatat abadi
dalam sejarah mountaineering dunia meskipun dari sisi pencapaian, ekspedisi ini
tak mencapai apa-apa selain kematian dan kegagalan. Penjelajahan lain dari nama
Art Gilkey yang dapat kita temukan dalam catatan sejarahnya adalah
petualangannya ke Alaska pada tahun 1950 dan 1952, namun tidak ada catatan
signifikan mengenai apa yang telah dilakukan Gilkey dalam dua kali kunjungannya
ke Alaska tersebut.
Daripada
sebagai seorang mountaineer, Art Gilkey pada umumnya lebih banyak dikenal
sebagai seorang ilmuwan geologis yang cukup berwawasan. Disertasi Gilkey yang
berjudul “Fracture Pattern of the Zuni
Upliff” telah mengantarkan namanya untuk meraih gelar Doktoral pada
beberapa waktu menjelang kematiannya. Zuni Upliff atau Zuni Mountain yang
menjadi objek penelitian dalam disertasi Gilkey adalah sebuah gunung yang
terletak di negara bagian Cibola Country, barat laut New Meksiko, puncak
tertinggi dari gunung ini adalah Mount Sedgwick yang memiliki ketinggian
elevasi sejauh 2.821 meter.
Perjalanan Art Gilkey ke Alaska pada
dasarnya juga merupakan bagian dari jurnal ilmiahnya, meskipun hal ini membuka
peluang juga bagi Gilkey untuk mengenal lebih jauh medan yang telah menjadi
bidang ketertarikan saintisnya. Dalam ekspedisi Amerika ke gunung K2 tahun
1953, nama Art Gilkey bukan satu-satunya ilmuwan yang direkrut sebagai anggota
pendakian. Selain Gilkey ada beberapa nama lain yang juga bergabung dalam
ekspedisi kecil ini untuk alasan petualangan, ambisi penaklukan, dan juga ilmu
pengetahuan.
Charless
Houston yang menjadi kunci dari ekspedisi orang-orang Amerika ke K2 tahun 1953
ini adalah orang yang juga sudah pernah mendatangi gunung ini pada tahun 1938
sebelumnya. Sampai ekspedisi Amerika tahun 1953, terhitung baru ada empat usaha
serius untuk mencapai puncak K2 sejak gunung ini muncul dalam peta sebagai
salah satu destinasi pendakian gunung Himalaya dan Karakoram.
Upaya
pertama mendaki K2 dilakukan oleh Oscar Eickenstein, Aleister Crowley, Jules
Jacot-Guillarmod, Heinrich Pfannl, Guy Knowles dan juga Victor Wessely melalui
punggungan timur laut pada tahun 1902. Ekspedisi ini gagal mencapai puncak dan
mendapat begitu banyak rintangan.
Rintangan pertama Eickenstein dan
Aleister Crowley ditangkap oleh pihak pemerintah setempat atas permintaan dari
Martin Conway.13.1 Tuduhan spionase yang dialamatkan kepada
Eickenstein dan Crowley diduga hanyalah rekayasa Conway untuk menghambat upaya
ekspedisi pertama ini mencapai puncak K2.
Selanjutnya tantangan kedua yang
menimpa ekspedisi Inggris dan Swiss ini adalah perjalanan yang demikian berat
hanya untuk mencapai kaki gunungnya. Berdasarkan catatan masa itu dibutuhkan
waktu empat belas hari bagi tim ekspedisi pimpinan Oscar Eickenstein untuk bisa
mencapai kaki gunung K2.
Tantangan ketiga adalah sakit yang
menimpa beberapa anggota ekspedisi, Aleister Ceowley terkena efek residual
malaria sementara Heinrich Pfannl menunjukkan gejala edema. Kemudian ada juga
cuaca buruk yang seolah tak mau beranjak dari K2. Selama ekspedisi berlangsung
hanya ada 8 hari yang cerah di antara 68 hari masa pendakian. Meskipun demikian
ekspedisi ini bertahan pada ketinggian 6.500 meter dan membuat rekor yang menakjubkan
bertahan lebih dari dua bulan di atas ketinggian mematikan.
Foto buram Dr.
Charles Houston saat meniti jembatan tali di salah satu medan pendakian
Himalaya. Houston dapat dibilang sebagai sosok pertama yang memperkenalkan
bermacam teori tentang penanganan medis untuk penyakit ketinggian. Sumber foto: Los Angeles Time
Mempertimbangkan
kondisi peralatan pada masa itu, tantangan alam buas yang tak kenal belas
kasihan, juga kondisi pakaian yang dapat melindungi anggota ekspedisi yang
berlangsung hampir selama ekspedisi, upaya pertama di K2 ini patut untuk
mendapatkan apreasiasi tentang semangat dan keberanian mereka. Meskipun pada
akhirnya, kombinasi segala rintangan ini dan juga konflik pribadi antar anggota
ekspedisi (antara yang ingin meneruskan ekspedisi dan ingin mengubah rencana di
lain hari), membuat upaya pendakian puncak K2 yang pertamakalinya disudahi
dengan kegagalan. Ketika tidak ada lagi yang dapat ia lakukan untuk meneruskan
pendakian, Eickenstein memutuskan untuk menarik semua anggotanya mundur dari
K2.
Ekspedisi
kedua yang mendatangi K2 adalah pada tahun 1909 dibawah komando Duke of the
Abruzzi, pangeran Luigi Amadeo. Tim ini mengambil rute sisi tenggara gunung,
namun terhenti pada ketinggian 6.250 meter di sebuah tempat yang dinamakan South East Spur13.2.
Merasa buntu melalui rute tenggara, Luigi
Amadeo mengajak timnya untuk mengitari gunung dan mencari sisi yang paling
memungkinkan bagi mereka untuk naik. Akan tetapi setelah mencoba semua sisi K2
dan tak menemukan celah yang memungkinkan, Duke of the Abruzzi kemudian mengatakan bahwa K2
selamanya tidak akan pernah bisa didaki. Kemudian ia pindah ke Chogolisa, di
mana ia dan para pendakinya terhenti 150 meter sebelum mencapai puncak karena
dihalau oleh badai gunung Chogolisa yang ganas.
Nama
Charles Houston kemudian muncul pada tahun 1938 untuk pertamakalinya di K2.
Houston dan timnya menyimpulkan bahwa rute melalui Abruzzi Spur yang
ditinggalkan oleh pangeran Luigi Amadeo tahun 1909, adalah rute yang paling
mungkin untuk mencapai puncak K2. Pendakian Houston dan timnya berhenti pada
ketinggian 8.000 meter ketika kehabisan suply makanan dan risiko cuaca buruk
mengusir tim ini dari dinding gunung.
Setahun
setelah kehadiran Houston di K2, gunung itu kedatangan tamu lagi. Kali ini
seorang pendaki gunung berdarah Jerman Amerika bernama Fritz Wiessner yang
bahkan mampu mendaki mencapai ketinggian 200 meter di bawah puncak tertinggi
K2. Namun sirdarnya yang bernama Pasang Dawa Lama meminta untuk menghentikan
pendakian ketika empat anggota ekspedisi13.3 hilang ditelan badai.
Ada
sebuah asumsi yang berkembang jika Fritz Wiessner bersikeras untuk melanjutkan
pendakian, kemungkinan besar puncak K2 dapat dicapai pada tahun 1939, artinya tidak harus
menunggu tahun 1954 dimana ekspedisi Italia pimpinan Ardito Desio membuat first
ascent melalui nama Lino Lacedelli dan Achille Compagnoni.
Namun demikian, keputusan untuk
mundur saat itu dinilai sudah tepat bagi sebagian besar pendaki gunung dunia.
Seumpama saja Wiessner bersikeras untuk tetap melanjutkan pendakian dan
mencapai puncak K2, maka keberhasilan itu tak akan bisa dirayakan dengan
sempurna. Kehilangan empat nyawa dalam sebuah ekspedisi sama sekali bukan
bagian dari makna kesuksesan first ascent gunung tersulit di dunia. Jika
Wiessner tetap memaksakan diri mengikuti ambisinya saat itu, ia mungkin akan
dikenang sebagai salah satu alpinis brutal dan tak berpikemanusiaan yang pernah
ada. Untung saja ia mengikuti permintaan sirdarnya, dan reputasinya kemudian
tetap bergaung sebagai salah satu pionir pemanjat tebing terbaik di Amerika
hingga sekarang.
Hanya
Charles Houston yang tertarik untuk kembali lagi ke K2 di antara empat ekspedisi
sebelumnya. Mulanya Houston berniat untuk mengunjungi gunung ini pada
tahun-tahun sebelum pertengahan abad ke-20, namun karena perang dunia ke-2 yang
meletus membuat rencananya terpaksa ditunda. Tahun 1953 akhirnya pemerintah
otoritas Pakistan mengeluarkan izin untuk Charles Houston kembali ke K2. Dan
pada upayanya yang kedua ini, Houston ingin menerapkan sebuah gaya pendakian
yang berbeda dengan sebelumnya.
Di
Amerika, Houston merekrut dan menyeleksi beberapa pendaki gunung dan juga
ilmuwan yang tertarik untuk ikut ekspedisi. Tim ini nantinya direncanakan akan
melakukan pendakian secara alpine style, meskipun pada kenyataannya jasa Hunza (porter di Pakistan) tetap
digunakan walau hanya bisa mencapai Camp II.
Pendakian ini juga nantinya
direncanakan tidak akan menggunakan tabung oksigen, bukan karena para pendaki
itu sepakat tak membutuhkannya, namun mereka sepakat bahwa membawa benda itu
akan terlalu memberatkan pendakian yang sudah tidak didukung oleh sumberdaya
yang cukup lagi.
Sebelum
ekspedisi bertolak menuju Pakistan, terkumpul delapan nama yang siap melakukan
pendakian menuju K2. Berikut adalah profil singkat mereka;
- Charles Houston, pemimpin ekspedisi
sekaligus orang paling berpengalaman di gunung Himalaya. Experience Houston di
Nanda Devi dan K2 pada beberapa tahun sebelumnya telah membuatnya dianggap
paling mengerti skenario pendakian.
- Robert Bates, seorang pendaki gunung,
penulis sekaligus guru. Bates sama seperti Houston, ia juga adalah alumni
ekspedisi K2 tahun 1938. Pengalaman lain dari Bates adalah ia merupakan teman
Bradford Washburn saat melakukan pendakian first ascent di Mount Lucania di
Yukon.
- Robert Bob Craig, seorang pria berusia 28
tahun yang berprofesi sebagai instruktur ski mountaineering yang berpengalaman
dari Seattle, Craig telah melakukan pendakian first ascent secara mengesankan
di Devil’s Thumb, British Columbia.
- Dee Molenaar, seorang pelukis landskap
berusia 34 tahun, merupakan teman dari Bob Craig. Selain seorang seniman,
Molenaar juga adalah seorang geologist berpengalaman, ia juga telah
menyelesaikan pendakian Mount Saint Elias, Alaska beberapa waktu sebelumnya.
- Art Gilkey, seorang geologist dan
ilmuwan yang mempelajari gletser dari Iowa. Selain ilmuwan murni, latar belakang
lain dari Art Gilkey adalah seorang pemanjat tebing.
- Peter Kittilsby Schoening atau Pete Schoening, pendaki gunung dari Seatlle. Selain pendaki gunung,
Schoening juga berprofesi sebagai seorang insinyur kimia. Pengalamannya yang
cukup signifikan sebelum tahun 1953 adalah memimpin ekspedisi pendakian yang
sukses di Yukon.
- George Bell, seorang fisikawan, imuwan
nuklir berusia 27 tahun dari Los Alamos yang telah membuat banyak pendakian
first ascent di Peru.
- Letnan
Kolonen Harry Reginald Antony Streather
atau Tony Streather, seorang perwira
angkatan bersenjata Inggris yang sebelumnya hanya bertugas untuk membantu
transportasi. Namun karena skill dan kecakapannya kemudian direkrut sebagai
salah satu anggota utama ekspedisi. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan
mengapa Streather direkrut menjadi anggota tim utama adalah pengalamannya
mendaki Tirich Mir di Pakistan saat bergabung dengan ekspedisi Norwegia tahun
1951.
Pada
dasarnya Charles Houston sangat berharap dapat mengajak William House, salah
satu pendaki tangguh yang memiliki peran besar pada ekspedisi pertama Houston
tahun 1938. Namun sayang, dengan alasan bisnis yang tak dapat ia tinggalkan,
House tak dapat bergabung dalam ekspedisi ini. Nama pendaki Amerika yang
tangguh lainnya seperti Willi Unsoeld, Paul Petzoldt dan Fritz Wiessner sendiri
tidak ikut bergabung dikarenakan merasa tidak sreg dengan komposisi anggota.
Keputusan yang kemudian membuat nama mereka tidak dapat ikut dicantumkan dalam
sebuah kisah mountaineering Amerika yang paling heroik dan abadi sepanjang
sejarah pendakian gunung K2.
Selain
mengadopsi teknik alpine style yang ringan dan cepat, ekspedisi Amerika yang
diberi judul American Karakoram
Expedition 1953 ini juga memutuskan untuk tidak menggantungkan logistik
ekspedisi kepada sponsor. Houston dan kawan-kawannya, umumnya masih menerima
dukungan sponsor dalam bentuk peralatan dan perlengkapan, namun ekspedisi ini
menolak dengan keras dukungan dalam bentuk uang.
Untuk
masalah biaya, sepenuhnya ditanggung oleh masing-masing anggota ekspedisi yang
ikut berpartisipasi. Anggaran biaya sebesar $32.000 yang dibutuhkan untuk
ekspedisi pada masa itu diperoleh melalui iuran pribadi anggota ekspedisi,
beberapa hadiah, juga uang muka yang dibayarkan oleh National Broadcasting Corporation dan Saturday Evening Post untuk film dan serangkaian artikel surat
kabar yang ditulis selama ekspedisi.
Dana lain dari ekspedisi ini juga
diperoleh melalui pinjaman signifikan dari masing-masing anggota tim dari pihak
lain. Adapun tawaran uang dari pemerintah dan juga badan mountaineering Amerika
yang lainnya, secara umum ditolak oleh tim ekspedisi Houston. Sikap ini dinilai
oleh beberapa pengamat mountaineering sebagai salah satu upaya dari ekspedisi
Amerika tahun 1953 ke Karakoram ini untuk tetap independen dan tidak bisa
‘didikte’ oleh sponsor mereka. Meskipun pada dasarnya ekspedisi ini dapat
dikatakan mengalami banyak kendala dalam hal pengumpulan biaya ekspedisi.
Pada
tanggal 20 Juni 1953, ekspedisi ini telah mencapai base camp utama gunung K2
setelah melewati hari-hari awal yang melelahkan untuk melintasi Gletser Baltoro
di wilayah Askole. Pendakian pada awalnya berjalan dengan lancar meskipun
mengalami kemajuan yang sangat lambat. Lambatnya proses pendakian ini juga
merupakan imbas dari strategi pendakian yang telah dijalankan oleh Houston.
Pengalaman Houston saat mendaki Nanda Devi dan juga K2 pada tahun 1939 telah
membuatnya menerapkan prinsip untuk membuat persediaan logistik siap sedia dan
tersisi penuh di setiap Camp. Hal ini dilakukan oleh Houston guna mewaspadai
kemungkinan untuk berbalik jika saja cuaca buruk membuat mereka terpaksa mundur
dari K2 nantinya.
Menara raksasa K2
dengan hamparan Gletser Goldwin Austin yang luas. Sejak awal sejarah
pendakiannya, kecamuk badai K2 terkenal dengan keganasan dan kekejamannya yang
hampir selalu memakan korban. Sumber
foto: Google image
Sekitar
tanggal 1 Agustus, keseluruhan anggota tim ekspedisi telah berhasil bergerak
hingga mencapai ketinggian 7.800 meter di Camp VIII. Keesokan harinya sudah
terbayang di benak para petualang Amerika itu bahwa mereka akan berhasil
mencapai puncak K2 sebagai first ascent. Sayangnya impian ini tiba-tiba harus
terhenti dari benak para pendaki itu, karena cuaca K2 yang selama bulan Juni
dan Juli bersahabat dengan cukup baik, kini berubah menjadi beringas dan
mematikan.
Satu
atau dua hari kemudian, cuaca bahkan berubah lebih brutal dan berlangsung terus
menerus. Badai di K2 seolah tak mau berhenti mencoba untuk mengusir para
pendaki Amerika itu untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Mulanya Charles
Houston dan kawan-kawan, dapat dikatakan tidak terlalu terpengaruh dengan
kondisi itu. Jangankan frustasi untuk segera mengakhiri pendakian, terpikirkan
untuk mundur pun tidak ada dalam pikiran para pendaki gunung Amerika itu.
Melihat
kondisi cuaca yang tak kunjung menunjukkan harapan karena badai telah
berlangsung hampir satu minggu lamanya tanpa ada tanda-tanda akan berakhir.
Tujuh orang pendaki itu mulai mendiskusikan siapa saja yang akan dipilih untuk
melakukan final summit push,
mengingat tidak mungkin semuanya dapat mencapai puncak dalam dekapan gunung
kejam yang sedang mengamuk itu. Namun rencana ini juga pada akhirnya harus
buyar. Malam keempat badai yang meraung sepanjang malam telah memicu salah satu
tenda mereka ambruk, kondisi yang kemudian memaksa Charles Houston dan George
Bell untuk masuk ke tenda lain yang juga sebenarnya sudah over kapasitas.
Pada hari keenam di Camp VIII,
window mulai tersibak dan menawarkan kepada anggota ekspedisi untuk sedikit
bergerak mengevaluasi langkah mereka. Dan pada saat inilah untuk yang
pertamakalinya rencana untuk mundur dan menyerah kepada keganasan K2 mulai
dibicarakan.
Esok
harinya cuaca membaik yang memungkinkan untuk melakukan upaya summit attack, namun pemikiran ini
kemudian dengan cepat menguap ketika Art Gilkey yang sedang berada di luar
tenda tiba-tiba hilang keseimbangan dan ambruk. Charles Houston yang memang
merupakan seorang dokter segera mendiagnosa Gilkey dan menyimpulkan bahwa ia
telah terserang thrombophlebitis atau
pembekuan darah pada jaringan vena, yang di atas dataran rendah merupakan
penyakit berbahaya, namun diketinggian 7.800 meter, kalimat lain untuk menyebut
penyakit ini adalah ‘kematian’.
Meskipun
mengetahui betapa berbahayanya penyakit yang telah membuat Gilkey roboh, sama
sekali tidak terpikir bagi ketujuh pendaki itu untuk meninggalkannya sendirian
di atas gunung. Bagaimana pun juga Art Gilkey harus dibawa turun. Namun karena
tak lama kemudian badai kembali melolong di K2, membuat rencana untuk turun
terpaksa dibatalkan dan semua pendaki kembali meringkuk di dalam tenda yang
kesempitan.
Diagnosa lanjutan yang dilakukan
oleh Houston membuat kondisi tim ini semakin menyedihkan, penyakit
thrombophelibitis yang diderita Gilkey telah berkembang semakin parah, bahwa
penyakit itu telah pula mengundang gejala pulmonary
embolism. Pulmonary embolism
sendiri adalah penyumbatan arteri di paru-paru oleh zat yang telah berpindah
dari tempat lain melalui pembuluh darah. Dalam kasus Art Gilkey, pembengkakan
pada kakinya dan terpapar pada ketinggian mematikan, itulah yang secara
signifikan telah membuat ia menderita pulmonary
embolism.
Tanggal
10 Agustus situasi semakin kritis, kondisi Gilkey dengan cepat memburuk dan
drop, sementara mereka semua masih terperangkap dalam badai 7.800 meter gunung
K2. Tanpa ada upaya untuk turun dan melakukan sesuatu, kondisi ini tidak hanya
akan membawa kematian bagi Gilkey, tapi juga seluruh anggota tim. Dengan
memperhitungkan bahaya badai dan avalanche yang sambung menyambung tiada henti,
tim ini kemudian memutuskan untuk segera turun meski apa pun risikonya.
Camp ekspedisi
Amerika di gunung K2 pada tahun 1953, sebelum pristiwa heroik dan legendaris
itu terjadi. Sumber
foto: The New York Times
Tidak
ada pikiran dan ambisi lagi untuk mencapai puncak K2 dan membuat first ascent
dalam benak Charles Houston dan kawan-kawan. Sekarang fokus mereka adalah
segera turun meninggalkan gunung dan menyelamatkan Art Gilkey yang sedang
sekarat. Dengan memasukkan Gilkey dalam sleeping bag, dibalut oleh tandu darat
dari bahan canvas, dibebat oleh tali seperti mummi, tubuh Gilkey mulai ditarik
dan kadang diturunkan melewati neraka yang kejam gunung K2.
Proses evakuasi berjalan dengan
sangat sulit dan mengkhawatirkan. Menarik atau menurunkan sesosok tubuh dengan
berat mencapai 60kg lebih bukanlah perkara yang menyenangkan untuk dilakukan.
Dan ini mereka harus melakukannya di K2, pada ketinggian 7.800-an meter, di
tengah raungan badai dan risiko avalanche yang ingin menyergap nyawa mereka
dengan cepat. Ini benar-benar sebuah mimpi buruk yang tidak dapat dihindari.
Meski bagaimana pun, akhirnya proses evakuasi ini berhasil turun hingga
ketinggian 7.600 meter, tersisa sebuah medan yang harus dilalui dengan
traversing untuk mencapai Camp VII di mana mereka bisa beristirahat.
Medan
yang harus dilintasi tersebut adalah sebuah selokan atau couloir yang tidak
terlalu lebar namun cukup berbahaya. Ujung dari selokan itu langsung bermuara
pada Gletser Goldwin Austin yang menganga menunggu mangsa sejauh ribuan meter
di bawah tebing. Dibutuhkan sebuah teknis yang matang untuk dapat melewati
medan semacam ini, apalagi dalam kondisi membawa tubuh Art Gilkey yang terbungkus
tak berdaya.
Pete
Schoening kemudian mengambil posisi di atas tubuh Gilkey, ia membenamkan kapak
esnya sedalam mungkin kemudian melilitkan tali yang menahan tubuh Gilkey ke
badan kapak untuk kemudian kembali ke pinggang Schoening melalui tangan kanannya.
Waktu saat itu menjelang tengah hari
di K2, badai masih bertiup menakutkan meski tidak sebrutal hari sebelumnya,
gemuruh avalanche dengan skala yang tidak terlalu besar juga kerapkali mampir
ke telinga. Perencanaan yang disusun oleh Houston dan para pendaki yang lain
dalam melewati couloir ini adalah dengan membuat semacam bandul atau derek,
sehingga mereka bisa menarik tubuh Art Gilkey dari seberang selokan.
Sebelum
rencana ini dilakukan, Bob Craig yang sebelumnya hampir saja jatuh ke jurang
dihantam avalanche, memilih untuk istirahat sejenak di ice shelf dan
menenangkan diri. Ia juga melepaskan tali yang menghubungkannnya dengan
Molenaar untuk memberi ruang pada Molenaar supaya lebih leluasa bergerak.
Ketika Craig melepaskan talinya, Molenaar mengambil tindakan pencegahan dengan
mengikat dirinya pada tali yang lebih longgar yang terhubung dengan tubuh Art
Gilkey.
Sebelum
pekerjaan menyeberang couloir itu benar-benar dimulai, George Bell yang berdiri
tidak jauh dari tubuh Art Gilkey kehilangan keseimbangan dan terpeleset jatuh.
Ketika Bell terjatuh, tubuhnya menabrak kaki Streather yang kemudian membuat
Streather oleng dan ikut terjatuh. Jatuhnya Streather menarik tali kedua yang
menghubungkan dirinya dengan Charles Houston dan Robert Bates, membuat kedua
pendaki itu juga terjengkang dari posisi mereka!
Tidak ada yang dapat menahan laju
jatuh keempat pendaki yang terjerat tali itu kecuali tali yang menghubungkan
Molenaar dengan tubuh Art Gilkey, yang beberapa saat yang lalu baru saja
dikaitkan oleh Molenaar ketika Bob Craig melepaskannya untuk beristirahat. Tali
itu diraih (dikaitkan/dicantolkan) dengan cepat oleh Streather ketika ia
terseret jatuh. Molenaar yang terhubung dengan tali langsung terjatuh pula
sambil menarik pula tubuh Art Gilkey yang tidak berdaya dalam balutan sleeping
bag seperti mummi. Sekarang ada enam tubuh yang tergantung di dinding K2 yang
siap meluncur dengan kecepatan roket ke Gletser Goldwin Austin. Satu-satunya
yang membuat laju itu terhenti adalah seutas tali yang menghubungkan antara Art
Gilkey dengan Pete Schoening.
Pete
Schoening dengan sigap dan spontan mencondongkan dirinya ke arah kapak yang ia
tanam sebelumnya untuk mendapatkan lebih banyak gaya dan kekuatan dalam menahan
tali yang tiba-tiba berubah kencang laksana kawat baja karena dibebani oleh
enam tubuh temannya. Selama lima menit kemudian, mungkin adalah saat-saat
paling monumental dalam hidup Schoening ketika ia bertahan sekuat tenaga untuk
tidak ikut terjatuh dan menjadi satu-satunya jangkar penahan bagi keenam rekannya.
Ini menjadi sesuatu yang sangat luar
biasa, tentang bagaimana Schoening bisa bertahan begitu rupa. Kejadian ini
bukan hanya sebuah keterampilan dan ketangkasan seorang pendaki gunung terbaik,
namun juga telah menjadi sebuah keajaiban yang menakjubkan. Pada ketinggian di
mana seseorang tidak dapat berpikir dengan jernih karena pengaruh ketinggian,
alih-alih hanya untuk melakukan tindakan yang cepat dan tangkas, namun Pete
Schoening juga mampu melewati masa super kritis itu dengan mengambil tindakan yang
tepat dan efektif.
Pete
Schoening Sumber
foto: Gripped Magazine
Ketika jatuhnya terhenti, kondisi
menjadi cukup kacau dan berantakan. Bell terbaring dengan napas yang hampir habis,
Molenaar merintih memegangi pahanya yang berdarah, Houston pingsan tak sadarkan
diri di tebing jurang yang lebih dalam, sementara Sreather yang sempat panik
berupaya memperbaiki posisinya. Robert Bates yang pulih lebih cepat dari
kejadian itu segera mendekati Houston yang beberapa meter ada di bawahnya. Mata
Houston yang terbuka namun tampak membingungkan membuat Bates berasumsi bahwa
sahabatnya itu baru saja terguncang dengan hebat.
“Dimana kita, apa yang kita lakukan di
sini?”
Tanya Houston kepada Bates yang
sudah berdiri di sampingnya.
“Kita terjatuh Houston, kau pingsan”
Jawab Bates sambil memandangi
temannya yang masih kebingungan.
Dalam
kondisi demikian, tim babak belur itu tidak memiliki kemampuan untuk menaikkan
Charles Houston, ia harus bergerak sendiri kembali ke atas. Namun kondisi
Houston yang kebingungan dan nampaknya terguncang hebat membuat laki-laki itu
seolah gusar untuk bertindak. Melihat kenyataan itu, Bates meraih tubuh Houston
dan merangkulnya untuk membantu Houston berdiri
“Charlie,
jika kau ingin melihat Dorcas dan Penny lagi, maka naiklah ke sana sekarang” kata Bates.
Motivasi
itu bekerja dengan efektif, karena sesaat kemudian mata Houston lebih terbuka
dan ia mulai bergerak. Bagaimama pun juga Dorcas dan Penny adalah dua nama yang
sangat ia cintai. Isteri dan puterinya itu menunggu ia pulang dalam kondisi
hidup, dan bayangan wajah dua orang itu memberi tenaga dan energi baru untuk
Houston.
Sketsa posisi
jatuhnya anggota ekspedisi Amerika di gunung K2 pada tahun 1953. Sumber
foto: The American Alpine Club
Ada cukup banyak
ilustrasi posisi Pete Schoening yang ditampilkan terkait dengan peristiwa The
Belay. Dan gambar di atas adalah salah satunya. Sumber
foto: Gripped.com
KECELAKAAN ATAU PENGORBANAN?
Setelah keadaan yang sangat menegangkan itu berlalu,
maka sekarang dibutuhkan untuk membuat yang terluka berlindung dan
beristirahat. Tubuh Art Gilkey yang terluka ditempatkan di sebuah selokan kecil
dengan diikat pada dua buah kapak es yang tertancap erat dalam permukaan salju.
Sementara yang lain bergerak ke seberang couloir untuk mendirikan tenda pada
sebuah langkan yang agak rata.
Charles
Houston, George Bell, Pete Schoening dan Dee Molenaar ditempatkan di dalam
tenda, sementara itu Robert Bates, Tony Streather dan Bob Craig bergerak menuju
tempat Art Gilkey untuk membawanya ke tenda pula. Namun sesampainya di tempat
di mana Gilkey sebelumnya berada, ketiga pendaki itu tidak menemukan apa-apa selain
sebuah jejak longsoran salju yang baru saja menyapu tempat tersebut.
“Memang
seolah-olah tangan Tuhan telah menyapunya”
Tulis Robert Bates dalam bukunya
saat mengomentari pristiwa itu.
Keesokan
harinya setelah melewati malam yang penuh dengan kengerian, Charles Houston dan
timnya menemukan dirinya berjalan
menuruni rute yang ternyata menjadi rute jatuhnya Art Gilkey. Ada banyak bekas
sleeping bag dan kain tenda yang digunakan membebat Gilkey berserakan sepanjang
rute, potongan-potongan tali dan juga darah berceceran tak karuan di berbagai
tempat pada permukaan salju.
“Jelas
kami telah menuruni rute yang sama yang dilalui oleh Art, dan kami berjalan
mengikuti darah Art. Hanya ada darah, darah, dan darah, kami tidak membicarakan
hal tersebut dalam waktu yang lama”.
Tujuh
pendaki Amerika yang tersisa itu mencapai base camp K2 empat hari kemudian.
Mereka telah melalui hari-hari neraka di K2, gunung kejam itu telah merenggut
Art Gilkey dalam perjalanan pertamanya ke Himalaya. Namun gunung adalah gunung,
tidak ada unsur perasaan dan belas kasihan di dalamnya, ketika seseorang
mendatanginya, maka artinya ia juga telah siap dengan segala konsekuensi dan
risikonya.
*
Pasca pendakian yang monumental itu, Jim Curran, seorang
penulis, pendaki gunung, sekaligus pembicara dari Inggris memberi komentarnya
atas kematian Art Gilkey. Menurut Curran, kematian Gilkey tak dapat ditepis,
memang sangat tragis, namun tidak diragukan telah menyelamatkan nyawa
rekan-rekannya yang lain. Dengan kematian Gilkey, tujuh pendaki lainnya dapat
berkonsentrasi untuk menyelamatkan nyawa mereka sendiri tanpa harus ‘terbebani’
membawa tubuh Gilkey ke base camp.
Pemikiran
Jim Curran ini mendapat persetujuan dari Charles Houston namun tidak dari Pete
Schoening. Schoening bagaimana pun juga, tetap optimis dan berkeyakinan bahwa
mereka dapat membawa Gilkey dengan selamat jika saja tidak disapu oleh
avalanche setelah kejadian terjatuh massal sebelum mencapai Camp VII.
Namun
sebuah teori yang lebih menarik disampaikan oleh Tom Horbein yang mengatakan
bahwa kematian Art Gilkey adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh Gilkey
sendiri untuk menyelamatkan nyawa rekan-rekannya. Pendapat ini segera menyulut
pro dan kontra. Dalam keadaan terikat dalam kantung seperti mummi, bagaimana
mungkin Gilkey dapat melepaskan diri dan mencabut dua kapak es yang menahan
tubuhnya?
Meskipun
demikian pendapat Hornbein juga tidak dapat ditepis begitu saja, selain
reputasi Hornbein yang cukup bagus dalam dunia mountaineering Amerika, teori
yang ia sampaikan juga ada benarnya. Karena dapat saja Gilkey melakukan aksi
‘penyelamatan’ bagi rekan-rekannya ketika Charles Houston dan yang lainnya
sedang mendirikan tenda dan menghadapi trauma setelah terjatuh. Menyadari bahwa
usaha penyelamatan dan membawanya turun telah membahayakan teman-temannya,
Gilkey kemudian berusaha melepaskan diri dan membiarkan tubuhnya ditarik
gravitasi menuju jurang Goldwin Austin yang menanti kedatanganya dengan tenang.
Kapak es milik Pete
Schoening yang digunakannya sebagai jangkar tunggal dalam menyelamatkan
rekan-rekannya pada pristiwa dramatis The Belay. Kapak ini sekarang disimpan
dalam Museum Mountaineering Amerika di Colorado. Sumber
foto: Google image
Pada
awalnya Houston tak sependapat dengan teori yang disampaikan Horbeirn ini,
apalagi sebelumnya Art Gilkey juga sempat disuntik dengan morfin untuk
mengurangi rasa sakit pada tubuhnya. Pengaruh morfin dalam pertimbangan Houston
akan membuat Gilkey terlalu lemah untuk dapat melepaskan diri. Akan tetapi,
meninjau kembali pristiwa itu untuk film dokumenter tahun 2003, Charles Houston
menjadi yakin bahwa pada dasarnya Art Gilkey memang sengaja mengakhiri hidupnya
sendiri untuk meringankan beban rekannya yang lain.
Bertolak
belakang dengan Houston, pendaki lain seperti Robert Bates tetap bersikukuh
yakin bahwa Art Gilkey tewas karena kecelakaan, bukan karena bunuh diri. Hingga
sekarang tidak ada yang dapat benar-benar memastikan motif kematian Art Gilkey,
apakah itu merupakan kecelakaan karena disapu longsoran salju, ataukah karena
tindakan kepahlawanan untuk menyelamatkan nyawa rekan-rekannya yang lain?
*
Footnote:
13.1 Pendaki Inggris yang lain dan memiliki
kompetisi pribadi dengan Eickenstein.
13.2 Di kemudian hari lebih populer dengan Abruzzi Spur, salah satu bagian dari
rute standar pendakian K2 saat ini.
13.3 Dudley Wolfe, Pasang Kikuli, Pasang
Kitar dan Pasang Pinsto.
ARTIKEL INI DIKUTIP SECARA UTUH DARI BUKU
GUNUNG KUBURAN PARA PEMBERANI KARYA ANTON SUJARWO